Juan, lelaki bermata coklat senada dengan celana model chinos yang dipakai, sedang asik bermain. Meniru bermacam gaya tokoh hero favoritnya. Sementara disebelahnya, ada gadis berambut sebahu dengan blouse putih juga topi bowler coklat, yang larut dengan peralatan masak mainannya.
"Kalo udah besar nanti, aku pengen jadi power ranger, biar bisa bantu semua orang." Ucap Juan dengan mengangkat mainannya.
"Kalo Acha mau jadi chef biar bisa buat makan yang enak." Timpal Aku yang tak ingin kalah dari Juan.
Aku tinggal berdekatan dengan Juan, orang tua kami bertetangga dengan baik. Bahkan, tak jarang Aku dan Juan terlihat seperti adik kakak.
"Senang ya, melihat Acha dan Juan terlihat rukun." Suara Ibu memecah lamunan Tante Laras.
"Biarkan Juan menjaga Acha, Diana. " Tenang Tante Laras dengan merangkul bahu Ibu. Mereka menghampiri kami dengan membawa puding coklat, puding coklat memang menu wajib saat kami bermain.
" Yeay! Mama aku bawain aku puding!" Sorak Juan dengan memperhatikan Ibunya yang mendekat,
"Ish, Mama Diana juga bawa buat aku kok." Timpal Aku yang tak mau kalah.
Suasana sore hari itu begitu hangat, langit bersih tanpa awan juga semilir angin membuat syahdu suasana.
"Aduh kayaknya Om Andri terlambat nih," Gerutu Om Andri Ayah Juan dengan berlari-lari kecil menuju kami.
"Papah!" Sambut Juan yang bergegas lari menuju ayah nya, "Om Andri!" Sambut Aku mengikuti langkah Juan.
"Halo jagoan, halo princess," Sapa Om Andri sambil menggendong Aku dan Juan. Dari kejauhan Tante Laras dan Ibu hanya tersenyum melihat tingkah anaknya.
"Ayo, foto dulu semua!" Ajak Om Andri. Tangan kekarnya begitu cekatan mengatur timer untuk mengambil gambar, "Satu, Dua, Tiga, cis..." Teriak Om Andri mengarahkan gaya. Beberapa foto telah berhasil diambil, semua tertawa riang melihat hasil foto. Namun, tiba-tiba Om Andri mengerutkan kening berasa ada yang ia lewatkan
"Ah iya, Juan, Acha ayo foto berdua!" Titah Om Andri.
Hari sudah larut, nampaknya akan turun hujan. Gelegar petir kian semakin jelas terdengar dan anginpun mulai tidak bersahabat.
"Acha, kamu pegang satu foto nya ya." pinta Om Andri dengan memberikan lembar foto. "Terimakasih Laras, Andri atas jamuannya." Pamit Ibu,
" Tak usah sungkan Diana, kaupun begitu baik pada kami. " Jelas Tante Laras mengakhiri percakapan hari itu.
Makan malampun tiba, dengan rambut yang masih basah juga bedak yang tidak rata, Aku begitu semangat menyantap makanan di depan ku.
" Ma, papah Acha siapa sih?" Tanyaku dengan menyantap nasi terakhir di piring. Ibu tampak kaget dengan pertanyaan yang dengan spontan aku lontarkan, sepertinya aku salah memulai topik pembicaraan. Ibu bergegas menelan nasi di mulutnya.
"Nak, sudah malam lekas tidur, kamu kan sudah beres makannya." Titah Ibu dengan membereskan piring di meja makan dengan terburu-buru. Aku masih tak memalingkan pandangan dari ibu heran apa yang terjadi, kemudian beranjak pergi ke kamar dengan membawa segelas air minum. Di tangga menuju kamar, Aku berhenti sejenak. Penasaran melirik jam,
"Baru jam delapan." Gerutu ku dengan menggelengkan kepala.
Malam semakin larut, Ibu dengan begitu lelah baru selesai menyiapkan berkas-berkas untuk besok pagi. Tiba-tiba handphone nya berdering pertanda pesan masuk,
" Kok ada ya yang belum tidur jam segini selain aku," Ujar Ibu.
Entah pesan apa yang Ibu dapat, ia lekas menutup layar handphone dan menarik nafas dengan dalam,
" Saya harus cepat pindah, dan mengganti nomor telepon lagi." Keluh Ibu.
Pagi yang cerah, matahari nampak tak malu-malu menampakan dirinya. Udara pagi terasa begitu segar dan dari dapur, aroma pisang keju coklat begitu membuat perutku lapar.
"Hallo Raisa Juli" sapa Ibu di meja makan.
Aku hanya tersenyum sebagai balas sapaanya,
"Nak, hari ini kamu tidak usah masuk sekolah ya." Pinta ibu yang membuat aku mengerutkan kening. Melihat ekspresiku yang begitu heran, Ibu mencoba menjelaskan.
" Nanti Ibu yang hubungi guru kamu kok," sambil tersenyum. " Baik bu, Acha kasih tau Juan dulu ya" pintaku dengan melangkahkan kaki begitu cepat, kemudian tanganku berusaha cekatan membuka jendela. Aku menarik sebuah tali yang terhubung ke kamar Juan, namun sepertinya ada yang menghalangi sehingga lonceng dikamar Juan tidak berbunyi.
"Halo Juan," Aku mendekatkan mulut ke telepon kaleng. "Juan ini Acha, halo?" Di sebrang sana masih tak ada jawaban, bahkan jendela nya pun tidak terbuka. Akhirnya aku membuat beberapa pesawat kertas sebagai pertanda bahwa aku telah mencoba menghubungi Juan.
"Cha! Ayo kita berangkat." Titah Ibu dari bawah. Aku masih menatap jendela itu sekali lagi, berharap akan ada Juan disana.
Diperjalanan aku hanya terdiam, semilir angin yang jahil memainkan rambut, kini tak membuatku bergerak sama sekali.
" Ibu, " panggilku berusaha memulai percakapan. Ibu tetap fokus melihat ke arah jendela takut tujuannya terlewat.
" Ibu Diana?" Aku mencoba memanggil lagi, memastikan Ibu akan menoleh. Ternyata tidak, bibir tipis ku mulai mengerucut sebal dihiraukan oleh ibu.
" Ibu Diana?" Dengan intonasi merengek,
"Nah itu tujuan kita nak." Jawab Ibu dengan tersenyum lega. Kami turun tepat di rumah minimalis berwarna putih dengan nomor 16.
Dengan semangat juga penuh harap, Ibu melangkah memasuki halaman rumah itu tanpa melepaskan tangan kecilku yang kesulitan menahan topi bowler yang hampir jatuh.
" Permisi, Sinta?" Panggil Ibu sembari menekan bel.
"Hai Diana!" Ucap perempuan dengan blouse kotak-kotak keluar dari pintu utama, sepertinya sudah tau akan ada tamu pagi ini.
"Ayo silahkan masuk." Ajak Tante Sinta dengan merangkul Ibu.
Tampak jelas ruang tamu berkonsep minimalis yang begitu hangat, dekorasi senada kian mempermanis suasana dan puluhan foto yang terususun berkonsep membuat Ibu dan aku masih mematung dan sesekali tersenyum lemah melihat kehangatan keluarga Tante Sinta.
"Luna, tolong bantu Ibu" Suara Tante Sinta memecah pandangan Ibu, dari balik pintu jati berwarna coklat alami datang anak perempuan sebaya dengan ku tersenyum manis menyapa Ibu.
"Halo tante," Sapa Luna.
" Halo, manis sekali kamu sayang." Balas ramah Ibu.
"Luna, tolong ajak Acha main ya. Ibu dan Tante Diana ada urusan sebentar." Titah Tante Sinta .
Dengan tangan kecilnya yang mulai menggenggam tanganku, Luna membawa aku keruangan paling belakang. Ruangan yang membuat Aku kagum dan tak mau memalingkan pandangan, ruangan yang masih bernuansa putih juga dekorasi senada dan ya, ruangan ini istimewa. Di ujung ruangan, terpampang puluhan foto berkonsep dengan berbagai macam ekspresi dan latar. Namun, dengan jumlah objek yang sama disetiap fotonya. Aku semakin mematung, ini indah sekali.
"Itu foto keluargaku, ini aku, mama, dan ayahku. Baguskan?" Tanya Luna yang hanya berbalas senyuman pertanda aku meng-iyakan perkataan Luna.
"Ayo kita foto! Kamu duduk di kursi itu ya" Ajak Luna dengan menunjuk kursi dekat jendela. Tangan kecil Luna begitu cekatan mengatur fokus dan timer kamera, lalu berlari kecil menghampiri Aku dan cekrek! Gambar kami berhasil di ambil.
Hari semakin terik, Kami sudah ada di rumah sejak beberapa jam yang lalu. Perjalanan pulang memang selalu lebih cepat dari perjalanan pergi. Semenjak pulang dari rumah Tante Sinta, Ibu masih terdiam di sofa dengan berkas-berkas rumah yang tercecer di meja.
" Bu, kita pindah ya?" Tanyaku yang duduk di sebelah Ibu.
"Acha akan selalu ikut Ibu kok, Acha ga akan ninggalin mama sendiri" jelasku menahan air mata, dengan tangan yang berusaha memeluk bahu kokoh Ibu.
"Istirahat sayang, besok kita pindah." Pinta ibu, aku mulai melepas pelukan itu dan bergegas pergi ke kamar tidur.
"Asal kau tau nak, seharusnya kau yang ada difoto itu. Seharusnya kau yang bahagia seperti Luna. Ayah Luna adalah ayah mu, sosok yang berusaha Ibu gantikan." Bisik Batin Diana.
Semua barang telah selesai diangkut, aku dan Ibu terasa siap untuk pindah rumah. Tapi, Aku masih ingin diam menatap jendela itu, jendela yang belum terbuka. Mungkin Juan telah membenciku atas kesalahan apapun itu, bahkan kini tali telepon kaleng kami sudah terputus padahal kemarin malam masih biasa saja. Belum lagi pesawat kertas yang aku buat sudah sobek terkena air hujan. Aku membuka laci lemari untuk terakhir kalinya memastikan semua buku dongeng ku tidak ada yang tertinggal, ternyata masih ada satu kertas yang aku bisa pakai untuk membuat pesawat kertas terakhir. Kali ini akan ku tuliskan permintaan maaf, barangkali Juan sempat membacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Samudra
Teen FictionSetiap keinginan yang berdenting menuju langit, selalu berharap diberi yang terbaik. Tapi kehilangan, kegagalan, percarian dan penantian selalu menghalangi rasionalitas pemikiran. Layaknya bunga yang tak dapat memilih dimana ia tumbuh, Acha bertekad...