Dengan sejuta pertanyaan, aku berusaha membaca aksara yang telah pudar. Mengapa aku tak pernah melihat buku tua ini?
_________Sejak kemenangan lomba kemarin, semua berjalan baik-baik saja. Sampai tiba libur sekolah karna kelas tiga akan melaksanakan ujian. Ibu kali ini super sibuk, akan ada pembukaan cabang baru di toko kue Alyn, dan ibu salahsatu karyawan yang terpilih untuk ikut dalam perencanaan sampai peresmian cabang baru tersebut.
Sejak malam, hujan deras beserta gemuruh petir mengguyur kota kecil ini. Kamar ibu tiba-tiba bocor, sepertinya ada genting yang patah. Maklum, bangunan tua.
Semua barang-barang seperti lemari bahkan tempat tidur ibu harus di geser terlebih dahulu, karna ruangan ini kemarin malam tergenang air.
Tapi langkah ku terhenti, saat ada koper tua dengan permukaan yang tidak lagi sempurna di kolong tempat tidur ibu. Koper antik ini dilapisi kulit yang berserat unik, tapi sekarang melepuh termakan waktu.
Koper tua itu diangkat menuju meja dekat jendela, aku terduduk dikursi kayu jati itu dan mulai memecahkan rasa ingin tahu ku.
Koper ini memakai sandi angka untuk membukanya. Aku mencoba dengan memasukan tanggal lahir ibu dan tanggal lahir ku. Setelah beberapa lama, YAP! Angka 1807** berhasil membuka koper tua ini.
Didalamnya ada satu buku tebal dan beberapa potongan foto masa muda ibu. Aku terseyum melihat foto ibu dengan rambut yang sepertinya sedang trend pada masa itu, kemeja kotak-kotak dan celananya yang unik. Itu cukup membuatku mengakui bahwa ibu cukup fashionable pada masanya.
Dan buku tua ini, sampulnya berwarna coklat muda dengan motif batik. Kertasnya sudah menguning, didalamnya tulisan ibu tersusun rapi bagai diukir.
Ku beranikan diri membuka buku ini.
Dihalaman pertama terdapat tulisan,
DIANA ROSSIE (3)
Tulisan tersebut terdapat di tengah-tengah halaman, dan di pojok kanan bawah ada sebuah tanda tangan.
Aku mencoba membuka halaman selanjutnya,
Yogyakarta 16 April 2002
Pada malam itu, lelaki dengan bersimbah gundah berdiri di ambang pintu setelah menekan bel dalam hitungan ganjil. Matanya sayup tapi ada percikan api disana, aku percaya ia bukan orang jahat. Ia memalingkan pandang itu dariku dan bergegas masuk memeluk mu duhai kekasihku, tubuh nya roboh dan berlutut memohon dikakimu. Kini matanya yang berlinang air mata membuat jejak di pakaianmu.
"Tolong, selamatkan. Semua jalan telah kutempuh, kau hanya satu-satunya yang bisa menolong !" Katanya sambil meringis kesakitan.
Kau menatap kaku padaku, sejak ia datang kau tak berbicara sepatah katapun. Dan aku? hilang kata dicekik ragu kau tidak akan meninggalkan ku bukan? Mataku berisyarat demikian. Tapi dimatamu? Ada yang lain...
Jangan pergi...
Tolong...
Kita baru saja menang sayangku...
Tolong...
Jangan...Dengan ragu aku mendekatimu duhai kekasih, ku letakkan tangan ini di bahu kekarmu untuk menenangkan engkau. Aku percaya, kau tidak akan pergi seperti yang lain, meski aku tidak tahu siapa orang yang berlutut lemah sekarang ini.
Ku pinjam tanganmu, menyentuh tubuh yang kini terdapat darah dagingmu. Memberi isyarat "Kita akan menyaksikan nya bersama sampai ia tumbuh dewasa. Kita akan menjadi tua seperti apa yang kita damba saat sedang jatuh cinta."
Diana
Aku sempurna mematung.
Mencoba mencerna semua maksud kalimat di halaman kedua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Samudra
Teen FictionSetiap keinginan yang berdenting menuju langit, selalu berharap diberi yang terbaik. Tapi kehilangan, kegagalan, percarian dan penantian selalu menghalangi rasionalitas pemikiran. Layaknya bunga yang tak dapat memilih dimana ia tumbuh, Acha bertekad...