7

3 0 0
                                    

Malam ini, pukul 20.05

Selasa, 25 April 2017

Semalam sebelum esok paginya. Kau pasti mengerti, kenapa rasanya esok itu istimewa. Aku tak perlu memberitahu. Di sini, aku tak perlu khawatir Edgar akan bertemu dengan tukang cokelat itu di bangkuku besok pagi. Karena tanpa diperhitungkan pun, keadaanku dan Edgar sangat mendukung buatku untuk melawan. Kalau seandainya itu benar – bena terjadi. Dan kekandasan akan menjadi bahan kuat aku membuat tameng.

Di laman ini, aku ingin cerita tentang tukang cokelat itu. Tentang kejahilannya yang membuatku jatuh cinta. Aku tetap mengingatnya hingga aku tua.

"Dia di mana, ya ?" tanyaku ketika menggeledah setiap sudut ruangan yang ada di rumah. Saat ini, aku sedang mencari sosok yang ingginya nyaris sama denganku, berambut lurus setengah bergelombang, bermata lebih sipit, dan dua tahun lebih tua dariku menurut umur, tapi kami sekelas. Alya.

Entah sekarang dia bersembunyi di mana. Yang pasti, aku sedang mencarinya.

Kenapa tidak minta tolong yang lain ?

Jangan bertanya. Saat ini aku sedang hanya berdua saja di rumah, sebab orang tuaku pergi ke Rambipuji untuk acara keluarga.

Setelah mencari di dapur, kuteruskan pencarian menuju sebuah pintu kamar di lantai dua, yang penuh dengan stiker – stiker, dan satu karya seni rupa dua dimensi dengan ukiran bertuliskan 'kamar Alya' di tengahnya.

Aku diam, berpikir panjang sebelum masuk.

Dia tidak bodoh. Dia anak smart satu sekolah. Mana mungkin orang sepertinya sembunyi dengan pintu polosan seperti ini ? Di balik pintu ini pasti ada jebakan pintar. Ia tak akan membiarkanku masuk begitu saja dan memergokinya di lemari. Dan buktinya, ada bola kasti di depan pintunya. Alya adalah seorang pecinta kerapian. Ia tk akan membirkan bola kasti berjeletak di depan pintu kamarnya. Sayang, sepupunya lebih pintar.

Kuraih bolakasti itu kemudian kulempar lewat ventilasi di atas pintu, dan.......

BRUAAAKK!!!!

PRANG ! CTING ! JBURR !

BLUSS !!

Wow. Sepertinya eksrim, tuh.

Barulah setelah itu, kuputar gagang pintunya agar daun pintunya terbuka. Benar, jebakan itu ekstrim , tapi tak se – ekstrim kedengaranya. Hanya jebakan air dan tepung.

Aku lanjutkan perjalanan menuju lemari kayu tinggi besar dipojok ruangan, dan segera membuka pintunya dengan daya kejut.

" DAR !! " kejutku.

" AAA! " teriak seorang di dalam, sosok gadis yang berusaha mendekap aman selembar kertas HVS putih.

" Ketemu !"

" Ih, Dian ! Ini kan, cuma ulangan. Bukan ujian semester. "

" A – a. Give it to me...... "

Dengan terpaksa, ia berikan kertas HVS itu padaku. Tampak angka merah menakutkan di sudutnya.

45.

" Kamu tidak belajar, ya ? " tanyaku.

" Belajar ! " jawabnya tangkas dan sedikit membentak.

" Iya. Cuma lima persen dari yang dijanjikan. "

" Tapi belajar. Tidak sepertimu. "

payung teduhkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang