Jouska

30 10 1
                                    

Azka suka menyendiri. Suka menjauh dari kerumunan yang sesak dan bising. Meskipun menjauh dari keramaian, bukan berarti ia anti sosial. Bukan berarti ia tidak mempunyai kawan. Ia mempunyai banyak kawan meskipun tak semuanya ia anggap kawan.

Jangan tanya lagi apa prestasinya. Ia sudah berkali-kali memenangkan berbagai macam bidang lomba. Yang membuatnya semakin dikenal, disanjung, dan diidolakan. Meskipun begitu ia tidak suka memperlihatkan prestasinya. Tentu saja ia tidak suka menjadi bahan untuk perbincangan yang menimbulkan keramaian.

Gerimis mulai turun. Membuat Azka semakin malas beranjak dari ranjangnya setelah seharian tadi berlatih tenis meja untuk persiapan lombanya. Ia baru saja bangun petang, setelah siang ambruk di ranjang dengan penat dan pening kepalanya.

Ia bangun. Gelap menguasai indra penglihatannya. Ia meraba meja di sampingnya, menemukan botol minuman dan dengan cepat membukanya, meminum isinya.

"Apa kabar?"

Azka hampir saja memuntahkan isi di mulutnya. Dari mana pula suara ini? Ia menolehkan kepalanya kesana kemari. Mencoba menebak dimana suara itu berasal. Ia mencoba meraba dimana letak saklar lampunya. Ketika ia menemukan, ternyata yang didapatinya lampu masih tidak menyala.

Rupanya listrik padam.

Ia menghela napas. Mungkin saja itu suara di depan kamar kos sebelahnya.

Ia meraba menuju ranjangnya kembali. Mencoba mencari handphone yang setidaknya cahayanya bisa menerangi. Akan tetapi, yang ia dapati justru handphone tersebut kehilangan daya baterai. Ah, sial!

Azka meraih selimut. Memilih menenggelamkan dirinya di bawah kehangatan karena udara yang semakin dingin. Lagipula dalam kondisi gelap gulita seperti ini, ia akan melakukan aktivitas apa? Tak ada penerangan satu pun. Yang ada, jika ia nekat maka tidak dapat dipungkiri akan ada satu atau dua benda yang pecah karena mungkin tak sengaja tersenggol oleh dirinya. Atau bahkan justru dirinya lah yang terjerembab karena tersangkut beberapa kabel yang lupa ia bereskan. Maka dari itu, ia lebih memilih merapatkan kain selimut di tubuhnya dan mulai menutup kelopak mata. Lagipula kepalanya masih terasa pening.

"Dingin?"

Azka membuka kelopak matanya. Suara itu dekat sekali. Rasanya tidak mungkin itu adalah suara dari luar.

Suara itu ada di dalam kamarnya!

"Siapa?" teriak Azka sembari was-was terhadap situasi yang mungkin mengancam keselamatannya ini.

"Tapi kau tidak menggigil," sahut suara itu mengabaikan pertanyaan Azka.

"Kau berani-beraninya masuk ke kamar pribadi orang lain tanpa izin," sengit Azka. Ia bangun dan matanya masih mencari suara itu berasal.

"Tenang saja. Aku tidak mengganggumu. Aku tidak menyakitimu. Aku bukan hantu. Aku hanya ingin ngobrol saja denganmu."

Azka diam. Mungkin teman kosnya yang lain. Atau penghuni kos sebelah yang baru? Sebab beberapa waktu lalu juga ada penghuni baru yang tiba-tiba nyelonong masuk ke kamarnya tanpa permisi. Dengan dalih ingin berkenalan.

Dasar.

"Kau tak mau keluar dari kamarmu yang pengap dan lembab ini. Pantas saja kau kedinginan," kata seseorang itu lagi.

Kamar 10×10 meter ini memang terasa pengap, apalagi seminggu ini jendelanya tak ia buka. Padahal di balik jendela itu terpapar taman-taman indah, dan jika saja ia mau meluangkan waktu untuk meminum kopi dengan senja, matahari tenggelam menjadi momen yang pas untuk berada disana. Sungguh, kamar Azka adalah paling pas dengan momen indah itu semua. Sayangnya, jarang sekali ia mau membukanya.

"Kau sama sekali tidak berubah."

Huh. Azka mendengus. Orang itu berkata seakan-akan tau tentang seluk beluk hidupnya.

"Aku tau.." suara seseorang itu tercekat. Seperti ragu mengatakan atau tidak. Tidak sanggup--

"Aku tau betapa kamu hancur tapi kenapa kamu masih bisa tersenyum?"

Azka menatap kegelapan di sampingnya. Tersenyum. Tepat suara itu berada. Senyuman itu perlahan-lahan menjadi kekehan sebelum kemudian menjadi tawa keras. Ya, Azka tertawa. Tertawa keras seolah sedang mengejek seseorang di depannya ini atau--

Dirinya sendiri?

Azka bangkit dari duduknya karena merasa perutnya kram akibat ia tertawa. Tak urung juga ia tertawa sampai sudut matanya basah. Perlahan tawa itu mereda. Seiring ia mencari-cari sebuah benda--

"Keluar!"

Seseorang itu menggeleng. Menatap iba.

"KUBILANG KELUAR ATAU TANGAN INI AKAN MENYAKITIMU!"

"Aku tidak bisa keluar dari sini!"

"Jangan bercanda sebelum kesabaranku habis!" buku di genggamannya menghantam kaca.

"KUBILANG AKU TIDAK BISA KELUAR!"

"AKU SUDAH LAMA BERADA DISINI!"

"AKU TIDAK BISA KELUAR KARENA AKU ADALAH DIRIMU!"

"AKU TIDAK BISA KELUAR KARENA AKU ADA DALAM PIKIRANMU! YANG MENEMANI GELAPMU! KAWANMU! AKU ADALAH APA YANG SELAMA INI KAU CIPTAKAN DARI KESAKITANMU!"

Petir menggelegar. Membuat kamar sekilas terkena kilatan cahaya yang membuat ciut disusul dengan suara yang menggetarkan. Seseorang itu telah lenyap seiring dengan datangnya kilasan memori yang membuat Azka meraung. Kilasan memori yang menyakitkan itu..

Azka bersimpuh.

***





















**Jouska adalah sebuah bentuk percakapan hipotetis kompulsif yang dimainkan seseorang di dalam kepalanya sendiri (Bernas.id)

6 Mei '20

Jurnal SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang