AN14

8 3 0
                                    




Pukul delapan malam tepat. Setengah jam berlalu menyakitkan. Tubuhku mulai tenang. Gangguan kecemasan itu mulai padam. Dan hatiku mulai kosong. Tapi ada di suatu sisi, aku tidak nyaman dengan situasi ini. Untuk pertamakalinya aku butuh pengalih perhatian.

Membaca buku, menonton film, mengerjakan proyek, menganalisis grafik saham, hal-hal yang biasanya selalu mampu meningkatkan moodku kali ini tidak mampu mengusir rasa tidak nyaman itu. Sampai aku mengotak-atik Iphone, gerakan tanganku terhenti pada nomor telepon yang tidak pernah kuhubungi. Nomor yang dimasukkan di sana secara paksa. Razy.

Mungkin karena pemikiranku terlampau kalut hingga dengan bodohnya mengetuk layar pada tulisan panggil di nomor itu. Deringan kedua, suara serak laki-laki itu terdengar.

"Ya, Anin?"

Hening beberapa detik. Aku tidak pernah menelpon orang lain seperti ini. Terlampau terbiasa menelpon karena ada keperluan membuatku tidak terlalu pandai berbasa-basi dalam jaringan nirkabel.

"Are you okay?" nada suara Razy mulai terdengar khawatir.

"Yes, I am," aku menghela nafas pendek. "Maybe," lanjutku. Sungguh aku tidak tau ingin membicarakan apa, mungkin sekarang aku hanya butuh mendengar celotehannya seperti kereta api itu, entahlah untuk apa.

"Mau keluar malam ini? Katanya di selatan kota ada pasar malam yang baru buka," ajakan Razy kusetujui dalam dua detik, membuat pria itu sedikit kaget.

Akupun heran dengan diriku sendiri. Ini adalah keputusan yang paling gegabah yang pernah aku ambil. Tapi otakku terlampau lelah untuk berpikir. Hanya satu yang terlintas di kepalaku. Mungkin aku butuh liburan, secepatnya. Dan Razy menawarkan itu kepadaku. Aku bahkan tidak mempertimbangkan apapun selain jam berapa sekarang.

Razy menjemput lima belas menit kemudian. Disambut oleh Bi Ratih, karena kata perempuan paruh baya itu, Mama dibawa ke psikiater diantar Papa dan Kak Riri. Aku menduga Razy membawa motornya, sehingga aku sudah siap dengan outfit itu. Tapi aku salah, pemuda itu justru datang dengan mobil.

Sepanjang perjalanan, kami hanya diam. Razy mengambil keputusan yang benar tidak bertanya dan berceloteh tentang apapun. Kami hanya ditemani suara musik yang mengalun lembut diiringi siulan sesekali Razy. Sudah lama sejak terakhir kali aku keluar malam, apalagi dengan tujuan pergi main seperti ini.

Satu kata untuk pasar malam itu. Menyebalkan. Aku tidak pernah tau seperti apa itu pasar malam sehingga saat mendapati keramaian di sini, rasa kesalku memuncak.

"Kita pulang," gerakan tubuhku terhenti oleh pegangan Razy di lengan bajuku. Dia tersenyum tipis, menggeleng lembut.

Sungguh, Razy tampak berbeda malam ini. Setiap gestur tubuhnya seakan memberikan keyakinan untukku, seolah memberikan kekuatan untukku. Ia seolah tau bahwa hari ini terasa berat untukku.

"Dicoba dulu," senyum kecil Razy menghipnotisku. "Kalau kamu emang bener-bener gak sanggup, baru kita pulang, ya?"

Dan untuk kesekian kalinya, aku menyerah dengan keinginan pemuda ini. Mengangguk kecil, mengikuti langkahnya menuju keramaian.

"Kamu tau? Kita beruntung pergi di hari kerja seperti ini. Biasanya kalau weekend, bisa tiga kali lipat lebih ramai," Razy menggiringku perlahan, seolah memberiku waktu untuk beradaptasi.

Sejujurnya, tempat ini cukup indah. Kerlap kerlip lampu di setiap wahana ditambah langit yang cerah dengan bulan purnama membuatnya menjadi menakjubkan. Keramaian juga membuatnya tampak lebih hidup. Tanpa sadar aku tersenyum kecil saat melihat beberapa orang balita yang asyik memainkan benda yang diterbangkan. Aku tidak tau itu apa, tapi melihat mereka begitu antusias menyaksikan sesuatu yang tampak baru bagi mereka, membuatku menyadari, bahwa masa kecilku tidak jauh berbeda seperti mereka.

Broken CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang