Mendung tak kuasa lagi bertahan. Sejak tadi ia sudah mewarnai langit kota Seoul. Gedung – gedung bersari beton yang kian memanas , kini lebih kalem dariorang terdingin sedunia. Namun, orang – orang di sekitarnya tetap melangkah sesibuk diri mereka. Berjalan, menye -berang, duduk, berbicara dengan lawan bicaranya, lari, atau hanya berdiri. Di tengah hiruk – pikuk kegelisahan pukul dua belas siang itu , mendung mengguyur kota di bawahnya dengan petik – petik air hujan yang telah dipen -damnya selama berjam – jam.
Aku yang tengah berjalan menuju Ibis Ambassador Seoul Insadong, apartemen tempat tinggalku, segera menepi ke teras sebuah kafe. Mantel cokelatku basah , begitu pula topi merah maroonku.Tubuh yang terbalut kemeja putih dan celana jogger merah tua cokelat masih hangat. Namun, kaki yang berbalut kaos kaki hitam dan sepatu kulit merah tua itu sudah basah terkena kecipak air di jalan. Kurasa, aku harus menghangatkan diri.
Kubalik tubuhku, menerawang kehangatan di dalam kafe yang sejak tadi duduk di belakangnya. Sepertinya hangat, batinku. Maka, kubawa derap kakiku menuju pintu depan kafe. Kuputar gagang pintu itu agar daunnya terbuka. Terdengar bunyi lonceng tanda pelanggan telah masuk. Kenyamanan seketika terasa.
Suhu di dalam benar – benar berbeda daripada di luar. Amat sangat hangat. Lampu neon dengan cup kuning , terpantul cahayanya oleh furnitur kayu yang catnya kuning berkilat, diiringi musik sendu tentang hangatnya kerinduan, menambah kesan secercah cahaya dalam dekapan lautan dingin hitam kelam.
Hatiku menengadah. Sedetik kemudian, kuteruskan perjalanan ke meja no. 5 yang sedang kosong, lalu tertunduk di bangkunya yang paling pojok, dan menatap hujan di luar naungan jendela. Begitulah kebiasaanku. Terdiam, ketika hujan mulai turun. Diremas oleh gumpalan kenangan.
Tak lama, ada pelayan datang.
" A cup of coffee? "tawarnya padaku.
" Yeah, please, " jawabku sambil tersenyum.
"Okay, "
Aku kembali menatap hujan di luar. Setengah detik selanjutnya, hatiku menggagap rindu. Aku tak tahu, senyum seperti apakah yang merekah dari garis perbatasan bibirku saat itu. Yang kutahu,aku hanyut akan sesuatu, lalu merogohi tas, mengeluarkan secarik kertas putih bersih belum terisi, dan pena yang tintanya masih baru. Kemudian , kugoreskan pena itu di atas kertas, mulai menulis lagu penuh kerinduan.
Pertanyaanku satu
Di mana kamu ?
Rindu
goresan tangan, Diana Larasati
Senandung cahaya lembut menembus dada
Hati kegirangan menyapa
Sinar mentari pagi nyanyikan mimpi di hati
Sejukkan jiwa raga menari – nari
Aku sedang merindu, merindukan dirimu
Rindu yang menjejakkan kaki di dalam hatiku
Aku menyayangimu daku mencintaimu
Gelagat hati membuah karna kau bagian dari senyumku
Sambaran kilatmu getarkan segala asa
Menyergap gamang di hatinya
Sendawa lantai dingin menghembuskan angin – angin
Memeluk hati duka yang ingin, ingin
Selalu hadir untukmu, menyenangkan dirimu
Berharap kan menjadi pendamping setia hidupmu
Hati menggagap rindu, gelagat nyanyi talu
Akankah cintaku kan terbalas kasihmu?......
Syair hangat penuh kerinduan,
DIANA LARASATI
KAMU SEDANG MEMBACA
payung teduhku
RomanceHujan Yang Menawan Menawanku di hatimu yang penuh akan sabana cinta, Tidak bersabar dan tak mau mengalah. Lembut sebab rasa dan cantik. Hujan Yang Menawan Menawanku dalam lingkup kebahagiaan yang tiada taranya, membuatku tertahan d...