Jendela kamar ia biarkan terbuka, memberi akses masuk pada angin dingin yang menyibak tirai-tirai di sekitarnya. Jisoo termenung di tempat tidurnya, menatap remang cahaya purnama seraya memeluk kakinya sendiri.
Rindu.
Jelas, Jisoo rindu. Rindu rumah sederhananya di Daegu. Rindu toko bunga miliknya. Rindu suasana disana. Juga, rindu Seokjinnya.
Sayangnya, Jisoo hanya mampu sebatas merindu.
Jika saja Jisoo tidak memilih melarikan diri, mungkin saja saat ini mereka tengah berbagi kehangatan di rumah. Bersama malaikat kecilnya, merajut bahagia yang pernah digaungkan sebelumnya.
Kekehan miris keluar dari bibirnya. Ah, bagaimana bisa dirinya membayangkan hal seindah itu. Karena bahkan nyatanya, Jisoo tidak pernah diharapkan menjadi bagian dalam keluarga Seokjin.
****
Sore menjelang. Jisoo lantas beranjak guna memasukkan bunga-bunga miliknya yang terpajang di luar. Langkah kakinya ringan, seulas senyum tak lepas dari bibirnya.
Manis. Benar, tidak ada yang meragukannya.
Denting lonceng di pintu tokonya berbunyi nyaring, mengalihkan atensinya dari Tiger lily yang ada dalam genggaman. Jisoo memutar badannya, mengulas senyum seapik mungkin guna menyambut sang pelanggan.
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?"
"Ya, ada. Tolong jauhi putraku."
Senyum Jisoo luntur seketika. Wajahnya pias, jantungnya bertalu. Ditatapnya lekat pria paruh baya di hadapannya itu. Kontur wajahnya tegas, penuh wibawa. Meski aura yang dikeluarkannya sama sekali tak bisa dikatakan baik.
"Aku Kim Dongmin, ayah Seokjin. Kim Jisoo, jauhi putraku. Ini perintah, jadi jangan membantah."
Jisoo menunduk, mencoba menenangkan dirinya sendiri, mencoba menampilkan senyum terbaik yang ia bisa. Meski tak dapat dipungkiri, hatinya sesak luar biasa.
"Maaf, Tuan. Tapi atas dasar apa Anda memisahkan kami? Kami saling mencintai, tidak ada alasan bagi kami untuk berpisah."
"Apa masih pantas bagimu bertanya seperti itu, Kim Jisoo-ssi? Aku ini seorang ayah, dan kupastikan aku menginginkan yang terbaik untuk putraku. Jadi jelaskan, apa yang bisa kau berikan untuk putraku jika kubiarkan kalian terus bersama?"
Jisoo mendongak, memberanikan diri menatap wajah Kim Dongmin di hadapannya.
"Saya bisa membahagiakannya, memberikan cinta yang tak terbatas untuk putra Anda. Apa itu juga tidak bisa dijadikan pertimbangan?"
Tanpa diduga, Dongmin tergelak di tempatnya, merasa lucu atas jawaban yang diberikan gadis di hadapannya ini.
"Aku sudah seringkali menemukan gadis-gadis semacam dirimu, Jisoo-ssi. Pada akhirnya, kau hanya akan memanfaatkan kekayaan putraku. Mengambil alih semuanya secara perlahan, lalu kemudian meninggalkan putraku. Jadi sebelum hal itu terjadi, aku akan memisahkan kalian terlebih dahulu."
"Tapi saya tidak seperti itu," sanggah Jisoo.
"Lantas apa peduliku? Dengar, Kim Jisoo, aku sudah menemukan calon istri yang sepadan untuk putraku. Dalam waktu dekat, kupastikan Seokjin akan menikah dengannya. Dan kau, jangan harap ada kesempatan bagimu untuk menginjakkan kaki di tempatku. Apa yang kau harapkan, Jisoo-ssi? Apa kau pikir tokomu yang kecil ini mampu mengimbangi perusahaanku? Tck, jangan bermimpi! Lupakan Seokjin, pergi dengan hidupmu sendiri."
Dan dengan itu, Kim Dongmin melangkah meninggalkan Jisoo dengan segala lara yang menghujamnya. Ditahan sekeras apapun, nyatanya sesak dalam dada tak bisa berkurang, justru semakin terasa mencekik hingga bernapas pun seolah sulit.
Dengan segenap rasa yang tersisa, Jisoo mengumpulkan keping-keping hatinya yang berserak. Dengan tangan yang gemetar, ia tuliskan seuntai pesan perpisahan. Tanpa salam pembuka, hanya paragraf inti berisi selamat tinggal.
****
"Kau benar tidak mau kembali ke Korea?" Sosok Yoongi mendadak muncul dari arah dapur, mengejutkan Jisoo yang baru saja selesai menonton televisi.
"Untuk apa? Aku tidak punya urusan disana," balasnya.
"Kupikir kau mau menggantikanku menghadiri rapat pemegang saham." Yoongi menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku.
"Oh, ayolah. Sejak kapan aku tertarik bermain di atas panggung? Aku lebih suka bekerja di belakang layar."
"Aku juga tidak tertarik sebenarnya. Tapi tidak mungkin mengutus Jungkook untuk menggantikanku. Anak itu, belum cukup umur meski kuakui dia kompeten."
Jisoo merotasikan matanya. "Sekalipun dia kompeten, mana ada anak kuliahan yang menghadiri rapat sepenting itu? Lagipula biasanya kau juga mengutus Kim Taehyung untuk menggantikanmu, kan?"
Yoongi mengulas smirk di wajahnya. "Kali ini, aku ingin melihatnya sendiri." Tatapannya beralih pada arloji di pergelangan tangan. "Aku berangkat, tolong jangan buat rumahku jadi seperti neraka. Aku hanya pergi tiga hari, jadi bersikap baiklah pada barang-barangku."
"Ya ya ya, cepat pergilah. Jangan lupakan oleh-olehku."
"Berisik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Day | Jinsoo
Fanfic[HIATUS] Salju pertama. Mengurai kata, mengukir rasa, meninggalkan hampa. Tentang aku yang tidak berani melawan ketidakberdayaan diri. Memilih terkungkung dalam sangkar, menolak melawan garis. Kisah klasik yang tak berujung. Tentang dua hati yang ta...