chapter10

25 5 3
                                    

“Mau kemana malam-malam begini?” Pria itu tersenyum menatap wajah istrinya yang cemas.

“Ada pasien di rumah sakit aku harus memeriksanya karena suster kewalahan” ucapnya.
Wanita itu menggeleng mengikuti suaminya yang hendak keluar rumah. Ia tak mau suaminya keluar dengan cuaca buruk seperti ini. Hujan deras di luar, ia takut terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Tapi hujan deras di luar” wanita itu memegang tangan suaminya.

“Aku tahu, tapi ini bukan hanya tugasku tapi kewajibanku sayang.  Menyelamatkan nyawa orang adalah kewajiban yang harus ku penuhi” ia mencoba menjelaskan semuanya pada istrinya agar dia tidak cemas.

“Pah? Mau kemana?” Seorang gadis kecil yang sedang bermain di kamar keluar dengan memegang boneka. Percakapan ayah dan ibunya membuat gadis itu penasaran apa yang terjadi.

“Papah mau ke rumah sakit dulu, jaga dirimu baik-baik ya sayang dan ingat jaga mamah dengan baik jangan buat dia bersedih kamu anak baik kan?” kata pria itu pada putri kecilnya, gadis itu mengangguk. “ Jika kamu anak baik maka papah tidak khawatir meninggalkan kalian berdua” ia mencium kening putrinya.
“Pastikan jangan menungguku pulang, tidurlah jangan cemas aku mencintaimu” ia mencium kening istrinya.
“Dengar, pulanglah” ucap Neter.
“Mungkin aku menginap di rumah sakit malam ini dah”  pria itu pun keluar dari rumah.

Setelah kepergiannya malam itu ayahnya tidak pernah kembali, semuanya hilang, lenyap tak ada kabar apa pun. Kepergiannya bak hujan menyapu debu tak tertinggal jejak sedikit pun. Dan saat itulah hubungan Neter dan Edrea merenggang.

Dar! Suara petir.
“Mamah!” Edrea terbangun sambil menjerit. Nafasnya tersengal disertai keringat dingin di pelipis. Padahal hujan deras masihmengguyur kota.

Pukul 03.40 masih dini hari, Edrea keluar dari kamarnya hendak mengambil minum. Tiba-tiba pintu terbuka ia sempat kaget namun urung karena ternyata yang masuk Neter.

"Hai sayang kamu sudah bangun? Maaf aku baru pulang hujan tidak mau berhenti" Neter membuka jas hujan yang ia kenakan.

Edrea tak merespon hanya mengangguk sekilas lantas ke dapur mengambil minum.
"Apa kamu sudah makan?" Tanya Neter. Edrea mengangguk.
"Kenapa kamu berkeringat? Ada apa? Kamu mimpi buruk lagi?"

"Ya hanya bunga tidur saja" jawab Edrea mencoba tak menatap mata Neter.

"Mmmm baiklah cepat ke kamarmu ini masih dini hari kembali lah tidur" Neter tersenyum.

"Apa aku boleh tidur bersamamu malam ini?" Tanya Edrea ragu. Neter hampir saja tidak percaya apa yang putrinya katakan. Neter tersenyum.

"Tentu" katanya. Edrea menunduk ia sebenarnya malu mengatakan ini tapi entah mengapa malam ini ia menginginkannya.

Edrea beranjak naik ke tempat tidur.
"Apa aku boleh memelukmu?" Tanya Edrea kembali. Neter menatap mata biru Edrea ia hampir meneteskan air mata tanpa berkata apa pun ia langsung memeluk Edrea.

Malam itu Neter bisa merasakan putri kecilnya yang dulu, yang setiap hari bermanja di pangkuannya. Malam itu ia bisa merasakan Edrea yang dulu. Ia mengusap rambut hitam bergelombang itu, menyanyikan beberapa syair lagu tidur.

Edrea perlahan menutup matanya, pelukan Neter membuat nya lupa akan mimpi buruk yang ia alami tadi.
Dari balik kegelapan ruangan kamar ia bisa melihat wajah Edrea yang tersorot sinar rembulan, Neter mencium kening Edrea yang sudah terlelap tidur.

"Aku tahu kamu pemberani Rea, aku tahu kamu akan menemukan sendiri jawaban atas pertanyaanmu, kamu gadis yang tangguh" Neter ikut menutup mata. Ia tahu semua permainan akan dimulai lagi, rahasia yang berusaha ia tutup rapat-rapat pasti akan sia-sia. Edrea harus tahu identitas dirinya.

_____

Sudah lama Azura mencari Edrea,akhirnya ia pun menemukan gadis manis itu yang sedang duduk mengobrol dengan Geysa. Azura memutuskan menghampirinya.

"Aku mencarimu dari tadi" ucap Azura.

"Ada apa? Lagi pula sangat aneh kenapa kamu mencariku?" Tanya Edrea. Azura mengangkat bahu, duduk di sebelah Geysa.

"Hanya mencari saja, apa tidak boleh?"

"Kamu rindu Rea?" Geysa terkekeh. Edrea menatap Geysa dengan mata tajam. "Baiklah aku hanya bercanda Rea."
Edrea tak menghiraukan ocehan Geysa.

"Oh ya apa kamu sudah selesai membaca buku itu?" Tanya Azura pada Edrea.

"Belum aku baru membaca awal saja tapi kelihatannya menarik, akan ku lanjutkan membacanya jika ada waktu" jawabnya.

"Apa kalian sudah selesai mengerjakan tugas dari pak Dikto?"

Azura dan Edrea menggeleng. Mereka belum terpikir tema apa yang akan mereka angkat dalam pembuatanan makala.

"Aku kadang heran dia itu guru atau dosen memusingkan saja" Geysa menepuk dahinya.

"Dengan mengeluh pekerjaan tidak akan selesai Gey bagaimana jika kita mengerjakannya bersama lebih baik bukan?" Usul Edrea.

"Yah... Benar sekali! Tapi dimana kita akan mengerjakannya?"

"Rumahku saja, lagi pula aku dan Edrea punya ruangan khusus belajar disana" kata Azura.

"Oh rupanya kalian tidak sedekat yang aku pikirkan ternyata lebih astaga" Geysa terkekeh kembali.

"Diamlah gey leluconmu buruk sekali."

Percakapan terus terjadi. Mereka membahas banyak hal tanpa di sadari Azura, Geysa, dan Edrea semakin dekat. Mereka membicarakan banyak hal, tapi Edrea seperti merasakan sesuatu yang ganjal terjadi pada dirinya. Ia menatap sekeliling, tapi apa? Ia sendiri kebingungan.

"Kenapa heh?" Tanya Geysa memecahkan lamunan Edrea. Ia menggeleng menatap mangkok baksonya yang mulai habis.

"Apa kita bisa ke kelas sekarang? Kantin ini mulai membuatku susah bernafas."

DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang