Kini mereka berdiri di samping Radit. Hening sejenak, kemudian salah satu diantara mereka memulai pembicaraan.
Ia mengeluarkan tangannya dari saku jaket.
"Sorry" dengan mengulurkan tangan.
Radit dengan manis menjabat tangannya dan tersenyum.
Jo dengan kaku ikut tersenyum."Gue Jordan, jersey nomor 43. Biasa dipanggil Jo." Ia memulai pembicaraan dengan gugup. Matanya sungkan menatap Radit, bahkan jika aku tak salah wajah nya sekarang pucat.
"Radit, Jersey no 21. Titisan Kobe Bryant" candaan Radit kali ini mencairkan suasana. Kini, wajah Jo bersemu hangat.
"Maafin gue Dit" matanya mulai berani menatap Radit, meski hanya hitungan detik.
"Gapapa Jo, gue tau lo orang baik. Lo cuma lagi kurang sehat aja kan?" Suara Radit menelisik batin Jo.
"Makasih Jo sama temen lu itu dah mau mampir" tutur Radit.
Jo kini menatap Radit dan menggelengkan kepala dengan pelan.
Radit memang selalu membuatku kagum, bahkan dalam situasi ini dia masih bisa berpikir positif berusaha memaklumi setiap kejadian. Manusia macam apa Radit ini.
Saat menolak segala ajakan Lukeu, Radit tak pernah lupa mengatakan "maaf" meski dikalimat selanjutnya Radit berbohong.
Hal sekecil apapun, Radit selalu berterima kasih. Bahkan sekarang, pada orang yang telah mecelakainya.
"Kenapa ga mau tanding Jo?" Tanpa sadar aku bertanya demikian mengingat obrolan bersama dua orang tadi.
"Eh, lu tau?" Jawab Jo dengan kembali bertanya.
"Ehehe iyaa, tapi gapapa kalo ga mau cerita." Aku malu, menggaruk kepala yang tidak gatal.
Jo duduk disamping Radit. Menghela nafas begitu dalam untuk mulai bercerita. Ia tertunduk lemas menatap kosong dinding ruangan.
"Keluarga gue lagi ada masalah ekonomi, gue anak pertama harus ikut nanggung semuanya." Ia mulai bercerita dengan lirih
"Ini semua cuma buang-buang waktu"
"Gue gak mau ikut tanding karna, ya buat apa. Kadang uang hasil turnamen diambil pelatih." Kali ini ia mendengus kesal dan mengepalkan tangannya.
"Parah!" decak Pandu terbawa emosi dan mulai mendekat pada Jo.
"Alesannya sih masuk akal, jadi yaudahlah." Tutur Jo
"Gue frustasi sama keadaan sekarang, bingung ngelampiasin nya gimana. Mental gue kena saat Tim lu dengan cepet cetak skor."
"Dan gue tau, kalo lu jago banget pas shooting. " Jo menatap Radit.
"Bahkan pelatih gue bilang, hati-hati sama jersey no 21. Dan yap Beberapa menit main gue langsung bungkam sama skill lu. " Radit tersenyum mencoba menghiraukan pujian Jo.
"Gue emang jahat, berpikir pendek, dengan sengaja gue tabrak terus sikut dada lu." Ucap Jo dengan gemetar
"Tapi kejadiannya bener-bener diluar dugaan. Lu malah pingsan dan kata tim medis dari sekolah lu sekarat di mobil." Suara jo semakin gemetar, tangan kekar Radit dengan ringan merangkul bahu Jo.
"Bodoh banget gue tuh!" Pekik Jo yang mulai terisak
"Ngebahayain nyawa seseorang demi kepuasan gue tersendiri. " Jo sempurna menangis.
Situasi ini membuatku luluh terbawa suasana.
"Jangan nangis!" Ucap Arsen dengan dingin.
Lelaki dengan jersey nomor 07 itu ikut merangkul Jo berusaha menenangkan. Pandu juga ikut merangkul Jo, aku kira Pandu akan ikut suasana haru ini, tapi...
"Kalian lapar? Gue mau ke kantin nih. Denger cerita Jo gue jadi lapar hehehe" ucap Pandu
"Sialan!" Ucap Radit dengan menjitak kepala Pandu.
Semua tertawa, bahkan Jo berusaha mengusap air matanya yang tak tertahan.
"Kiarin lo dateng ke sini mau bunuh gue Jo, jelas banget gue lihat muka lu pas kejadian." Radit dengan spontan mengelus dadanya.
"Pas lu masuk, tangan lu didalem saku jaket kan, nah dibayangan gue lu bawa pisau atau gunting gitu atau gak shuriken soalnya kalo bawa golok ga muat. Terus lu mau bunuh gue." Radit menghela nafasnya
"Tapi gue ga boleh mikir gitu, soalnya apa yang terjadi dalam hidup gue, semua berawal dari prasangka. Jadi gue ngusir jauh-jauh pikiran itu sampe lu berdiri disini ternyata minta maaf ke gue." Radit tersenyum lebar dengan tangan yang masih mengelus dada.
"Bambang!" Pandu memekik dengan menarik selimut Radit.
Semua tertawa, bahkan aku melihat tawa lepas dari Arsen yang hanya terjadi dalam itungan detik.
"Kalian pulang naik apa? Gue sama Badai bawa mobil sendiri-sendiri. Kalian bisa dibagi dua dan numpang disalahsatunya." Tawar Jo
Deg! Badaai? Sialan lelaki di parkiran tadi.
Hari mulai gelap, Radit diperbolehkan pulang. Aku, Arsen dan Jo di mobil yang sama. Dan sisanya ikut mobil lelaki Jersey 07 itu.
Aku kagum pertemanan ini, mereka sanggup menjadi lawan saat dilapangan dan menjadi kawan diluar lapangan. Tanpa dendam, dan tanpa imbalan. Andai saja perempuan bisa seringan itu saat berteman, tanpa basa basi dan tanpa omongan di belakang.
Jo membantu Radit berdiri dengan hati-hati, dengan jahil Radit sesekali mengaduh membuat Jo panik. Ia mengantarnya dengan kursi roda sampai ke mobil Badai. Aku sampai lupa, kalo beberapa jam yang lalu Radit hampir mati karena Jo.
"Jagain Radit ya Pandu!" Ucap ku dengan melambaikan tangan. Pandu hanya membalas dengan mengangkat tangan layaknya sedang hormat, dan lelaki dengan jersey nomor 07 itu hanya tersenyum.
"Deket banget sama Radit," ucap Arsen dengan ketus dan masuk ke mobil Jo.
Sepanjang perjalanan, Arsen saling bertukar cerita dengan Jo. Sungguh, perjalanan ini membuatku ngantuk.
"Oh iya, lu temen nya Susan kan?" Tanya Jo dengan antusias
"Hem, ya gue tau Susan"
"Jangan-jangan lu Arsen yang sering d ceritain dia bro!" Kantuk sempurna hilang. Aku mencoba pura-pura tertidur,
"Gile lu" ucap Arsen dengan melirik padaku.
"Asli bro! Dia sepupu an sama gue, lu dari SMP kan satu sekolah ama dia?" Jo semakin antusias dengan tangan yang sesekali menggeprak setir.
"Sen, lu yang punya laundry sama toko kue Alyn kan?"
Arsen benar-benar memastikan aku tertidur. Kemudian ia berdesis
"Stttttt" entah memberi tanda agar suara Jo tidak membangunkan ku atau mungkin karna ia menutupi semua ini.Rasa penasaran ini semakin memuncak, aku mencoba mendengarkan pembicaraan selanjutnya tapi suara hujan membuat aku kesulitan. Bahkan sepertinya pembicaraan kali ini Jo merendahkan suaranya.
Baba laundry? Tempat ku bekerja adalah milik Arsen? Tapi ia bekerja disana bahkan saat kami masih kecil, saat ia mengantar hasil laundry dengan sepedanya. Toko kue Alyn? Itu tempat ibu bekerja tiga tahun terakhir, tapi ibu tidak pernah cerita itu milik Arsen. Bahkan Arsen tak pernah terlihat ada di toko itu.
Jadi, siapa sebenarnya Arsen?
Mohon maaf bila terdapat banyak kesalahan penulisan 😂
Update setiap Selasa dan Jumat 😋
Bantu support ya🙏
Jangan lupa tekan ⭐
Terimakasih 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Samudra
Ficção AdolescenteSetiap keinginan yang berdenting menuju langit, selalu berharap diberi yang terbaik. Tapi kehilangan, kegagalan, percarian dan penantian selalu menghalangi rasionalitas pemikiran. Layaknya bunga yang tak dapat memilih dimana ia tumbuh, Acha bertekad...