Lagi-lagi hanya senyap yang menemani. Membungkam seluruh kesombongam hidup, mengungkung diri dalam rasa bersalah yang amat kentara. Nyatanya, Jisoo tak pernah bisa benar-benar menutup mata untuk segala hal tentang Seokjin. Pada akhirnya, Jisoo hanya sesosok perempuan yang berusaha terlihat baik-baik saja.
Keputusan sepihaknya untuk meninggalkan Seokjin, melarikan diri dari masalah yang seharusnya dihadapi. Memilih menutup telinga dan membutakan mata terhadap ajakan Seokjin untuk berjuang lebih keras. Jisoo hanya terlalu takut. Tidak siap untuk kehilangan Seokjin. Memilih undur diri dari hadapan pemuda itu. Memilih mematikan rasanya sendiri.
****
Debar Pertama
Jisoo hanya penjaga toko bunga, itu benar. Hidup seorang diri di Daegu, bekerja sembari menyalurkan hobi. Tidak ada yang salah dengan itu, semua terasa baik-baik saja. Hingga kehadiran Seokjin mengubah hidup Jisoo yang semula monokrom menjadi penuh warna.
Itu adalah hari pertama musim semi, udara terasa sedikit dingin tetapi bunga-bunga di toko Jisoo membawa rasa hangat di hati. Tangannya lihai menata tangkai-tangkai bunga di tempatnya, memangkas yang tidak perlu, lantas menatanya kembali.
Hingga lonceng di atas pintu berbunyi nyaring, mengalihkan atensinya dari pekerjaannya. Disana, Seokjin berdiri, lengkap dengan stelan jas dan masker yang ia kenakan. Jisoo melihatnya. Melihat bagaimana Seokjin dengan tegas berjalan ke arahnya dan tatapan yang tak lepas dari dirinya. Maka, sebisa mungkin Jisoo menunjukkan keramahannya.
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?"
Debar Kedua
Tawa riang memenuhi toko kecil milik Jisoo. Tangannya terampil membersihkan daun-daun kering yang menempel di tangkai bunga, sesekali melirik ke arah Seokjin yang duduk manis di tempat yang telah disediakan. Sejujurnya, meski hanya sebuah toko kecil, tempat ini nyaman sekali. Membuat siapapun betah berlama-lama disana, bonus dimanjakan dengan kecantikan perpaduan warna bunga dan harum yang menguar di segala penjuru ruangan.
"Sebenarnya aku ingin menjadi aktor," ucap Seokjin.
Jisoo mengangguk. "Aku yakin kau akan jadi aktor terkenal."
Seokjin terkekeh. Itu memang cita-citanya, Seokjin tidak berbohong. Tapi fakta bahwa dirinya adalah anak satu-satunya, membuat Seokjin harus merelakan mimpinya. Mengubur cita-citanya sedalam mungkin sampai tidak bisa lagi muncul ke permukaan.
"Aku ingin tahu tentang dirimu," ucapnya.
"Apa yang ingin kau tahu?"
"Semuanya."
Jadi Jisoo menghembuskan napas, meletakkan gunting yang sedari tadi ia genggam, juga melepas handscoon yang ia kenakan.
"Namaku Kim Jisoo, anak kedua dari tiga bersaudara. Tinggal di Daegu, dan hanya seorang penjaga toko bunga."
Debar Ketiga
Seokjin jadi sering mengunjungi toko milik Jisoo. Sesekali datang dengan wajah kusut, mengeluh tentang pekerjaannya. Kalau sudah begitu, Jisoo dengan sukarela mendengarkan Seokjin bercerita sampai puas, sampai laki-laki itu merasa bebannya terangkat dari pundak.
Hari ini, Jisoo berencana menutup toko sebentar dan pergi ke swalayan tepat ketika sedan hitam milik Seokjin berhenti di depan tokonya. Seulas senyum tak luput dari bibirnya.
"Mau kemana?"
"Ke swalayan. Belanja."
"Ayo, aku temani."
Dan oleh sebab itu, maka sekarang Jisoo berjalan bersisian dengan Seokjin yang mendorong troli belanjanya. Tangan Jisoo cekatan memasukkan beberapa sayuran, telur, bumbu-bumbu, dan tentu saja ramyeon beraneka rasa.
Terlihat serasi. Seperti pengantin baru. Diam-diam Jisoo tersenyum hanya dengan membayangkannya.
"Jisoo," panggil Seokjin.
Jisoo menoleh, hanya untuk mendapati Seokjin yang kini tengah menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
"Aku menyukaimu. Mari berkencan."
Debar Keempat
Kata orang, pertemuan pertama yang berlanjut di kemudian hari, adalah pertanda bahwa kalian berjodoh. Tapi lain halnya dengan Jisoo dan Seokjin. Pertemuan pertama mereka memang tidak disengaja, tetapi untuk pertemuan selanjutnya, jelas sekali Seokjin mengatur waktunya. Membuatnya terlihat seperti kebetulan, padahal nyatanya tidak.
Pertemuan pertama mereka, di toko bunga. Dengan Seokjin sebagai pelanggan, dan Jisoo sebagai penjual. Tidak ada yang salah, kecuali dengan Seokjin yang beberapa kali tertangkap mencuri pandang pada Jisoo.
Pertemuan kedua mereka, di pusat perbelanjaan. Dengan Jisoo yang mendorong troli belanja, dan Seokjin yang hanya memegang bir kalengan di tangan kanannya.
Pertemuan ketiga mereka, di kereta. Dengan Jisoo yang hendak pulang ke rumah, dan Seokjin yang berkata hendak mengunjungi kerabat.
Lalu pertemuan keempat, kelima, dan seterusnya, sudah direncanakan. Selepas pertemuan ketiga, Seokjin berani meminta nomor telepon Jisoo, beberapa kali menghubungi, dan berakhir sering berkunjung ke toko.
Memang, tidak ada yang salah dengan intensitas pertemuan mereka. Yang salah adalah; Jisoo yang mendadak tidak bisa menahan debar di hatinya. Jisoo tenggelam dalam pendar mata Seokjin yang memancarkan ketenangan. Jisoo terlena dalam lembut tutur yang terlontar dari bibir Seokjin.
Singkatnya, Jisoo jatuh dalam pesona Seokjin.
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Jisoo dibanding melihat Seokjin berdiri di altar bersama wanita lain. Malam itu, selepas pertemuannya dengan Kim Dongmin, Jisoo mantap menyusul Yoongi ke Paris. Meninggalkan seuntai pesan pada Seokjin tanpa penjelasan. Membiarkan Seokjin menerka-nerka sendiri, berlarut dalam kesedihannya sendiri.
Tidak ada yang baik-baik saja malam itu. Tidak Seokjin, tidak pula Jisoo. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dua hati yang saling mencintai, lalu terpisahkan.
Hanya saja di setiap untaian doa, di setiap hela napas, Jisoo selalu berharap semua yang terbaik untuk Seokjin. Kebaikan dan keberkahan hidup, semoga selalu dilimpahkan untuk Seokjinnya.
____
IT'S MY DAY!
Wohoooo, I'm officialy one year older! I wish I could scream my voice across the universe to show how happy I am today. I love myself, and I proud myself.
So, happy birthday to me. I just want to share happiness 🎉🎊
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Day | Jinsoo
Fanfic[HIATUS] Salju pertama. Mengurai kata, mengukir rasa, meninggalkan hampa. Tentang aku yang tidak berani melawan ketidakberdayaan diri. Memilih terkungkung dalam sangkar, menolak melawan garis. Kisah klasik yang tak berujung. Tentang dua hati yang ta...