JO

37 9 1
                                    


Kejadiannya hanya persekian detik, semua pandangan tertuju pada Radit yang terkapar ditengah lapangan dengan ujung mulut yang berdarah. Para wanita spontan berteriak mengaduh.

Komentator pun berhenti dari ocehannya, dengan memegang kepala, matanya membelalak kaget.

Wasit meniup peluit panjang juga memberi isyarat tim medis masuk.

Empat tim medis segera membawa tandu menuju Radit. Ia masih tak bergerak sampai tubuh tegapnya ditopang menuju UKS.

Dari ujung sana Arsen berlari dan mendorong salah seorang lawan dengan kasar tanpa berbicara sedikitpun, Pandu dengan sigap menahan tubuh Arsen.

Wasit menengahi mereka dan salah satu anggota tim lawan didiskualifikasi. Ia hanya menundukan kepalanya, dan berteriak lari keluar lapangan.

Aku bergegas mencari ruang UKS, berlari menyusuri setiap koridor sekolah. Namun, Aku dibungkam keadaan, kini tubuh Radit masuk salah satu mobil warna hitam. Langkah kaki ku semakin cepat mencoba melihat apa yang terjadi.

Radit! Lirih ku dalam hati dengan mata yang mulai berair.

"Saya temannya" dengan menunjukan kartu pemberian Arsen.

Dua orang tersebut saling menatap dan kemudian mengangguk. Entah apa yang terjadi di lapangan selanjutnya, aku memutuskan menemani Radit.

Hari libur membuat jalanan semakin padat, mobil yang aku kendarai terasa lamban sekali , melihat tubuh Radit yang semakin pucat aku berseru panik, Tangannya begitu dingin, lemas tak berdaya.

Aku menepuk-nepuk lembut pipi Radit sembari terus menyebut namanya, berharap ia dapat mendengar suara ku.

Melihat aku yang semakin panik, dua orang yang pergi bersamaku membuka jendela mobil dan mencari pertolongan. Dengan baik hati seorang pengemudi ojek online berniat membantu membukakan jalan untuk kami.

Ia sempat melihat Radit melalui jendela, kemudian berseru tegas mengiyakan membantu kami.

"Awas! Awas! Ada orang sakit di mobil! Darurat!" Teriaknya diantara riuh suara mesin kendaraan juga debu jalanan.

Suaranya tak cukup terdengar, ia menepuk setiap mobil yang menghalangi jalan kami.

Entah kebaikan Radit yang mana, yang mempertemukan kami dengan orang dermawan itu.

Tiba di rumah sakit, tubuh Radit diangkat ke brankar dorong , malang sekali.

Kemudian di dorongnya dengan cepat menuju ruang gawat darurat, kami bertiga tidak dibolehkan masuk, aku mengaduh dengan pelan dan terduduk lemas.

Dua orang itu masih belum bersuara padaku, mereka tampak kikuk menyembunyikan sesuatu.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tegurku.

"Maafkan kelalaian kami" ucap salah seorang.

"Jelaskan!" pinta ku dengan menatap kosong lantai rumah sakit.

Mereka saling menatap, seperti memberi kode siapa yang akan menjelaskan.

Aku menatap tajam pada mereka.

"Salah seorang perwakilan dari sekolah kami, nampak nya sedang kurang sehat. Sebelumnya kami tahu bahwa dia enggan bertanding. Namun, pelatih tetap memaksa." Ucap nya dengan gugup.

"Jo, namanya. Ia salah satu anggota basket kebanggaan sekolah selain Badai, aku rasa pelatih terlalu keras sehingga sikap Jo seperti itu." Salah satunya menimpali dengan menatap langit-langit rumah sakit.

"Kenapa kalian tidak menyelidiki terlebih dahulu, kenapa ia tak mau bertanding?!" Tanyaku menyalahkan.

"Itu bukan hak kami..." Mereka berkata lirih.

Badai SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang