Siang menuju sore terasa begitu lambat. Bagaimana tidak, guru mata pelajaran kali ini terlambat masuk dan jam pulang sekolah terpaksa lebih lambat dari biasanya.
Tulisan angka dan gambar-gambar segitiga di papan tulis terlihat menari-nari menghiasi papan tulis. Belum lagi buku paket mata pelajaran yang terlambat diambil memperburuk suasana.
Duduk di bangku paling belakang karna rolling bangku terasa suntuk sekali, menguap beberapa kali bahkan Susan sudah tertidur dari tadi.
Angin sepoi-sepoi masuk lewat jendela yang sengaja dibuka juga perut kenyang setelah istirahat ke dua membuat aku semakin tidak fokus belajar.
"Sekarang tanggal berapa?" Tanya pak Ahmad dengan menaikan kacamatanya ke kepala,
"29." Jawab Lukas yang baru bangun dari tidur nya,
"Ya, Tyo Armando silahkan maju kedepan kerjakan nomor 6"Semua murid yang tidur dan mengantuk lantas bangun, kaget tiba-tiba dipanggil untuk mengerjakan tugas. Kali ini detak jantungku ikut tak karuan takut namaku dipanggil apalagi daya pikir ku yang rata-rata belum mengerti pelajaran yang baru saja disampaikan, kantuk pun seketika hilang.
"San, san bangun." Aku membangunkan Susan yang tampak belum ada tanda kehidupan, masih tertidur pulas.
"Susan dipanggil pak Ahmad." Bisik aku dengan mendekatkan bibir ke telinga Susan.
Seketika Susan terbangun dengan mata yang masih merah karna tertidur nyenyak,
"Diem, pake kacamatanya pura-pura liat kedepan San." Susan langsung mengerti intruksi yang aku berikan bahwa suasana kelas kali ini sedang mencekam.Setelah Tyo yang berhasil mengerjakan tugas didepan selama 15 menit, tampak nya Pak Ahmad sudah cukup membuat kami cemas.
"Ayo, ketua kelas pimpin berdoa kita pulang." Lantas semua bersorak atas cemas yang hilang karena Pak Ahmad mengakhiri jam pelajaran. Kelas pun bubar dengan cepat, tiba-tiba Wildan sang ketua kelas berteriak,
" Yang piket hari ini jangan lupa ya!" Dengan nada mengejek, karna sudah pulang telat harus piket kelas pula.
" Kenapa sih kita harus piket hari kamis cha," keluh Susan dengan menggerakkan sapunya dengan malas.
"Udah buruan nyapunya biar cepet pulang," jawabku dengan menyapu barisan paling belakang.
" Ada yang namanya Raisa Juli?" Tanya seseorang dari luar kelas dengan ketus.
" Cha, ada yang manggil nih" teriak Susan dari depan,
"Bentar ambil sampah dulu San, biar langsung beres!" Timpal ku dengan berteriak.Saat aku berjalan menuju luar kelas, aku mulai mengangkat kepala, dan astaga! Itu Arsen dia ngapain disini.
"Lu kagak punya jam ya cha?" Tanya Arsen dengan kesal."Ish, apa sih Sen dateng-dateng terus marah-marah," jawabku melerai sembari membuang sampah.
"Udah jam setengah lima sore Raisa Juli, bentar lagi laundry ganti bagian." jawab Arsen. Seketika aku ingat, geram nya leader di laundry.
"Ayok Arsen!" Aku lari terlebih dahulu menuju gerbang dan membiarkan Arsen sendirian. Jalanan begitu ramai, rasanya akan terlambat datang ke laundry belum lagi nunggu ojek online dengan situasi jalanan seperti ini akan memakan banyak waktu.
"Buruan naik" ucap Arsen dengan mengendarai motor matic hitam miliknya. Aku masih terdiam menatap Arsen yang begitu dingin.
"Buruan Raisa!" Ajak Arsen dengan nada lebih tinggi. Aku seketika naik dan berusaha tenang takut Arsen marah atau membentak lagi.Tsaqif Arsen Ramadani, si kapten basket 2 periode dengan sikap ketus dan dingin yang sesekali ramai diperbincangkan di sekolah karna prestasi dan sesekali ramai diperbincangkan karna sikap nya yang dingin. Pekan olahraga , yang membuat ia dikejar banyak perempuan termasuk kakak kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Samudra
Teen FictionSetiap keinginan yang berdenting menuju langit, selalu berharap diberi yang terbaik. Tapi kehilangan, kegagalan, percarian dan penantian selalu menghalangi rasionalitas pemikiran. Layaknya bunga yang tak dapat memilih dimana ia tumbuh, Acha bertekad...