AN3

25 4 4
                                    


Panjang nih guys :v sebenernya mau aku bagi dua, tapi kok aneh aja rasanya :)

:-)

Keesokan paginya, aku menjalani rutinitas seperti biasanya. Ya, apa pula yang akan berubah bukan? Tapi, ada sedikit yang berbeda. Aku dapat merasakannya. Aku sampai di sekolah pukul 07.10, seperti biasanya. Lantas berbasa basi dengan Papa dan Kak Anin yang kujawab seperti biasa. Lalu keluar dari mobil, menuju kelas.

Inilah yang kukatakan ada perbedaan tadi. Sekolah sedang berada dalam puncak keramaian. Siswa yang baru datang hilir mudik di lorong kelas atau di lapangan. Seperti biasanya aku berjalan dengan tenang, tidak mengacuhkan apapun tanggapan orang di sekitarku. Tapi kali ini berbeda, aku tidak bisa untuk tidak mengacuhkannya.

Seumur hidup aku terbiasa dengan tatapan iri, benci, kagum, dan terpesona. Aku biasa saja karena memang itulah yang akan terjadi jika kita hidup baik-baik saja. Orang akan iri. Tapi hari ini berbeda, untuk pertama kalinya aku ditatap dengan pandangan 'aneh'. Ck, lagi-lagi kata itu muncul di benakku.

Entahlah, pandangan mereka menatapku penasaran seolah aku bukanlah aku. Ya, pandangan sejenis itu. Dan untuk pertama kalinya aku merasa risih. Tapi segera aku singkirkan perasaan itu. Aku tidak pernah suka jika ada perasaan asing menyelinap di hatiku pun aku tidak suka sesuatu yang terasa 'pertama kali'. Karna sejak kecil, saat pertama kali aku merasakan atau mengetahui arti sesuatu, hanya akan berujung menyakitkan. Itu sebabnya sejak dulu aku mempelajari banyak hal jauh sebelum aku mengetahuinya. Membuatku sedikit lebih tenang.

Aku memasuki kelas tepat saat bel masuk berbunyi. Fokusku terpaku pada kursi pojok kanan sehingga tidak menyadari ada seseorang turut berjalan di sampingku.

"Pagi, Anin," sapaan itu membuatku tersentak hingga tanpa sengaja mendorong meja di sebelahku. Si Penyapa berada dua jengkal dari tubuhku menghadirkan rasa tidak nyaman. Tanpa mengindahkan raut keheranannya, aku segera berjalan cepat menuju kursi. Menjauh sambil menarik dan menghembuskan nafas, menenangkan diri.

"Kamu marah sama aku, Anin?" Pemuda itu berjalan tergopoh mendekati mejaku. Aku tidak marah, hanya merasa tidak nyaman. Sedikit iba melihat raut wajahnya yang tampak sendu. Baru dua hari tapi sudah dua kali aku merasa kasihan dengannya. Bukan diriku sekali.

"Kamu beneran marah? Kenapa? Gara-gara tumbler itu? Atau karna aku cuma bisa kasih mineral?" ia tampak lebih tenang saat aku menjawab dengan gelengan kepala. Aku menghela nafas, kenapa ia berpikir aku sepicik itu?

"Beneran?" ia kembali mengajukan pertanyaan membuatku semakin jengah. Tapi tetap memutuskan untuk mengangguk. Lantas menunjuk pintu, memperlihatkan guru matematika yang baru saja memasuki kelas. Ia mengangguk mengerti lalu segera duduk di kursinya, sederet dengan kursiku yang dipisahkan oleh tiga kursi lainnya.

Bel makan siang berbunyi, tapi aku tidak beranjak dari kursi. Karna pada dasarnya aku tidak pernah keluar kelas kecuali ke toilet, pratikum labor, atau riset perpustakaan. Jadi jangan salahkan jika aku tidak mengenal seluk beluk sekolah ini meski sudah menghafal peta sekolah sejak sebulan sebelum masuk SMA.

Kelas sudah kosong setengahnya saat pegawai Papa masuk menghampiri mejaku. Memberikan paperbag berisi kotak makanan dan tumbler baru. Ia langsung pergi setelah aku mengangguk sopan. Seperti biasa, aku melihat isinya sebelum menentukan apakah akan memakannya atau tidak. Tapi sepertinya kali ini aku tidak membuang salah satu atau keduanya.

"Ini apa?" celetukkan muncul dari orang yang entah sejak kapan duduk di kursi di depanku. Kali ini aku tidak terkejut. Seakan sudah terbiasa dengan kemunculannya tiba-tiba.

Ia menatap isi tumbler ku, memperhatikannya seolah itu soal matematika yang rumit. Aku takjub dengan raut wajahnya itu. Begitu mudah di tebak dan tidak di buat-buat. Aku tau karna aku spesialisnya, apalagi dengan aku hidup bersama aktor terbaik sepanjang masa.

Broken CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang