AN15

10 4 2
                                    

Dunia ini penuh dengan rahasia. Pun dengan waktu, menyimpan rahasia yang sama. Tentang makna dari kejadian kemaren, arti hari ini, serta apa yang akan terjadi esok hari. Terkadang rahasia itu akan terkuak seiring berjalannya waktu, tapi kadang juga, dunia memilih menyimpan rahasia itu sendirian. Membiarkan kita menebak-nebak apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa itu harus terjadi? Membuat kita mengambil kesimpulan sendiri. Kesimpulan yang akan menjadi penentu baik buruknya kehidupan kita. Kesimpulan yang akan menjadi penentu bahagia atau tidaknya hati kita.

Banyak hal yang telah terjadi di sepanjang hidupku. Dan sejauh ini, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa kehidupan itu seperti bianglala. Bukan perkara bahwa kita bisa saja hidup di puncak tertinggi untuk kemudian sampai di titik terendah yang aku simpulkan. Tapi makna puncak dan titik itu sendiri.

Tak jarang manusia justru salah menyimpulkan bianglala kehidupannya. Saat mencapai puncak tertinggi, ia tidak bersyukur sehingga merasa di titik terendah. Seolah kehidupannya sangat menyedihkan. Lalu apakah itu artinya jika kita di titik terendah, kita merasa bahagia, seolah berada di puncak, adalah hal yang benar? Tidak! Karna itu tak jauh berbeda dengan kita menyiksa diri sendiri dengan berpura-pura.

Lantas apa yang benar? Yang benar adalah, masing-masing kita mempunyai bianglala sendiri. Tingginya puncak bianglala dan titik terendah dari bianglala adalah batasan kita dalam kehidupan. Kita yang mengatur sejauh mana kita akan bahagia dan sesanggup apa hati kita merasa sakit. Karena bianglala itu milik kita, maka kita jugalah yang mampu menggerakkannya. Apakah tetap membuatnya berputar naik turun tanpa henti atau mungkin mematikannya saat puncak tertinggi sehingga kebahagiaan terus mengalir tanpa henti, bahkan bisa saja membiarkannya di titik terendah membuat kita berkubang dengan kesedihan.

Bianglala itu milik kita, kitalah yang menentukan kita akan berada di titik mana. Puncak, tengah, atau terendah. Dulu, aku berpikir seperti itu. Hingga dia datang mengubah persepsiku. Bianglala itu juga bisa dipengaruhi oleh orang selain aku.

Pagi ini aku bangun terlambat. Mungkin karena semalam kami pulang larut malam. Kepulanganku disambut oleh Papa. Beliau duduk di ruang tamu, hendak mengintrogasiku, namun urung entah sebab apa. Menatapku dalam diam, lalu berjalan ke kamar.

Hanya Bi Ratih yang sibuk menanyakan dan menjelaskan ini itu. Aku tidak terlalu mendengarkan, terlampau lelah. Segera menggulung badan dengan selimut, bergabung di alam mimpi.

Aku turun sebelum ketukan pintu. Duduk di meja makan bahkan sebelum Papa datang. Semua hidangan sudah siap, tapi tak ada satupun yang datang. Tak acuh, aku membuka piring, memulai sarapan sendirian. Jam sudah menuntujukkan pukul tujuh kurang lima menit saat Papa datang ke meja makan dengan raut dingin. Aku melirik pun tidak, mengunyah makanan secepat mungkin. Keberadaan Papa disekitarku membuatku kurang nyaman.

"Anin, Papa-"

"Anin berangkat duluan, naik taksi," aku memotong ucapan Papa. Meneguk sedikit susu sebelum berdiri, keluar dari ruang makan.

"Kamu hari ini libur sekolah," ujar Papa, membuat langkah kakiku terhenti. Membalikkan badan, menatap Papa yang menghirup secangkir kopi dengan tenangnya.

"Kenapa?" aku menyahut pelan.

"Pembicaraan kita semalam belum selesai Anin. Kamu bersikap sangat tidak sopan tadi malam," Papa menyeruput kopinya. Beralih menatapku dengan tatapan dominasi, berusaha mengendalikan situasi.

"Kenapa belum selesai?" Aku berjalan dengan tenang, mendekati kembali meja makan. Menarik kursi di samping Papa, duduk lurus menghadap laki-laki itu.

"Kita bicara di ruang kerja Papa," Papa berdiri dengan tenang, tetap memegang cangkir kopinya, berjalan mendahuluiku.

Aku mengikuti, berjalan di belakang Papa sambil mempertahankan ketenanganku. Aku tidak boleh cemas dan panik. Jangan sampai Papa tau tentang kondisi kejiwaanku. Jangan sampai.

Broken CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang