7. Jam Karet Indonesia (Versi Revisi)

168 37 111
                                    

"Kamu pernah punya pikiran buat resign nggak, Ta?" tanya Rajendra. Suaranya tidak begitu jelas karena sebatang rokok terselip di bibirnya.

Sebelum meeting dengan Pak Bromo, klien mereka, Rajendra dan Tirta menyempatkan diri untuk bersantai sejenak di rooftop sembari merokok. Mumpung masih ada waktu bersantai, jadi mereka memanfaatkan waktunya dengan baik. Dan kalaupun nanti mereka kalah saat berperang dengan Pak Bromo, setidaknya mereka pernah bersantai dan bersenang-senang.

Kepulan asap keluar dari bibir Tirta. Asap tersebut berhasil mengotori langit yang cerah hari ini. "Dulu pernah."

"Terus sekarang?" tanya Rajendra sebelum mengisap rokoknya. Tidak lama kepulan asap ikut mengotori langit hari ini.

"Udah kuhilangkan dari pikiranku. Aku udah punya keluarga, Je. Kalau resign, Lian sama Arka mau aku kasih makan apa nanti? Batu?"

Kepulan asap kembali keluar dari bibir Rajendra. Ia biasanya tidak pernah menyesap rokok seseriing ini. Tetapi siang ini berbeda. Pagi tadi, sebuah pikiran untuk membuka usaha terlintas di pikirannya. Sudah hampir 10 tahun ia bekerja di tempat sekarang dan rasanya ia sudah mulai bosan dengan rutinitasnya. Membuat berbagai macam strategi, meeting, hingga mengecek konten-konten yang sudah dibuat dan lain-lain. Banyak apabila harus dijelaskan. Rajendra sampai tidak ingin menyebutkan satu persatu karena sudah bosan.

Sebenarnya saat ini Rajendra sedang berpikir bagaimana cara agar ia mendapatkan uang lebih. Katakanlah gajinya saat ini sudah lebih daru cukup. Namun, rasanya masih kurang untuk Rajendra. Buktinya Rajendra masih harus mati-matian untuk berhemat.

Tetapi membuka usaha bukan berarti ia akan mendapatkan uang lebih. Namun, setidaknya ia bisa memiliki usaha sendiri dan bisa bermalas-malasan di rumah. Tidak seperti sekarang. Bekerja mati-matian sampai dini hari dengan upah lembur yang tak seberapa.

"Kepikiran punya usaha nggak sih, Ta? Jadi bos. Nggak jadi budak korporat kayak gini." Rajendra melirik Tirta yang sedang memberinya tatapan heran.

"Kesambet apa kamu?"

Mendengar pertanyaan Tirta yang panic membuat Rajendra tertawa. Tirta sudah hafal bagaimana sifat Rajendra. Lelaki itu tidak pernah punya visi dalam hidupnya. Tirta pasti merasa heran saat Rajendra melempar pertanyaan tersebut. Untung saja ia tidak mengambil spesialisasi Public Relations saat kuliah, bisa-bisa ia mendapat nilai jelek ketika membuat company profile hanya karena ia tidak bisa membuat visi-misi.

"Enggak," ucap Rajendra sambil tertawa. Akibat terlalu keras tertawa, Rajendra sampai terbatuk. "Jangan panik gitu dong mukanya. Nggak pantes!"

"Ya masalahnya kamu nanya gituan. Kan bikin takut? Sok-sokan tanya kepingin punya usaha atau enggak. Ngeri, Je!"

Rajendra menyesakkan rokoknya yang masih setengah ke asbak. Ia sudah bosan merokok. "Bosen kerja, Ta. Bosen jalanin rutinistas sekarang. Pingin apa gitu. Emang kamu nggak bosen?"

"Ya bosen, Je. Tapi mau gimana lagi?" Suara Tirta terdengar pasrah saat mendengarnya. "Tapi nggak kerja artinya nggak punya uang. Mau buka usaha juga butuh uang kan? Kalau usaha kita nantinya berhasil ya aku nggak masalaah. Kalau enggak ya bisa jatuh miskin kita," jelas Tirta. Ia ikut menyesakkan rokok ke asbak di depan mereka.

Para pengusaha mungkin akan menangis saat mendengar penjelasan Tirta. Payah. Takut miskin. Tetapi pertanyaannya, apakah Rajendra berani memulai usaha dengan risiko kegagalan? Tentu saja tidak.

Menjadi pengusaha itu tidak mudah. Itulah kalimat yang sering Suryo, bapak dari Rajendra, ucapkan. Bapak Rajendra adalah pengusaha mebel di Solo. Tidak perlu dijelaskan bagaimana keadaan usahanya sekarang. Yang jelas usahanya masih bertahan sampai sekarang. Kata bapaknya, menjadi pengusaha tidak boleh takut miskin. Mentalnya harus kuat karena akan sering mengalami kegagalan.

Rajendra (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang