Cerita 8 - Argopuro

16 0 0
                                        

Sore ini, kami tiba di Cikasur. Sebuah padang sabana luas yang ada di Gunung Argopuro. Pemandangan di sini sangat memanjakan mata. Jika beruntung, kita bisa melihat beberapa ekor merak gunung yang berkeliaran.

Hari mulai gelap, ini malam kedua kami menuju puncak Argopuro. Kami memutuskan untuk berkemah di sini, menikmati suasana malam Cikasur, sebelum perjalanan ke Cisentor yang akan kami tempuh besok. Setelah mendirikan tenda dan berganti pakaian, kami membuat api unggun, untuk menghangatkan suhu di sekitar perkemahan yang semakin dingin. Dilanjutkan dengan memasak perbekalan, menikmati kopi atau teh hangat, dan bertukar cerita pengalaman mendaki satu sama lain.

Tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Satu per satu mulai pergi ke tendanya masing-masing, untuk beristirahat. Termasuk aku. Oh, ya, kelompok ini terdiri dari tujuh tim, satu tim terdiri dari dua atau tiga orang. Aku, kebetulan satu tenda dengan temanku yang sudah biasa melihat hal yang aneh-aneh, biasa dibilang indigo. Sebut saja dia Roy. Kami sepakat istirahat untuk menyimpan energi, karena perjalanan besok masih panjang dan berliku. Aku mematikan lampu tenda, kudengar di luar tenda masih ada beberapa orang yang mengobrol.

Yasudah, yang penting besok aku tidak kekurangan stamina karena mengantuk.

Tiba-tiba aku terbangun, sepertinya memang sulit untukku tertidur pulas dalam kondisi seperti ini. Aku menyalakan lampu jam tangan untuk melihat waktu. Kulihat sekarang jam dua kurang seperempat dini hari.

Rasanya aku hanya terlelap sebentar tadi, namun ternyata lama juga. Samar-samar, masih kudengar ada yang mengobrol di luar tenda.

"Apa mereka yakin tidak akan tidur ya?" Batinku. "Tapi tunggu."

Setelah kukencangkan indera pendengaranku. Sepertinya orang yang mengobrol di luar bukan dari kelompok kami. Aku cukup yakin karena aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

Asing, tapi tidak asing.

Mudah-mudahan, mereka tidak ada maksud jahat pada kelompok kami ini, harapanku pada situasi ini. Aku sudah bersiaga, hanya jika mereka macam-macam. Setidaknya aku siap melawan, walaupun takut juga. Lalu suara mereka semakin keras, semakin jelas terdengar ke dalam tenda. Hingga aku familiar dengan dengan kata-kata yang mereka gunakan.

Mereka berbicara dalam bahasa Jepang!

Suaranya lebih dari 3 orang, seperti sedang berdebat. Menyusul suara derap langkah kaki yang dihentakan dengan keras ke tanah, khasnya pasukan yang sedang baris berbaris.

"Mampus! Mau ngapain tentara Jepang di sini!?" Teriakku parau agar suaraku tidak terdengar hingga keluar. Reflek aku berbalik berniat membangunkan Roy, tapi dia sudah terbangun. Matanya melotot dan tubuhnya kaku, namun masih sanggup berkata.

"Mereka bukan manusia, tapi penunggu tempat ini. Biarkan saja, asal tidak mengganggu." Ucapnya seraya memaksa memejamkan matanya kembali untuk tidur. Akupun begitu, kututup mata dan telingaku, mencoba untuk tidur kembali.

Itu suara terakhir yang masih kudengar hingga aku tertidur.

Esoknya, aku memberitahu kelompokku tentang kejadian tadi malam. Namun, ternyata mereka semua juga mengalami hal yang sama. Semua orang di tenda mendengar suara yang sama persis seperti yang aku dengar.

Luar biasa.

Tidak ingin terlarut dalam ketakutan, kami membereskan semua peralatan camping. Bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke Cisentor. Beruntung, kami melanjutkan pendakian dari hari ketiga hingga hari kelima, tanpa adanya gangguan. Aku harap terus seperti ini, setidaknya hingga kami sampai ke puncak.

Harapanku terwujud. Kami sampai puncak tanpa mengalami satupun gangguan mistis.

Setelah selesai dengan semua kegiatan di puncak. Kami kembali, dan memutuskan untuk menghabiskan malam kelima kami di kawasan Danau Taman Hidup. Sebuah danau besar di pegunungan Argopuro. Terdapat dermaga kecil yang biasa dijadikan spot berfoto para pendaki untuk nantinya dibagikan di social media. Namun untuk warga sekitar, dermaga itu biasanya digunakan untuk memancing, atau melarung sesajen.

Animisme di sini masih cukup kuat.

Kami tiba di Danau Taman Hidup sore hari. Segera bersiap mendirikan tenda sebelum gelap. Aku tidak melebih-lebihkan, tapi pemandangan di sini memang indah sekali, sangat menawan. Setidaknya saat terang. Tapi tidak sedikit juga yang bilang bahwa di sini adalah area paling angker dari seluruh area di Argopuro. Terkait mitosnya, kau bisa cari sendiri. Maka demi keamanan, kelompok kami memutuskan untuk memperbanyak orang dalam satu tim. Sekarang satu tenda bisa berisikan tiga hingga empat orang. Dan juga sepakat untuk selalu bersama rekan satu timnya, kemanapun. Aku masih satu tim dengan Roy, hanya ditambah satu orang lagi. Dia orang biasa, sepertiku. Namanya Deni.

Kegiatan malam diisi dengan kegiatan seperti biasanya, hanya kali ini ditambah dengan bermain kartu. Hingga saatnya kami istirahat, Roy ingin buang air sebelum tidur. Aku juga, jika tidak pun kami tetap harus bersama. Jadi ya, lebih baik sekalian saja.

Kami pergi buang air, jaraknya hanya beberapa meter dari tempat perkemahan kami. Namun perjalanan terasa panjang, terdengar suara angin kencang yang menggoyangkan pohon-pohon tinggi yang ada di sekitar kami. Menciptakan suara-suara yang menyeramkan, seakan pohon-pohon ini akan tumbang dan menimpa kami.

Amit-amit.

Kami segera menyelesaikan urusan buang air ini, dan kembali ke tenda. Perjalanan kembali juga terasa sangat panjang, bahkan lebih panjang dari saat kami pergi. Terlebih, aku merasa seakan hutan ini memiliki mata, karena aku merasa diawasi. Entah oleh siapa.

Suasana di luar perkemahan sudah sepi, hanya ada api unggun yang menerangi dan menghangatkan.

Tumben sekali.

Sesampainya di tenda, aku langsung mematikan lampu. Baru aja lampu padam, langsung terdengar suara angin yg sangat kencang menerpa tenda kami. Diikuti dengan suara tertawa perempuan yg sangat khas.

"Apalagi ini!?" Teriakku pelan, sedikit kesal, bersamaan dengan bulu kuduk yang berdiri.

Suara itu sangat jelas, seolah berada tepat di luar tenda kami. Bukan hanya sekali, tapi berulang.

Sungguh mengganggu.

Aku tidak berani melihat ke luar tenda. Mendengar suaranya saja sudah terbanyang bentuknya. Tapi aku memastikan dengan menengok ke arah kedua temanku, sepertinya mereka juga mendengar hal yang sama. Roy terlihat tenang, tapi tidak dengan Deni. Aku bisa melihat raut wajahnya yang tak karuan karena takut, sama sepertiku. Lalu Roy berbisik untuk mengabaikannya, nanti juga hilang sendiri. Pun, aku inginnya begitu. Tapi bagaimana bisa aku mengabaikannya? Kalau boleh aku bilang, suara ini lebih mengerikan daripada suara orang Jepang yang kudengar pada malam kedua.

Sekarang yang kupikirkan hanya bagaimana caranya aku mengabaikan suara ini, panik membuatku sulit berpikir. Hingga kuingat aku menyimpan earphone di tas pinggangku. Aku mencarinya, segera aku sambungkan ke hp-ku setelah aku menemukannya. Kuputar lagu secara acak dengan volume maksimal. Aku tidak biasa tidur dengan musik sekeras ini, namun ini lebih baik daripada tidur diiringi tertawaan kuntilanak.

Esoknya, kami bersiap-siap untuk turun melanjutkan jalan pulang. Kami tidak membahas kejadian aneh tadi malam. Tapi, kutebak lagi-lagi semuanya mendengar hal yang sama. Hanya kali ini mereka serempak tidak ingin membahasnya, apalagi di sini.

Dalam perjalanan turun, aku berada di barisan belakang bersama Roy dan Deni. Kami berjalan santai, sambil mengobrol dan bercanda. Sesekali berhenti untuk istirahat. Seperti biasa, perjalanan pulang selalu terasa lebih ringan.

Kurasa sudah setengah jalan, saat kami bertemu seorang kakek-kakek yang duduk di batang pohon besar yang sudah tumbang di hutan jalan setapak. Tampilannya seperti warga lokal, usia mungkin terlalu tua untuk berada di tengah hutan jalan setapak ini. Reflek, kami semua mengucapkan permisi pada kakek itu. Beliau menjawab, seraya mengingatkan kami untuk berhati-hati, dan juga mendoakan kami. Setelah melewati kakek itu, aku menyadari sesuatu. Sedari tadi Rio seperti tidak ingin tahu keberadaan kakek itu. Yang kupelajari dari kejadian aneh hari kedua adalah dia selalu menyarankan untuk mengabaikan. Reflek aku menengok ke belakang, dan benar saja.

Kakek itu sudah tidak ada, berikut dengan batang pohon besar yang beliau duduki.

Narasumber: helobenny

GHOSTBUMPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang