Pagi ini tidak seperti biasanya, padahal semua tetap sama. Bangun pagi dengan segala rutinitas yang sudah kumulai dengan menjalankan perintah-Nya, kemudian memandikan Almira yang sudah pandai membalikkan badan berusaha tengkurap.
Almira memang anak yang aktif dan pintar menurutku, tumbuh kembangnya sangat pesat semua karena aku, Ibu dan tentu Andika yang selalu memberikan limpahan perhatian dan kasih sayang yang tak pernah kurang untuknya.
Di pagi yang tidak biasa ini, semua karena senyum Andika yang terlihat berbeda. Yang sudah terlihat dari ujung anak tangga.
Dia telah rapi dengan kemeja biru muda yang lengannya digulung sampai ke siku. Entah kenapa, senyum dan tatapannya begitu sejuk, seperti taman rahasia yang belum pernah dijamah manusia.
Berkali-kali aku mengatur napas, mencoba meredamkan gelenyar aneh yang tiba-tiba menyapa dalam dada. Seolah ada kilasan dari segala perhatian Andika yang terlintas dalam ingatan, saat menemani Almira yang demam, tawa riang saat malam minggu kemarin, juga perhatian lainnya yang tak bisa kusebutkan.
“Mbak, mau berangkat bareng?” tawarnya yang hanya kujawab dengan anggukan. Suaranya pun, kali ini juga terdengar berbeda. Begitu mendamaikan.
Beberapa saat kami dalam keheningan , mobil terus melaju membelah jalanan ibukota yang sudah padat. Dika kembali menanyakan tentang Lili.
Terlebih soal ucapanku yang mengantung kemarin, apa yang kuketahui tentang gadis itu. Aku menghelakan napas berat. Takut salah bicara yang berakibatkan salah paham. Bahkan bisa jatuh fitnah.
"Lili bukan perempuan baik, Dik." Aku berucap pelan. Sumpah, takut menyinggung perasaan Dika.
"Apa alasan Mbak mengatakan Lili bukan wanita baik?" ucapnya, mata lelaki itu tetap fokus pada jalanan.
Ya, Tuhan ... mengapa berat sekali mengatakan ini. Aku masih diam.
"Mbak?" Dika memanggilku kembali.
Aku menjelaskan jika aku pernah beberapa kali memergoki Lili bersama pria lain, yang usianya jauh di atas gadis itu. Bisa dikatakan lebih cocok seperti ayahnya.
Berbeda jika anak gadis sedang berjalan bersama ayahnya. Bahasa tubuh mereka mengartikan sesuatu yang tidak biasa. Awal tak begitu peduli. Namun, tidak hanya sekali. Bahkan dengan pria yang berbeda.
Pernah juga bertemu gadis itu membeli alat kontrasepsi di sebuah apotek. Kebetulan saat itu aku masih bersama Mas Dito.
"Mungkin memang ayahnya, Mba, mereka lama tidak bertemu, karena orang tua Lili bercerai sejak lama,” jawab Dika.
"Atau bisa jadi Mba Vira salah lihat," timpalnya lagi.
"Mungkin. Makanya Mbak mau kamu selidiki dahulu sebelum lebih jauh, Dik. Walau bagaimana pun kamu itu adik Mbak, pastinya Mbak juga ingin kamu mendapatkan yang terbaik," jelasku.
Ada yang aneh dengan sikap Dika. Reaksinya biasa-biasa saja saat kukatakan tentang Lili. Terlihat datar, tak ada emosi saat mendengar pandangan jelek tentang orang terdekatnya.
Sesampainya di kampus, saat hendak turun Dika memanggilku." Mbak! Nanti pulangnya bareng aku aja, jangan dengan Pak Alif. Aku gak suka!"
Aku hanya mengangguk. "Mbak duluan, ya ...."
***
Perkuliahan telah usai, bergegas aku merapikan segala keperluan mengajarku di atas meja ruang kuliah di lantai lima. Sebelum turun menuju lantai dasar secara tiba-tiba Lili mencegatku. Menarik tanganku kasar hingga ke pojokan kampus yang sepi.
"Bu Vira, ngapain sih dekat-dekat Andika!" tanyanya. Namun, dengan emosi yang menggebu-gebu, seperti orang marah. Cemburu.
"Dia adik ipar saya, salahnya di mana?"
Lili tertawa sinis. Lalu menarik hijabku. Aku menahannya. "Lepaskan, Li!"
"Jauhi Dika, atau Ibu akan berurusan dengan saya! Aku tahu ibu hanya wanita licik yang akan memanfaatkan Dika!”
"Saya tidak takut jika harus berurusan dengan kamu, Li. Saya juga berhak melarang Dika untuk menikahi kamu, karena dia adik dari suami saya."
"Dika berhak memilih hidupnya dengan wanita baik-baik dan yang pasti wanita itu bukan kamu!" Aku berucap dengan penuh penekanan. Menatapnya tajam, entah dari mana keberanian itu datang.
“Kita lihat saja, Andika akan menikahi siapa? Aku atau Ibu yang hanya seorang janda!” Lili kembali membalas tatapanku dengan penuh amarah.
Gadis yang selalu berpakaian minim itu langsung pergi meninggalkanku yang masih menatap dengan tidak percaya akan perlakuannya barusan. Kasihan benar Dika jika harus memilih Lili untuk teman hidupnya.
***
"Dari mana saja, Mbak?" tanya Dika saat aku menemuinya di parkiran kampus.
Aku menggeleng, lalu masuk ke mobil. Bingung, apakah harus aku ceritakan pada Dika apa yang dilakukan Lili tadi padaku. Kurasa dia tak perlu tahu.
Saat Dika hendak menjalankan mobilnya. Namun, tiba-tiba Alif mencegah dengan mengetuk kaca jendela. Aku membukanya. Lagi-lagi teman seprofesiku itu memberikan hadiah buat Almira.
Raut ketidaksenangan atas sikap Alif tampak dari wajah Dika. "Pak, lain kali gak usah repot-repot memberikan Almira kado, saya juga masih sanggup!"
Dika menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan wajahnya ditekuk. Aku hanya dapat menggeleng melihat tingkahnya.
"Kenapa bersikap seperti itu dengan Pak Alif?" Aku memecahkan keheningan.
"Masih gak peka juga, Mbak? Pak Alif itu suka dengan Mbak," jawab Dika.
"Dari mana kamu tahu?"
"Aku lelaki, ya tahu lah," jawabnya.
“Kamu cemburu?” tanyaku ragu. Namun entah kata-kata itu keluar begitu saja, dan tak tahu kenapa ingin sekali menanyakan lagi hal itu.
Dika diam sejenak, kulihat ia menarik napas dalam tanpa diduga ucapannya kali ini mampu membuatku menerawang akan masa depan.
"Jika daun yang jatuh saja tidak pernah membenci angin. Lalu pantaskah manusia merutuki takdir? Percayalah Mbak, akulah takdirmu."
Apa maksud Dika?
Apa aku juga telah merasakan apa yang seperti dia rasakan padaku. Lalu bagaimana dengan Lili, dan Ibu? Apakah dia akan merestui? Ya Tuhan ... kuserahkan hidup dan takdirku di tangan-Mu.
Jika Dika adalah takdirku, dekatkan lah, jika dia bukan takdirku. Tolong jauhkan semua rasa ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAHI KAKAK IPAR
General FictionKetika janji harus ditepati, mampukah Dika memenuhi janji mendiang sang kakak. Untuk menjadikannya Ayah dan Suami bagi keponakan juga kakak iparnya?