Part 5 POV Dika

3K 93 0
                                    

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, setelah salah ucap tadi. Aku mengalihkan kegugupanku dengan mengajak Mbak Vira berangkat ke kampus bersama.

Mbak Vira pun mengiyakan ajakanku, dan di sinilah kami sekarang. Duduk berdua dalam keheningan.

Sepanjang jalan tak ada kata yang terucap dari bibir kemerahan Mbak Vira, mata teduhnya terus memandang ke luar jendela. Kutahu dia pasti marah akan ucapanku tadi.

“Maaf, Mbak bolehkan aku membiasakan diri pada Almira memanggilku papah?” ucapku pelan, takut Mbak Vira berprasangka lain dengan ucapanku tadi. Aku hanya ingin membangun kedekatan dengan Amira, agar kelak dewasa nanti. Dia tidak merasa kehilangan sosok seorang papah.

Hening. Tak ada jawaban dari Mbak Vira. Kulihat dia menarik napas dalam. Membetulkan ujung hijabnya yang terbawa angin pagi yang masuk lewat celah kaca mobil terbuka sedikit.

“Boleh kan, Mbak?” Lagi aku bertanya, memastikan kalau panggilan papah boleh atau tidak untukku buat Almira.

“Boleh, setidaknya kamu juga yang akan jadi walinya. Kelak Almira akan menikah nanti,” ucapnya tegas, tanpa menoleh ke arahku.

Aku lega mendengar jawaban dari Mbak Almira barusan. Meski nada bicaranya sangat ketus, tidak masalah.  Jadi aku tidak akan takut lagi kalau nanti membiasakan Almira menyebutku dengan panggilan papah.

“Dika, Mbak memutuskan untuk tetap tinggal bersama kalian, sampai usia Almira dua tahu. Mbak rasa usia Almira sudah cukup besar. Jadi tidak lagi perlu bantuan Ibu untuk menjaga Almira. Tapi dengan satu syarat!”

“Syarat apa, Mbak?” tanyaku heran, dengan pernyataan syarat yang Mbak Vira lontarkan.

“Lupakan janji dengan Bang Dito, anggap saja kamu tak pernah mengungkapkan janji itu,” ucap Mbak Vira penuh penekanan di tiap kalimatnya.

Refleks, aku mengerem mendadak mendengar ucapannya barusan. Seolah memberi pengertian padaku kalau aku harus buang jauh-jauh niatku yang ingin menikahinya.

Janji adalah hutang, aku sudah janji dengan Bang Dito untuk menjaganya dan Almira. Aku menatapnya geram, ingin protes dengan syarat yang ia berikan.

“Ta—“

“Lupakan atau Mbak dan Almira pergi dari rumah.” Mbak Vira mengancam.

Aku mencengkram kemudi kuat-kuat kesal akan ancaman barusan. Mbak Vira tidak mengerti posisiku. Aku pun tidak mau dalam posisi dan situasi seperti ini, namun janji yang telah terlontar aku harus apa?

Aku kembali mengemudikan mobil menuju kampus, keheningan terus menyelimuti suasana dalam mobil sampai berhenti tepat di halaman kampus. Mbak Vira langsung saja berlalu tanpa menoleh dan mengucapkan sepatah kata apa pun.

*

“Gimana acara lamaran lo, Dik? Dari raut muka lo yang asem sih, gue tahu jawabannya” Ledek Joni, yang sudah mengetahui berita itu dari Robi.

Aku terdiam enggan menimpali  candaan mereka, sibuk mencatat bahan-bahan onderdil apa saja yang harus aku belanjakan. Melihat stok persediaan bengkel mulai habis.

Ya, meski seorang mahasiswa aku sudah punya usaha sendiri. Walau masih bengkel kecil. Paling tidak untuk uang jajanku tidak minta sama Ibu atau Bang Dito saat masih ada.

Bengkel ini, aku rintis dengan kerja keras aku sendiri. Berawal dari hobi yang suka otak atik motor tua Ayah dulu. Akhirnya bisa tercapai punya bengkel dengan dua cabang yang masih berada di sekitaran Jakarta.

“Hidup lo, enak banget ya Dik. Punya pacar cantik, calon istri juga cantik dosen pula. Hidup lo dekat banget sama jodoh. Lah kita?” celotehan Robi membuatku geleng-geleng kepala mendengarnya.

Belum tahu mereka, Susah payah hati ini meyakinkan Mbak Vira yang sangat teguh pendiriannya.

“Sssttt! Lili! Joni menunjuk orang yang ia sebut dengan dagunya, otomatis aku menengok.

Benar saja, aku melihat Lili berjalan mendekat bersama plastik besar berlogo makanan cepat saji di tangannya.

Mini  dress merah muda, yang ia kenakan terlihat begitu cerah menempel pada kulit putihnya yang bening. Senyumnya sudah mengembang, saat netra kami bertemu. Buru-buru aku menundukkan kepala enggan berlama-lama menatapnya. Menyelamatkan hati dari cobaan kembimbangan antara memilih Lili dan Mbak Vira.

“Hai! Dik, sudah makan?” tanya Lili menunjukan makanan yang ia bawa.

“Belum lah, nungguin kamu bawa makanan,” sahut Robi yang langsung menyambar makanan yang Lili bawa.

Melihat Robi dan Joni sudah menyantap makanan yang Lili bawa. Aku buru-buru bergegas merapihkan daftar belanjaan yang tadi kucatat. Setelah belanja, aku berniat menjemput Mbak Vira yang masih ada jam mengajar di kampus.

“Kamu mau ke mana, Dik?” Lili mencegah langkahku.

“Aku mau belanja barang-barang bengkel.”

“Aku ikut ya?”

Aku terdiam mendengar permintaan Lili ingin ikut, bukan tidak mau mengajaknya. Sebelumnya memang kami sering bersama ke mana pun. Lili sering minta bantuanku, entah mengantarnya ke mall atau sekedar nongkrong bersama teman-teman yang lainnya.

Namun, kali ini entah mengapa ada rasa yang memberikan kami jarak untuk tidak selalu bersama. Lili memang wanita cantik, juga baik sering membawakan aku makanan, tapi aku tidak suka dengan sifatnya yang terlalu manja, apa pun kemauannya inginnya selalu dituruti.

Lili lahir dalam keluarga yang tidak harmonis, kedua orang tuanya sering bepergian karena kesibukan akan bisnis yang mereka jalani. Sampai suatu hari Ayahnya ketahuan selingkuh dengan karyawan di kantornya. Pertengkaran selalu menghiasi rumah besar Lili, bunyi pecahan barang-barang juga teriakan yang selalu menggema saat kedua orang tuanya bertemu. Akhirnya mereka bercerai, saat itu Lili sangat syok merasa tidak dihargai keberadaannya dan hampir ingin mengakhiri hidupnya dengan minum obat-obatan yang sengaja ia telan banyak-banyak.

Beruntung aku cepat datang dan segera membawanya ke Rumah Sakit. Sedikit saja terlambat saat itu Lili hanya tinggal nama. Aku selalu setia menemaninya, sebagai sahabat aku ingin Lili merasa hidupnya lebih dihargai.

Itu sebabnya, aku berjanji kepadanya untuk selalu bersama bahkan berniat menikahinya setelah lulus nanti. Namun, semua kembali akan ketentuan Tuhan. Manusia hanya bisa berencana dan Tuhanlah yang menentukan pilihan.

Sekarang ada Mbak Vira dan Lili yang menjadi pilihan, mana yang akan aku tentukan?

Aku mengangguk tanda setuju akan permintaan Lili yang ingin ikut, dia berlonjak senang langsung masuk ke mobil. Aku menarik napas pelan, membuka pintu belakang kemudi.

Belum sampai aku masuk, netraku menangkap sosok Mbak Vira berjalan ke luar kampus terlihat dia berbicara dengan Pak Alif, salah satu dosen muda di kampus ini.

Ada gelanyar aneh yang kurasakan di dada ini. Entah apa itu, yang pasti aku tidak menyukai kedekatan mba Vira dengan dosen muda itu.

“Andika!” Suara Lili membuyarkaan fokusku masih melihat Mbak Vira yang asik berbicara dengan lelaki tinggi tegap di sebelahnya.

Aku terlupa, bahwa Mbak Vira pun punya pilihan untuk masa depannya. Dan satu hal yang pasti, bukan aku yang ia tentukan.

Next

MENIKAHI KAKAK IPAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang