Bogo sipda
Ireohge malhanikka deo bogo sipda
Neohui sajineul bogo isseodo bogo sipdaDetik demi detik berlalu. Musim demi musim terlampaui. Entah berapa ratus malam terlewati dengan rindu yang kian memuncak. Menggetarkan sanubari, menggerogoti hati, meminta untuk kembali. Masihkah pantas berlaku egois? Masihkah wajar menginginkan kembali kepingan yang telah pergi?
Seperti tempat dimana Seokjin kini berpijak, seperti itulah gambaran hatinya saat ini. Di gudang yang penuh debu dan kertas usang yang berserak, disitulah kaki jenjangnya melangkah menuju salah satu sudut. Mengusap pelan debu yang menempel, menarik seonggok bingkai yang tertelungkup disana.
Jemarinya bergetar, mengusap pelan foto dalam genggaman. Menyusup rindu di hati, menyerukan kata cinta yang amat terlambat dikumandangkan.
"Maaf."
Bibirnya menggumam, menggaungkan kata yang hampir tak terdengar. Di tengah kemelut hati yang tak kunjung reda, sesosok wanita melangkah mendekat, mengusap pelan bahu lebar milik Seokjin. Menyalurkan hangat, menatap penuh rasa bersalah.
"Aku yang seharusnya minta maaf. Memperumit keadaan, menyengsarakan dua jiwa. Maafkan aku, ya?"
Seokjin menggeleng. "Bukan salahmu, tapi kepengecutanku yang memperburuk segalanya. Biar aku yang perbaiki."
Neomu yasokhan sigan
Naneun uripga mipda
Ijen eolgul han beon boneun geosdo
Himdeureojin urigaBenar. Bahkan menatap wajahnya untuk yang terakhir kalipun menjadi hal yang sulit bagi Seokjin.
Benar katanya. Kepengecutannya mengambil alih seluruh kehidupannya. Membuatnya terjebak dalam ikatan yang tak seharusnya disahkan. Membuatnya tersiksa rindu juga tertikam rasa bersalah setiap malam.
"Kita selesaikan secepatnya, dan kejarlah apa yang seharusnya kau kejar. Maaf karena membawamu terjebak situasi sulit bersamaku."
"Ya, mari kita selesaikan."
****
Salju pertama.
Lagi-lagi hanya desisan putus-asa yang keluar dari bibirnya. Ditatapnya salju yang perlahan turun membasahi bumi, meninggalkan jejak putih di atas jalan beraspal.
Dulu, selalu ada jemari yang ia genggam sembari menikmati dingin udara salju pertama. Namun yang dilihatnya kini hanya kenangan lama yang menyesakkan jiwa, menghempasnya agar kembali ke dunia nyata.
Kim Yunhee menatap punggung Seokjin dari kejauhan, menatap penuh rasa bersalah lantaran ikut andil pada kehancuran hati pemuda yang berstatus sebagai suaminya itu.
Yunhee terlampau paham bagaimana cinta matinya Seokjin pada sang kekasih. Juga mengerti betul bagaimana Seokjin menempatkan kekasihnya di atas segala kepentingannya. Menjadikannya poros dunianya, pusat kebahagiaannya.
Sebelum hari paling menyakitkan itu datang. Dimana Seokjin yang mati-matian mempertahankan Jisoo, dan orang tuanya yang mati-matian memisahkannya.
Bukan hanya Yunhee yang tahu betapa terpukulnya Seokjin dengan keputusan Jisoo yang memilih menyerah atas hubungan mereka. Kalau diibaratkan, seisi dunia mungkin juga ikut merasakannya. Hanya saja, tidak pernah ada pilihan bagi mereka untuk menyuarakan rasa.
Salju pertama.
Dimana segala rasa berhenti di detik yang sama. Bersama Seokjin yang bersikeras memperjuangkan, dan Jisoo yang bersikeras mengusaikan. Alasannya jelas; kasta. Dan sayangnya, Seokjin tak punya cukup kuasa untuk memerdekakan rasa.
Malam itu, di tengah dingin udara yang menembus tulang, Seokjin memasuki mansion dengan perasaan kacau luar biasa. Dilihatnya dua keluarga yang tengah melingkar di meja makan, mengadakan perjamuan yang ternyata diam-diam dilakukan. Tanpa sepengetahuan Seokjin tentu saja.
Perjamuan guna membahas rencana pernikahan Seokjin dengan putri tunggal mereka.
"Jangan berpikir untuk lari, jangan temui perempuan itu lagi. Atau bisa kupastikan kau menggelandang tanpa sepeserpun belas kasihan dariku."
Itu katanya.
Pria serakah yang gila harta dan jabatan. Yang sialnya; ayah kandung Seokjin.
Seokjin hanya merasa, bahwa dirinya serupa boneka tali yang digerakkan sesuka hati. Bahkan perkara wanita pun tidak diberi kebebasan untuk memilih. Hanya satu hal yang memenuhi kepalanya di tengah perjamuan makan tak menyenangkan itu. Hanya tentang; bagaimana ia akan menjelaskan pada kekasihnya.
Dan ditengah kekalutan hatinya, seuntai pesan dari sang kekasih mampu mencipta secercah senyum dari bibirnya. Meski sepersekian detik setelahnya, Seokjin serasa ingin menenggelamkan diri.
Seokjin-ah, mari berakhir. Sejak awal kita tidak ditakdirkan bersama. Maaf, aku berhenti. Kau dengan jalanmu, dan aku dengan jalanku. Hanya ingatlah, Kim Jisoo ini pernah mencintaimu, dan akan selalu begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Day | Jinsoo
Fiksi Penggemar[HIATUS] Salju pertama. Mengurai kata, mengukir rasa, meninggalkan hampa. Tentang aku yang tidak berani melawan ketidakberdayaan diri. Memilih terkungkung dalam sangkar, menolak melawan garis. Kisah klasik yang tak berujung. Tentang dua hati yang ta...