13| Tertinggal

89 43 67
                                    

Jika kalian menyukai bab ini, silakan pertimbangkan untuk meninggalkan vote dan komentar. Terima kasih yang sudah vomment di bab sebelumnya.
Selamat membaca:*

———

Saat semua orang meninggalkanmu, yang tersisa hanya dirimu dan bayanganmu saja—Oriza Litahayu

–Sweet & Bitter–

Jakarta, 2010.

Wibi begitu menyayangi dua orang perempuan yang tinggal bersamanya. Dia sering memberi kejutan-kejutan kecil untuk mereka. Apalagi saat ini Aini tengah hamil dan baru memasuki trimester kedua. Riza sendiri tumbuh menjadi sosok periang.

Tahun ini Riza juga genap berusia sepuluh tahun. Tadi pagi selepas Riza terbangun dari tidurnya, Wibi dan Aini memberi ucapan selamat sambil memegang kue dengan lilin angka sepuluh yang menyala di atasnya. Memang belum ada kado, tapi kejutan itu sudah membuat Riza sangat bahagia dan terharu saat bersamaan.

Pulang sekolah Riza diajak ke Surakarta, menemui neneknya. Senang bukan main, dia jarang ke sana—paling tidak setahun hanya sekali.

"Riza seneng nggak mau ketemu nenek?" tanya Wibi, mengendarai mobil.

Riza yang duduk di belakang mendekat. "Seneng dong! Udah lama nggak ketemu."

"Kalo sampai sana mau ngapain aja?" Aini menoleh ke arah putrinya.

"Main sama nenek, atau.... apa aja deh yang penting seru." Riza terkekeh, membuat orangtuanya ikut terkekeh.

"Sayang buanget sama Mamah, Papah." Lanjut Riza, mengecup pipi Wibi dan Aini.

Wibi mengusap rambut Riza. "Duduk ya, seatbelt-nya juga dipakai."

Duduk, Riza cemberut. "Mamah aja nggak pakai,"

"Perut mamah rasanya sesak." Sahut Aini.

Semuanya diam, mendengarkan sambil menyanyikan lagu-lagu yang diputar dari radio. Lalu entah siapa yang salah, sebuah truk menabrak mobil yang dikendarai Wibi. Kap mobil Wibi remuk, kaca-kaca pecah. Kendaraan di belakang mobil Wibi juga turut menabrak. Semua terasa begitu cepat, ketiganya sudah tidak sadarkan diri.

–Sweet & Bitter–

Riza tidak tahu sudah berapa lama dia tak sadarkan diri. Saat membuka mata, dia mendapati Rama berdiri di samping kasur rumah sakit sambil menatapnya khawatir. Lalu tak lama oma dan Diana masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa.

Riza mencoba duduk meskipun kepalanya terasa berat karena pusing. Dan saat dia sudah duduk dengan benar, sebuah tangan melayang di pipinya. Menampar keras. Dia memegang pipinya yang terasa perih, menatap oma tidak percaya.

"O-oma," suara Riza lirih.

"Gara-gara kamu! Anak saya meninggal, calon cucu saya juga meninggal! Semua gara-gara kamu! Kamu itu pembawa sial!!" oma menatap Riza dengan amarah yang menggebu-gebu. Oma bahkan menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Termangu, Riza menatap bingung ke arah Rama yang memeluknya. "Maksud Oma apa?"

"Wibi, anak saya meninggal. Cucu saya yang ada di dalam perut Aini meninggal. Dan... mamahmu, Aini juga meninggal." Oma menunjuk-nunjuk Riza. "Dalam satu waktu, kamu bisa membunuh tiga orang sekaligus!"

Oma pergi bersama Diana setelah berkata, "Kamu pembunuh!"

Masih dalam pelukan Rama, tubuh Riza mematung. Jantungnya berdetak lebih kencang. Dalam hati dia mencoba meyakinkan bahwa ini mimpi. Sayangnya tepukan pelan di punggungnya sudah menjawab semua.

Pandangannya lurus, sedih dan hampa. Ini terlalu cepat. Tadi pagi dia masih merayakan ulang tahun di rumahnya, bernyanyi, bergurau, bahkan bercerita banyak hal. Namun kini, semuanya pergi. Meninggalkan dirinya seorang untuk selamanya.

–Sweet & Bitter–

Wibi meninggal di tempat kecelakaan, di otaknya terdapat darah yang sudah menggumpal. Sedangkan Aini masih sempat dilarikan ke rumah sakit. Sayangnya nyawanya tidak tertolong karena pendarahan hebat. Janinnya pun tidak bisa ditolong karena masih begitu kecil.

Riza menatap kosong kearah tiga gundukan tanah merah yang masih basah. Nama orangtuanya terukir di papan nisan sederhana, sementara adiknya masih belum mempunyai nama.

Beberapa orang mengusap bahunya sambil mengucapkan belasungkawa atas kepergian orangtuanya. Setelah itu, satu-persatu dari mereka pergi. Hingga kini hanya tersisa Riza yang mulai berjongkok di antara makam papah dan mamahnya.

"Papah sama Mamah pergi nggak ngajak Riza." Ucap Riza dengan bibir mengerucut, padahal dadanya kian sesak karena menahan tangis.

"Dedek bayi aja diajak, tapi Riza enggak," Riza mengusap air matanya yang jatuh. "Padahal kemarin kita masih mau main, mau cerita banyak, mau seneng-seneng. Eh, Mamah sama Papah udah pergi aja."

"Semalem oma marah ke Riza, ngata-ngatain Riza. Pipi Riza juga ditampar sama oma. Sakit banget loh," Riza tergugu, tidak ada yang mendampingi, menemani ataupun menenangkannya.

"Kenapa pergi duluan? Kenapa nggak ngajak Riza? Kenapa Riza ditinggal sendirian?" tanyanya entah pada siapa. "Riza masih pengen sama mamah papah, nggak mau sendirian."

Riza menenggelamkan kepalanya di lipatan lutut, tangisnya pecah. "Riza nggak tahu harus tinggal di mana. Riza takut kalau tinggal sama oma, mereka jahat."

"Riza masih pengen sama mamah, papah."

Usia Riza terlalu belia untuk ditinggalkan. Orang dewasa sekalipun akan sangat merasa kehilangan jika harus ditinggal orang tersayangnya. Apalagi Riza yang masih berusia sepuluh tahun dan masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Rasa kehilangan menyelimuti Riza. Bukan hanya kehilangan, penyesalan dan pengandaian ikut menghantui.

Mengangkat kepalanya, tatapan Riza tetap hampa. Lalu dengan perlahan, keceriaan di wajahnya menghilang.

–Sweet & Bitter–

Bersambung....

Semoga suka meskipun full flashback, hehe.

Bab ini gimana?

Salam sayang dari pacarnya mas Haruto Watanabe, Masnunahnfz. Eheheh.

Sweet & BitterWhere stories live. Discover now