Cerita 2 - Di Balik Pohon

34 1 0
                                    

Kembang api, identik dengan perayaan Tahun Baru. Namun tidak di daerah tempat aku tinggal. Setiap tahunnya, aku dan teman-temanku merayakan datangnya bulan puasa dengan bermain kembang api.

Malam ini, sehabis shalat isya. Aku dan 2 temanku, berencana untuk bermain kembang api. Mengingat beberapa hari ke depan kita akan memasuki bulan suci Ramadhan. Kami sepakat patungan untuk membeli beberapa kembang api. Lalu jam 11 malam nanti, kami akan menyalakannya di sawah. Agar jauh dari keramaian. Juga menghindari diprotes warga sekitar.

Kami berkumpul sesuai perjanjian, jam 11 malam. Masing-masing dari kami sudah membawa kembang api. Untuk kami bertiga, ini sudah lebih dari cukup. Lalu kami menuju sawah yang menjadi tempat eksekusi. Jalan menuju ke sawah adalah jalan setapak yang menurun, jika berangkat dari pemukiman warga. Demi kembang api, kami mengabaikan semua rasa takut.

Setelah sampai di akhir jalan menurun, kami sampai di sebuah masjid. Atau di kampung kami, biasa disebut tajuk. Masjid ini masih aktif, dengan bangunan seperti masjid-masjid umum di pedesaan. Jalan yang kami lewati ini memisahkan bangunan masjid dengan kolam buatan, atau disebut balong di sini. Di samping masjid dan kolam, terdapat parit ukuran sedang yang juga berfungsi sebagai jalur irigasi dari sawah. Kami melanjutkan jalan ke sawah yang ada di depan kami. Namun, agak menanjak karena posisi sawah memang berada di atas tajuk dan balong.

Sesampainya di sawah, kami sangat bersemangat untuk langsung menyalakan kembang api yang kami bawa. Kami bersenang-senang, sesuai dengan kapasitasnya. Ledakan-ledakan cahaya yang meriah di sawah yang gelap tanpa penerangan membuat mata ini merasa silau. Sedikit membuat pusing. Setelah semua kembang api habis, kami santai sejenak menikmati suasana alam yang sejuk dan asri. Ditemani cahaya bulan yang jadi satu-satunya penerangan di sawah itu. Sampai salah satu dari kami mengajak pulang, karena tidak dirasa waktu sudah lewat tengah malam.

Saat perjalanan pulang, aku masih merasa sedikit pusing. Ditambah, kebelet pipis. Untukku, menahan pipis lebih sulit daripada menahan poop. Jadi aku melipir ke kiri ke arah parit yang ada di sebelah kolam. Menuju ke tempat buang air yang ada di ujung kolam, atau kami biasa menyebutnya jamban. Aku minta kedua temanku untuk menunggu di masjid.

"Tunggu ya, gak akan lama." Ucapku pada mereka sambil berusaha menahan pipis yang makin sulit ditahan. Mereka mengiyakan sambil terus jalan ke arah masjid.

Aku bukanlah orang yang pemberani, terlebih pada hal-hal mistis. Tapi saat ini aku berani karena aku berada di dekat masjid. Teman-temanku tidak jauh, dan sebentar lagi bulan Ramadhan. Setidaknya itu cukup memberikan sugesti baik untuk diriku.

Aku masih berjalan di pinggir parit ukuran sedang yang aliran airnya cukup deras. Dengan kondisi menahan pipis, dan kepala yang masih agak pusing. Aku berjalan sempoyongan. Kulihat di depanku ada sebuah pohon mangga yang cukup besar, dengan ranting-ranting kecilnya yang memiring ke arah parit, hampir menghalangi jalanku. Tapi tiba-tiba, ranting itu bergerak ke bawah. Seperti ada sesuatu yang memberatkan ranting itu. Sekarang ranting itu menghalangi jalanku.

Penasaran.

Aku angkat ranting itu sambil mengecek ke sisi kananku, berharap cuma angin kencang yang menghembuskan ranting itu ke bawah. Namun, ternyata sugesti baikku hanya bertahan sampai di sini. Aku melihat sosok wanita berbaju merah, berambut panjang. Tidak lama setelah aku melihatnya, makhluk itu melompat, tinggi sekali. Atau lebih tepatnya, terbang dan menghilang, entah kemana.

Setengah kaget, setengah penasaran. Apa itu sebenarnya? Tapi aku tidak ingin mempermasalahkannya terlalu dalam. Sekarang yang menjadi prioritas utamaku adalah pipis. Dan selama makhluk itu tidak mengganggu, aku tidak masalah. Jamban yang aku tuju berada tidak jauh dari pohon mangga yang rantingnya menghalangi jalanku tadi. Hanya beberapa langkah saja.

Dengan melangkah lebih cepat aku menuju jamban yang sudah dekat. Aku sudah tidak bisa menahan pipis ini lebih lama, ditambah sosok merah tadi masih membayangiku. Setelah pipis, targetku selanjutnya adalah pergi dari tempat ini. Lalu aku sampai di jamban, yang juga dinaungi oleh pohon yang tidak kalah besarnya dengan pohon mangga yang sebelumnya. Hanya yang ini rantingnya tidak sampai ke bawah.

Di sini sangat tenang, hanya ada suara binatang malam dan suara air mengalir. Segera aku membuka kancing dan resleting celanaku. Bersamaan dengan tindakanku membuka celana, terdengar suara tertawa kecil. Suaranya berasal dari pohon besar yang ada di samping jamban. Samar seperti suara hewan malam. Jadi aku hiraukan dan melanjutkan pipisku. Setelah selesai pipis, aku segera memasang kembali celanaku dan bergegas kabur dari tempat ini. Itu rencanaku. Tapi saat aku menaikan resleting celanaku, suara tawa itu terdengar lagi. Kali ini jelas, dan panjang. Di situ aku menyerah, tidak ada lagi pemikiran positif untuk membuatku tenang. Aku takut, takut setakut-takutnya. Namun mata ini penasaran untuk melihat ke arah sumber suara tersebut. Suara itu, berasal dari makhluk merah yang aku lihat sebelumnya. Kali ini jelas sekali menampakan wujudnya di depan kedua mataku.

Sosok wanita itu duduk di salah satu dahan pohon, dengan kain merah panjang yang menutupi tubuhnya. Mata kirinya merah, seakan menyala karena semua kulitnya hitam gelap seperti terbakar. Aku tidak bisa melihat mata kanannya karena tertutup rambutnya yang panjang. Sosok itu terduduk miring seakan semua bagian tubuhnya berat ke kiri. Dan dia menggerakan tubuhnya, ke atas dan ke bawah. Berulang-ulang.

Beruntung, aku masih bisa lari dari tempat itu.

Narasumber: mughnyaz

GHOSTBUMPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang