Coklat panasnya mulai mendingin di atas meja, tersisihkan oleh layar laptop yang menampilkan potongan-potongan memori masa silam. Kenangan-kenangan yang sengaja disimpan. Sebagai pengingat, bahwa mereka pernah sebahagia itu sebelum Jisoo memilih lari dari pelik yang menghimpitnya.
Kenangannya bersama Seokjin berputar bagai roll film di kepalanya. Membuat seulas senyum di bibir Jisoo, membuatnya kembali mengingat sosok yang pernah mengisi hari-harinya. Sosok yang sejak dulu sampai sekarang masih menempati ruang khusus dalam hatinya.
Jisoo memain-mainkan cangkir berisi caramel macchiato di hadapannya. Hari ini cuaca cerah, dan Seokjin mengajaknya untuk pergi jalan-jalan. Tapi yang terjadi adalah Jisoo diacuhkan sejak tadi. Seokjin sibuk sendiri dengan ponselnya, mengabaikan presensi Jisoo yang jelas tepat di depan mata.
Seokjin masih saja diam. Tangan kirinya memegang ponsel dan tangan kanan mengetuk-ngetuk meja. Jisoo berdehem, berhenti memainkan cangkir dan mencoba menarik atensi Seokjin.
Tapi kekasih menyebalkannya itu sama sekali tidak bergeming, menoleh saja tidak. Jisoo berdehem lagi, kali ini lebih keras. Tapi lagi-lagi Seokjin tidak memberikan respon apapun.
Jisoo kesal, memukul tangan Seokjin agak keras. "Kim Seokjin!"
Seokjin berjengit dan refleks menolehkan kepalanya ke sekeliling, takut-takut jika pekikan Jisoo menarik perhatian di cafe kecil itu.
"Apa? Kau kenapa?"
Jisoo mendengus. "Harusnya aku yang bertanya. Kau itu kenapa? Apa ponselmu lebih menarik dibandingkan bicara denganku, eoh?!"
Seokjin menempelkan telunjuknya di depan bibir, meletakkan ponselnya lantas menggenggam jemari Jisoo yang menganggur di atas meja.
"Kau mengajakku berkencan, tapi kau sibuk dengan ponselmu sedari tadi! Kau mengabaikanku sejak dari perjalanan hingga sekarang! Kenapa tidak berkencan dengan ponselmu saja, sih?!"
"Iya, Sayang, iya. Jangan teriak-teriak, aku matikan ponselnya. Lihat?" Seokjin mematikan ponselnya di hadapan Jisoo, mencegah perempuan itu mengamuk lagi.
Meski Jisoo hampir merona, tapi ucapan manis Seokjin sama sekali tidak meredakan kekesalannya. Wajah Seokjin di depannya itu benar-benar membuat Jisoo ingin mencakarnya di detik yang sama. Ia menarik tangannya yang masih digenggam oleh Seokjin, mendengus tak suka dan membuang muka. Enggan bertatap wajah dengan si kekasih.
"Maaf, Sayang. Aku sudah mematikannya, sekarang hanya ada kita berdua."
Jisoo masih merajuk saat melihat Seokjin memasukkan ponsel ke dalam saku.
"Sudah, sekarang tidak ada lagi yang menganggu."
Jisoo mengangguk, ia meraih cangkirnya dan meminumnya perlahan. "Kenapa kau selalu sibuk dengan ponsel? Apa di hari libur begini kau juga bekerja?"
Tampak Seokjin menggaruk tengkuknya gugup. Ragu mengatakan pada Jisoo karena sebenarnya ia sedang membuat kejutan. Tapi raut penasaran Jisoo membuatnya tak tega.
"Aku sedang membangun perusahaanku sendiri, Jisoo."
"Bukankah kau sudah memiliki perusahaan?"
"Itu milik ayahku. Aku sedang berusaha merintis karirku sendiri. Untuk kita berdua, untuk masa depan kita nantinya. Untuk aku, kau, dan anak-anak kita nantinya."
Jisoo tertegun, tak menyangka Seokjin bertindak sejauh itu.
"Aku tidak mungkin terus bekerja disana. Itu memang perusahaan keluarga, tapi itu penjara. Aku ingin memberi makan dirimu dan anak kita nantinya dengan hasil keringatku sendiri. Dengan apa yang kubangun dari titik awal."
Penjelasan Seokjin membuat Jisoo merona. Kembali ia memainkan cangkir di hadapannya, berusaha sekuat mungkin menutupi debaran jantungnya yang menggila, berusaha untuk tetap menapak di bumi.
"Kau bisa mengatakannya padaku dari awal agar aku tidak salah paham, Jin-ah. Aku tidak tahu kau berpikir sampai sejauh itu. Maksudku, hubungan kita bahkan baru berjalan satu tahun, rasanya belum pantas jika membicarakan itu."
"Aku yakin padamu, Jisoo. Aku yakin memilihmu menjadi pelabuhan terakhir, aku memantapkan hatiku padamu. Aku hanya ingin dirimu. Hanya ingin kau di kehidupanku."
Lagi-lagi Jisoo dibuat bungkam oleh ucapan Seokjin. Sisi Seokjin yang seperti ini membuat Jisoo jatuh cinta berkali-kali lipat lebih dalam. Seokjin dengan segala pemikiran matangnya. Seokjin dengan segala kesempurnaan pada dirinya. Bagaimana Jisoo tidak jatuh pada pesonanya?
"Kalau begitu, biarkan aku membantumu. Aku mengerti sedikit-sedikit tentang perusahaan. Setidaknya, biarkan aku menemanimu berjuang dari awal."
Seokjin tersenyum, tangannya terulur mengusak sayang surai Jisoo. Sejak awal pertemuan mereka, Seokjin sudah terpana pada Jisoo. Semakin dibuat tidak berdaya setelah mengenal Jisoo lebih dalam. Dan sekarang, rasa-rasanya Seokjin tidak sanggup lagi mencintai orang lain. Hatinya mati rasa, hanya untuk Jisoo.
"Ya, mari kita mulai bersama."
****
Rasanya sakit.
Setiap hari dihantui rindu tak berkesudahan. Yang ia harapkan hanya satu; kembali pada sang terkasih.
Tapi lagi-lagi kenyataan menamparnya telak. Membangunkan Jisoo dari harap yang ia bumbung sendiri.
Jisoo sungguh takut kehilangan Seokjin. Harapannya hanya satu, seseorang membawa rindunya untuk disampaikan pada yang bersangkutan. Pada seseorang yang bersemayam dalam hatinya sejak pertama kali bertemu.
Tapi nyatanya, ketakutannya sungguu terbukti.
Jisoo kehilangan Seokjin, dan itu karena keputusan sepihaknya. Jisoo sungguh ingin mengakhiri hidupnya sendiri di masa-masa awal melarikan diri. Memutuskan menghilang dari hadapan Seokjin, juga dari dunia.
"Hah, sadarlah, Jisoo. Kau yang meninggalkan Seokjin, tidak tahu diri sekali kau masih menginginkannya."
Bisiknya, pada sehembus angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Day | Jinsoo
Fanfiction[HIATUS] Salju pertama. Mengurai kata, mengukir rasa, meninggalkan hampa. Tentang aku yang tidak berani melawan ketidakberdayaan diri. Memilih terkungkung dalam sangkar, menolak melawan garis. Kisah klasik yang tak berujung. Tentang dua hati yang ta...