Tak ada lagi yang bisa menahanku untuk meninggalkan rumah ini. Ya, Rumah yang banyak meninggalkan kenanganku bersama almarhum mas Dito.
Keputusan ini sudah bulat, aku juga sudah menemukan kontrakan kecil yang cukup aku tempati bersama Almira. Aku tak ingin, adanya diriku di rumah ini akan menjadi beban dan masalah jika nantinya Dika menikahi Lili.
Aku tak mempunyai hak untuk tinggal di rumah ini lagi.
"Assalamualaikum, Bu." Kusapa wanita paruh baya yang baru saja menidurkan putriku.
"Waalaikumsalam, Vir, kamu tidak bareng Dika?"
Aku menggeleng. Lalu mengambil segelas air membawanya ke meja makan. "Bu, Vira mau ngobrol sebentar," ucapku.
Wanita paruh baya itu mengambil duduk tepat di hadapanku. Dahinya mengerut mengartikan sebuah tanya. Aku menghela napas. Lalu menjelaskan maksudku, jika aku ingin pindah dari rumah ini. Ibu mertuaku terkejut mendengar perkataanku. Tampak raut ketidaksukaan di wajahnya.
"Ibu tidak mengizinkannya, Vir? Kenapa kamu berubah tiba-tiba?"
Aku menjelaskan, jika tidak ingin menambah bebannya, apalagi Dika akan menikah dengan Lili, beliau juga akan mendapatkan cucu dari menantunya itu. Aku juga menjelaskan, jika keberadaanku di rumah ini pasti tidak diharapkan menantunya kelak.
"Vira bukan siapa-siapanya Ibu lagi, Vira tidak berhak ada di sini, Bu." Aku berucap dengan nada bergetar. Air mata ini pun lolos begitu saja.
"Kamu tetap menantu Ibu, kamu anak Ibu, Almira cucu Ibu," ucap wanita paruh baya itu. Air matanya pun ikut membasahi pipi keriputnya.
"Apa kamu tidak menganggap Ibu lagi, Vir? Ibu salah apa?"
Ya Allah. Bukan ini yang kumaksud, Ibu mas Dito sangatlah baik, dia tak pernah memarahiku, bahkan tak menganggapku sebagai orang. luar. Aku bersyukur mendapatkan mertua sebaik dia.
Sering aku mendengar cerita-cerita teman seprofesiku menceritakan hubungan mereka dengan mertuanya yang tak harmonis.
"Maafkan Vira, Bu. Ibu tetap neneknya Almira. Vira hanya tidak ingin nantinya kehadiranku akan jadi benalu di rumah ini."
"Ibu tetap tidak mengizinkan kamu keluar dari rumah ini, jika Dika menikahi Lili, dia yang membawa istrinya keluar dari sini."
"Jika kamu tetap berkeras mau pergi, Ibu tak mengizinkan kamu membawa Almira." Ibu mertuaku pergi begitu saja. Meninggalkan aku yang masih terperangah mendengar ucapannya.
Bingung ....
Maafkan Vira, Bu. Ijin atau tidak, aku akan tetap meninggalkan rumah ini. Almira ikut aku. Aku ibunya.
***
Aku meminta bantuan Alif untuk mencari kontrakan dekat dengan kampus. Agar aku tidak terlalu kerepotan saat mengajar.
Aku juga sudah mendapatkan seorang babysitter untuk menjaga Almira saat aku berada di kampus. Pria berketurunan Arab itu bersedia membantuku.
Saat makan malam, aku bertemu dengan Dika. Hening yang tercipta, tak ada satu pun yang bicara di antara kami. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang terdengar.
Ingin kusudahi saja ritual makan malam saat itu, Dika hanya memandang antara aku dan Ibu dengan wajah keheranan. Hingga tanya itu keluar juga dari mulutnya.
"Ibu dan Mbak Vira kenapa?"
Aku dan Ibu saling pandang. "Tanya saja dengan Mbakmu ini," jawab Ibu dengan nada ketus.
Kuucapkan istigfar berulang kali di dalam hati. Ya Allah, kuatkan aku untuk membicarakan hal ini lagi.
"Besok Mbak dan Almira akan pindah dari rumah ini, maaf, Bu. Vira mau ke kamar." Kutinggalkan mereka berdua, sempat tertangkap oleh mataku, raut keterkejutan dari wajah Dika saat mendengar ucapanku.
***
Setelah 2 jam berlalu, pukul 9 malam, pintu kamarku diketuk. Terdengar suara Dika memanggil dari luar.
"Mbak, bisa kita bicara?"
Kubuka pintu kamar, lalu keluar mengikuti Dika yang berjalan di depan. Kami duduk di teras rumah. Adik mas Dito duduk tepat di hadapanku.
"Kenapa Mbak mau pindah? Bukan kah Mbak berjanji setelah usia Almira dua tahun?"
"Mbak membatalkannya dan sudah menemukan kontrakan yang cocok," ucapku.
"Apa karena Pak Alif?" Dika bertanya dengan sorot mata yang tajam.
Kenapa dia bertanya seperti itu? Aneh, masih saja tidak menyukai pria yang bernama Alif itu. Kalau benar dia cemburu, lalu bagaimana dengan Lili, bukankah gadis itu ingin dinikahinya.
"Mbak, aku bertanya, kenapa bengong? Jadi benar, karena Pak Alif?"
"Bukan," jawabku.
"Keputusan Mbak sudah bulat, mbak mau keluar dari rumah ini." Aku beranjak dari kursi, hendak meninggalkan Dika. Pemuda itu menarik lenganku.
"Kita belum selesai berbicara, dan ... aku juga mempunyai keputusan, tetap tidak mengizinkan Mbak dan Almira keluar dari rumah ini." Andika berkata dengan tegas.
Aku hanya dapat menghelakan napas berat. Sekeras ini kah seorang Dika?
"Ini demi kebaikan kamu dan Lili, Dika. Mbak harus pergi dari rumah ini," ucapku tak mau kalah. Lalu aku benar-benar ingin masuk ke rumah.
“Jadi, kamu marah karena aku mau nikah sama Lili?
Perkataan Dika yang membahasakan diriku dengan kata 'Kamu' membuat aku berhenti melangkah.
Aku tak menggubris pertanyaan Dika. Mempercepat langkah masuk ke rumah. Lagi-lagi, ucapan Dika membuat aku berhenti seketika.
"Kalau begitu aku tetap akan menikahi kamu, Vira. Dan tak akan pernah membiarkan kamu membawa Almira pergi dari sini."
Dika mengunci pintu rumah bagian depan. Mencabut anak kunci tersebut dan memasukkan ke saku celananya. Pemuda itu menaiki anak tangga melewatiku dengan mimik wajah yang sulit kuartikan. "Jika ingin keluar rumah, ijin dulu pada calon suami," ucapnya.
Perkataannya kali ini berhasil membuatku membulatkan mata. Entah, apa yang kurasakan, harus senang kah? Atau sedih. Namun, kali ini ucapan pemuda itu berhasil membuat sesuatu yang menghangat di dalam hati ini.
Benarkah aku telah jatuh cinta pada Dika, adik dari mas Dito? Lalu bagaimana dengan Lili? Ya Tuhan ....
***
Dika benar-benar serius dengan ucapannya, pagi ini kulihat dia sudah standby menungguku. Senyum disunggingkannya saat melihat aku mendekati anak tangga tempat dia berdiri. Cepat-cepat kualihkan pandangan ke arah lain.
Dika mendekati, mengambil Almira dari gendonganku.
"Pagi anak Papa yang cantik, Papa kangen ngajak kamu main, besok kita jalan-jalan lagi, ya, bareng Nenek dan Mama," ucapnya sambil melirikku.
Tawa riang Almira memecah di ruang tamu yang tak begitu besar ini. Meraih rambut Andika yang kini sulit digenggamnya. Lalu memukul wajah pemuda itu. Dibalas dengan ciuman di wajah putriku.
"Sudah siap, Vir?"
"Ah?" ucapku kaget, lagi Dika memanggilku tanpa embel-embel Mbak.
"Kenapa? Kok kaget? Boleh, kan, aku memanggil tanpa sebutan Mbak? Tak lucu, kan, kalau aku memanggil calon istriku dengan sebutan Mbak?"
Aku hanya menggeleng mendengar ucapan Dika. Segera meninggalkannya menuju dapur, mempersiapkan keperluan Almira. Lalu berangkat ke kampus.
***
Semua telah selesai kupersiapkan, buru-buru aku bergegas ke teras depan. Sudah terdengar suara Almira yang sepertinya sudah tidak sabar ingin segera pergi, anak ini terus berceloteh tak pernah berhenti dari tadi.
Dika pun terlihat tak kalah antusiasnya melihat tingkah Almira kali ini. Begitu juga Ibu yang telah rapi dengan kerudung cokelat yang mengiasi.
Namun, Konsentrasi kami buyar melihat mini coper yang berhenti memasuki gerbang rumah kami. Terlihat kaki jenjang dengan heel merah menyala keluar dari dalam mobil. Mataku membulat sempurna, saat sosok itu terlihat jelas menghampiri.
Lili, untuk apa datang sepagi ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAHI KAKAK IPAR
General FictionKetika janji harus ditepati, mampukah Dika memenuhi janji mendiang sang kakak. Untuk menjadikannya Ayah dan Suami bagi keponakan juga kakak iparnya?