"Hah" Edrea mengusap peluh di dahinya. Hari ini, hari minggu. Waktu tepat untuk mencuci. Edrea harus mencuci seragam, sepatu dan boneka beruangnya. Ini melelahkan sekaligus menjengkelkan, mesin cuci tidak mau bekerja. Ia mendengus padahal cucianya banyak sekali hari ini.
Edrea meraih tempat perkakas. Mencoba memperbaikinya sendiri, ia sudah terbiasa memperbaiki barang-barang rusak di rumah. Neter belum pulang sejak malam. Berkutik dengan mesin cuci selama 30 menit membuat wajahnya cemong.
"Kenapa kamu tidak mau menyala! Sial!" Edrea menendang mesin cuci itu. Geram, ia memutuskan mencuci secara manual saja.
"Kalau tahu begini pasti dari tadi sudah ku kerjakan." Rambutnya di gulung membulat, menggunakan kaos oblong berwarna biru dan celana selutut tidak membuat manisnya wajah Edrea berkurang.
Setelah membersihkan semua pakaian. Ia mulai menjemur, matahari amat terik padahal baru pukul 09.00, dengan sekuat tenaga ia mengangkat ember berisi cucian.
"Ah! Pinggangku sepertinya encok." Ia mulai menjemur, pakaian dalam di jemur di belakang rumah sedangkan seragam dan bonekanya di depan rumah.
"Sut! Rea, heh!" Panggil seseorang dari pagar rumahnya. Edrea memicingkan matanya, tidak asing. Ia meletakan ember terlebih dahulu, kemudian membuka pagar.
"Apa?" Tangan Edrea di letakan di pinggangnya. Lihat lah lelaki tampan ini hanya cengegesan.
"Ayo keluar, kamu sudah berjanji akan ikut melihat festival lampion bersamaku bukan?"
"Azura, ini baru pukul 09.00 dan acara itu di mulai pukul 20.00 masih lama."
"Ya tidak apa-apa, kita bisa memutari kota dulu bukan?"
"Aku tidak suka jalan-jalan saat pagi apalagi siang! Kamu tahu itu bukan? Nanti saja kalau sudah sore," Edrea hendak menutup pagar rumahnya namun di cegah oleh Azura.
"Apa lagi?"
"Wajahmu," Azur menunjuk wajah Edrea yang cemong. Edrea lupa ia belum mencuci mukanya. Ia bergegeas mengelapnya dengan tangan. Itu malah membuat hitam di wajahnya melebar ke mana-mana.
Azura tertawa, ia mendekatkan tubuhnya pada Edrea. Sekarang mereka amat dekat, sampai Azura bisa merasakan hembusan nafas Edrea. Ia bisa melihat mata biru itu dengan jelas, begitu cantik dengan bulu mata yang lentik.
Edrea pun bisa menatap wajah Azura dengan jelas, mata coklatnya yang dihiasi alis tebal dan hidung yang begitu bagus bak pahatan. Azura mengelap wajh Edrea dengan sweeternya, untung warnanya hitam jadi tidak kelihatan.
Setelah bersih Azura tersenyum. Edrea menjauh beberapa langkah mundur. Ia nampak canggung. "Aku ganti baju dulu."
"Baiklah, apa kamu tidak mempersilahkanku masuk?" Tanya Azura.
"Masuklah." Edrea bergegas masuk ke dalam rumah.
____
Untuk pertama kalinya Edrea keluar jalan-jalan pada siang hari, ia tampak kurang nyaman. Siang yang terik akan membut kulitnya menjadi merah oleh karena itu ia memutuskan memakai baju lengan panjang, celana panjang dan topi tak lupa masker untuk menutupi wajahnya.
Ia mirip sekali seperti vampire yang takut cahaya matahari. Di sekolah pun saat jam istirahat pertama Edrea jarang keluar kelas, memilih diam. Tak heran kulitnya begitu putih.
"Mau es krim?" Tanya Azura. Edrea mengangguk apalagi cuaca mulai panas sebentar lagi tepat pukul 12.00.
Azura memesan dua es krim. Mereka duduk di salah satu kursi. Edrea membuka maskernya. Menyantap es krim dengn lahap, dahaganya terobati.
"Panas sekali, aku membencinya," Edrea menggerutu.
"Heh... sekali-kali kamu harus keluar siang hari karena ini menyenangkan."
"Apanya yang menyenangkan. Ini membuatku gerah."
"Akan ku tunjukan sesuatu yang tidak pernah kamu lihat saat sore ataupun malam hari." Edrea menatap Azura.
____
"Ayo Rea!!!" Teriak Azura pada Edrea yang masih berlari-lari kecil. Dengan nafas tersenggal ia menatap jengah Azura.
"Sebenarnya kita mau kemana! Kamu hanya membuatku lelah," Edrea mengelap keringat di dahinya.
"Ayo kita ke atas." Azura membawa Edrea ke sebuah bukit kecil. Ia menarik tangan Edrea dengan antusias. Edrea hanya mengikutinya saja.
Mereka pun sampai. "Tutup matamu!" Perintah Azura.
"Hah?"
"Tutup mata Rea, m-a-t-a mu!" Edrea segera menurut, ia menutup kelopak matanya. Azura menggiring Edrea ke atas bukit.
"Satu... dua... tiga! Buka matamu!"
Edrea membuka kelopak matanya perlahan, pupil matanya yang berwarna biru mengecil terkena sinar yang begitu terang. Sejenak Edrea merasa silau. Tapi, matanya mulai beradaptasi. Saat matanya benar-benar terbuka ia merasa terkejut.
Di atas sini ia bisa melihat hamparan awan. Edrea hampir tidak percaya ia belum pernah melihat ini, dan warna langit biru yang begitu bersih matanya begitu takjub. Biru adalah warna favorite nya.
Edrea baru pertama kali melihat pemandangan kota di atas bukit, ia begitu takjub.
"Bagaimana indah bukan?" Tanya Azura sendari berbisik. Edrea tidak berkata apa-apa ia hanya tersenyum.
"Jadi ini alasanmu memaksaku keluar?" Tanya Edrea. Azura mengangguk.
"Sesekali kamu harus melihat sesuatu yang berbeda dari sebelumnya."
Edrea terdiam. Azura begitu manis padanya. "Terimakasih."
"Sama-sama." Azura mengembangkan senyumnya. "Kita turun sekarang atau kamu masih mau di sini?" Edrea mengangguk tanda ia ingin turun ke bawah.
"Maaf membuatmu lelah," ucapnya.
"Tidak apa-apa Zura." Lelahnya terobati.
Hari mulai sore, setelah turun dari bukit Azura mengajak Edrea bermain timezone di mall terdekat. Begitu asik, Edrea tertawa lepas. Azura benar-benar mewarnai hari-harinya dengan kebahagiaan.
Merek memakan gulali sambil bermain. Semua mereka mainkan. Edrea bahkan tidak menyadari dirinya yang menjerit berteriak gemas karena Azura gagal memasukan bola ke dalam keranjang.
Pukul 18. 30 tak terasa festival akan segera di mulai. Jembatan kota sudah mulai ramai, banyak musik-musik serta hiburan yang di sediakan untuk memeriahkan festival.
Edrea dan Azura sekarang sudah siap menyaksikan festival."Oh ya pakai ini." Azura menempelkan jaket ke bahu Edrea. Edrea terdiam hanya tersenyum kecil. Mereka melewati kerumunan orang, mencari posisi yang pas untuk menyaksikam pelepasan ratusan lampion.
Sunyi... akhirnya ratusan lampion di lepas, langit gelap dengan hitam pekat tanpa bintang sekarang dihiasi ratusan lampion. Mata Edrea tak lepas menatap lampion-lampion itu.
"Kamu mau?" Azura membawa dua lampion dan memberikannya satu pada Edrea.
"Sebelum kita lepas, tutup matamu mari kita buat permohonan." Edrea mengangguk, mengikuti intruksi yang Azura berikan.
Setelah membuat permohonan, Edrea membuka matanya. Perlahan ia melepas lampion yang ia pegang. Edrea tersenyum. Ia menutup mata lalu melepas lampion itu perlahan. Lampion Edrea terbang menyusul ratusan lampion lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimensi
FantasíaSudah terlambat untuk menyesal. Edrea menangis denga penuh penyesalan. Andai waktu bisa diputar, andai ia bisa memeluk ibunya. Semua sia-sia, saat ia pulang ia melihat rumahnya sunyi Andai ia tahu bahwa malam itu, malam terakhir ia mendengar suara...