AN13

12 3 1
                                    

Perubahan adalah hal yang paling tidak mungkin hilang dalam kehidupan. Selalu ada masa dimana perubahan akan berjalan menyenangkan, pun bisa jadi menyebalkan bahkan menyakitkan. Sekalipun hidup sudah berjalan layaknya rutinitas yang sama, selalu ada perubahan-perubahan kecil, entah lebih baik atau memburuk, tergantung bagaimana kita menjalaninya.

Terkadang kita tidak menyadari adanya perubahan-perubahan kecil itu. Kita luput darinya. Terlalu menyepelekan setiap perubahan yang terjadi, hingga akhirnya ada perubahan besar meledak layaknya bom atom kenyataan. Saat itu baru kita menyadari, bahwa ternyata kita sudah berubah.

Malam ini, aku mulai menyadari akan ada perubahan besar dalam hidupku.

Pintu diketuk tiga kali. Aku berhenti membaca buku, meletakkannya di nakas. Seperti biasa, Papa, Mama, dan Kak Riri sudah duduk di meja makan.

"Tadi Anin pulangnya sama siapa?" tanya Kak Riri disela dentingan sendok.

"Emangnya gak dijemput Pak Dani?" Mama menyela.

"Gak, tadi Riri ke rumah sakit," Papa menjawab.

"Ngapain?" tanya Mama lagi. Aku terus mengunyah, tidak berminat memperhatikan interaksi mereka.

"Ibu sakit, Mbak," Kak Riri menjawab pelan.

"Sakit apa?" suara Mama melunak.

"Belum tau, Mbak. Masih perlu tes darah besok," ujar Kak Riri.

"Trus kok di sini? siapa yang nemenin Ibu kamu di rumah sakit?" nada suara Mama kembali meninggi. Aku menghela nafas.

"Ini mau berangkat lagi, Mbak," Kak Riri menelan suapan terakhirnya.

"Biar aku antar," Papa ikut berdiri, mengikuti langkah Kak Riri ke kamar.

Mama menatap piring tanpa berselera untuk kembali melanjutkan makan. Helaan nafasku semakin berat. Namun aku enggan berkomentar. Sama seperti mereka yang bahkan lupa pertanyaan yang sempat terlontar penuh kekhawatiran, aku sedang berusaha untuk lupa dengan kejadian ini.

Seminggu lagi berlalu. Perubahan-perubahan kecil itu mulai terasa besar. Kak Riri mulai sibuk dengan orangtuanya, Papa yang sibuk dengan Kak Riri dan Mama yang sibuk marah kepada Papa. Segalanya mulai sibuk sementara aku tidak merasakan dampak itu menerpaku. Karna justru bukan kesibukan mereka yang menggangguku. Tapi kesibukan Razy.

Entah mengapa pria itu juga ikut terlihat sibuk. Meskipun tetap menemaniku di jam makan siang, dan mengantarku pulang hingga ke depan pintu mobil. Aku tau pasti, ada yang berubah dari pemuda itu. Razy tak ubahnya sebuah buku yang terbuka untukku. Begitu mudah dibaca dan dipahami.

Seolah ada mendung besar yang melandanya. Aku enggan bertanya, itu bukan urusanku. Segelap apapun mendung yang mengikutinya, itu bukan urusanku. Tapi saat ia menerima telepon ini, aku tau pasti, yang bukan urusanku itu memaksaku untuk peduli.

"Siapa yang jemput, gue?" itu adalah kalimat yang dilontarkan Razy pertama kali setelah beberapa menit terdiam mendengarkan penjelasan penelpon di sebrang sana. Wajahnya menggelap.

"Lo lupa kalau hari ini motor gue di bengkel?" Razy mulai terlihat panik, bergegas ke arah kursinya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

Ia membereskan barang-barangnya, berlari keluar kelas dengan masih menggenggam handphone nya. Tanpa pamit, tanpa sepatah katapun. Untuk pertama kalinya, aku tau bagaimana sakitnya rasa tidak dipedulikan.

Aku benci dengan kenyataan saat menyadari aku begitu terpengaruh dengan sikap Razy saat makan siang tadi. Jelas ia memiliki kesibukan yang begitu mendesak hingga bahkan pamit pun ia tidak sempat. Aku mati-matian menyingkirkan rasa kesal yang entah mengapa mengusikku. Aku tidak suka ini.

Broken CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang