Part 3 POV Dika

3.5K 111 3
                                    

Lima menit berlalu, setelah aku mengucapkan kata-kata ajaib yang merubah suasana menjadi menyeramkan.

Mbak Vira langsung saja pergi meninggalkan aku dan Ibu yang masih menatapku tidak percaya.

Iya, aku tahu jawabannya sekarang. Mbak Vira menolak untuk kunikahi.

Aku merunduk melihat nasi belum kusentuh, selera makan hilang sudah. Mendorong piring dan hendak beranjak dari ruang makan. Namun, baru mau bangkit berdiri Ibu langsung menarik lenganku untuk duduk kembali.

"Dika, apa alasanmu mau menikahi Mbakmu?" tanya Ibu sedikit berbisik.

Kuhela napas pelan, lupa masih ada Ibu yang masih syok dengan ucapanku tadi.

Sebisa mungkin aku ceritakan janji yang kubuat dengan Bang Dito. Takut menjadi beban untuk Ibu yang sudah kehilangan anak tercinta dan sekarang akan ditinggal pergi cucu tersayang.

"Jadi itu alasanmu menikahi Mbakmu?" ucap Ibu yang menarik napas panjang.

"Iya, Bu."

"Ibu merestui. Tapi semua balik lagi ke Mbakmu, dia berhak memilih. Karena nanti kalian yang akan menjalani pernikahan. Ibu hanya berdoa dan berharap yang terbaik untuk kalian. Yang pasti ibu nggak mau ditinggal Almira pergi," Doa Ibu merestui niat baikku.

Aku mengangguk, mengerti ucapan Ibu. Ya, Mbak Vira nggak perlu dipaksa, tapi aku pun tak memaksa hanya saja sebuah janji yang harus kutepati.

Aku berlalu meninggalkan Ibu di ruang makan. Sebelum menaiki tangga untuk menuju kamar. Menatap sekilas pintu kamar Mbak Vira yang tertutup rapat. Ada merasa bersalah, melihat reaksi Mbak Vira atas pernyataanku yang mengejutkannya tadi. Aku telah membuat Mbak Vira marah.

***

Malam kian larut, aku terbangun dari lelapnya tidur. Rupanya aku ketiduran setelah makan malam yang tidak sempat kusantap.

Tenggorokan terasa kering, aku segera beranjak dari tempat tidur. Menuju dapur untuk menghilangkan dahaga.

Perlahan aku menuruni anak tangga, mengandarkan pandangan yang terlihat sangat sepi. Ibu pasti sudah tidur terlihat lampu kamarnya yang telah mati.

Dari ruang dapur yang gelap, terlihat kulkas yang terbuka memancarkan cahaya yang mendominasi ruangan yang gelap.

Aku menangkap sosok wanita, yang berada di tengah temaramnya lampu kulkas yang redup. Ternyata Mbak Vira, sedang menuang air ke dalam gelas. mungkin saja sama denganku kehausan ingin minum.

Aku melangkah kian dekat, mata kami pun bertemu. Namun, aku buru-buru membuang pandangan agar tidak gugup karena rasa bersalah.

"Dika." Mbak Vira memanggilku. "Mau minum?" tawarnya yang seolah tahu niatku ke dapur.

"Iya, Mbak."

Mbak Vira mengambil gelas lain di rak dekat wastafel, kemudian mengisinya dengan air dari teko kaca yang berada di tangannya. Kemudian menyodorkan gelas yang telah terisi air dingin kepadaku.

Aku meraih gelas pemberiannya, dan masih terdiam gugup. Seperti tahu kegugupanku, Mbak Vira langsung berlalu. Namun, baru beberapa langkah pergi aku segera mencegahnya.

"Mbak, boleh kita bicara," ucapku yang langsung membuat Mbak Vira membalikkan badan menatapku.

Sekilas matanya terlihat sembab. Namun, raut wajahnya tidak seketus tadi saat mendengar ucapanku di meja makan. Kini terlihat bersahaja dengan kerudung abu yang menghiasi.

"Mbak tunggu di depan ya," jawabnya yang kembali meninggalkanku dari ruang dapur.

Semilir angin malam langsung menyerbu wajahku saat membuka pintu. Kukira Mbak Vira mengajak ngobrol di ruang tamu, ternyata ia duduk termenung menunduk di teras rumah, kulihat tangannya memilin ujung hijab yang dikenakan.

Aku berdehem pelan, agar ia menyadari keberadaanku.

Mbak Vira terkesiap, lalu bergeser duduk berseberangan denganku.

"Mbak, maaf soal yang tadi." Aku langsung mengutarakan maksud karena kutahu ia pasti tak enak hati.

"Nggak masalah, Dika. Mbak juga minta maaf langsung pergi karena syok."

"Saya nggak memaksa Mbak bisa menikah dengan saya, karena tanpa Mbak ucap pun saya sudah tahu jawabannya. Niat aku cuma ingin menepati janji dengan Bang Dito."

"Janji?" Mbak Vira menatapku lekat, lagi auranya kembali ketus dengan iris mata yang berkaca-kaca.

"Tapi saya nggak bisa nikah sama kamu, saya sudah menggagapmu seperti adikku sendiri. Kamu jangan terlalu terpaku pada janji. Janji kan bisa saja meleset karena memang tidak sesuai dengan keadaan."

"Iya, Mbak saya paham. Cukup dengan melontarkannya saja saya sudah merasa lega, karena seolah beban tanggung jawabku telah hilang."

"ya, lagi pula kita berbeda. Usia kita terpaut cukup jauh. Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang. Banyak yang perlu kamu raih. Insya Allah saya bisa membesarkan Almira sendiri."

"iya, tapi Mbak, jangan pergi dari sini. Kasihan Ibu. Belum lama ibu ditinggal Bang Dito, sekarang Almira pergi. Mbak pasti tahu rasanya ditinggalkan seperti apa. Jadi saya mohon untuk tetap tinggal di sini."

"Untuk yang itu nanti Mbak pikirkan lagi."

Beberapa saat terdiam, aku pun enggan untuk memulai ucapan kembali. Tanpa disadari Mbak Vira sudah berdiri dekat pintu.

"Sudah malam Dika, sebaiknya kamu tidur. Besok ada kelas saya Bukan?"

"I-iya Mbak."

Mbak Vira masuk, Aku masih terdiam Memejamkan mata menghirup udara malam yang kian terasa dingin.

Petrikor membelai indra penciumanku, aromanya sangat menenangkan kalbu yang tadi sempat bergejolak gaduh. Kini kebimbanganku hilang sudah bersama gemericik rinai mulai membasahi bumi.

Sekarang, mulai memikirkan janjiku bersama Lili.

*

Pagi ini, aku terasa lebih bersemangat usai mengerjakan shalat Subuh. Bukan soal hujan yang membawa sejuk tadi malam, tapi masalah yang telah hilang.

Celoteh Ibu yang menggendong Almira sudah terdengar dari ujung anak tangga, aku yang sudah siap berangkat ke kampus menyapa Almira yang bergerak riang dalam gendongan Ibu.

Tangannya sudah bergerak gerak lincah, saat melihatku yang mendekat ke arahnya.

"Pagi, cantik!" sapaku sambil mencium pipi gembilnya yang harum.

"Ka, pegang. Ibu mau buat susunya dulu." Ibu langsung memindahkan Almira ke tanganku, menggendong bayi tidak sulit bagiku. Dulu sering gendong anak tante saat main.

Almira semakin senang dalam gendonganku, terlihat ia semakin tertawa riang.

Tanpa kusadari Mbak Vira tertegun melihatku menggendong Almira. Sejak pernyataan minta nikah itu, aku jadi sedikit canggung saat bertemu Mbak Vira. Kali ini pun aku gugup saat mata teduhnya memandangi kami.

Beruntung Ibu langsung datang, aku buru-buru memindahkan Almira ke tangan Ibu.

"Papa pergi dulu ya cantik, jangan rewel sama nene," pesanku pada Almira yang dijawabnya dengan celoteh riang tangannya kembali ingin menjambak-jambak rambutku.

Aku langsung berlalu, tapi ada sesuatu yang aneh baru kuucapkan tadi. Aku berhenti beberapa langkah mengingat apa yang aku ucapkan barusan.

Astaga! Kata apa yang aku ucap tadi sama Almira.

Cepat aku berbalik badan, suasana jadi hening Ibu menatapku bingung juga Mbak Almira yang terkejut lewat sorot matanya yang tajam menatapku.

Shit!

Salah ucap lagi.

Next

MENIKAHI KAKAK IPAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang