AN9

21 4 4
                                    

Razy benar-benar serius dengan ucapannya. Mungkin sejak mobilku mulai menghidupkan mesin, pemuda itu sudah menerorku. Mengirim pesan berkali-kali. Entah itu ajakan, kata-kata tidak jelas, bahkan hanya sebuah huruf sekalipun. Ponselku berdering berkali-kali, menampilkan notifikasi tanpa henti. Razy tidak menyerah sekalipun aku tidak mengacuhkan pesannya. Ia juga menelponku berkali-kali hingga aku memutuskan untuk mematikan ponsel.

Ia keras kepala? Aku bisa keras batu.

Ketukan tiga kali di pintu kamar berhasil membuatku berhenti uring-uringan karena tingkah pemuda satu itu. Beranjak keluar menuju ruang makan. Dan aku menangkap kejanggalan, tidak ada Papa dan Kak Riri. Kemana mereka?

Kali ini aku memilih duduk di depan Mama, di kursi yang biasa diduduki oleh Kak Riri. Mama tampak lebih tenang. Tapi itu sukses membuatku gelisah. Situasi ini asing dan aku tidak bisa mengolahnya menjadi sebuah informasi. Aura Mama terasa datar. Dan aku tau pasti, jikalaupun Papa dan Kak Riri pergi alias tidak mengikuti makan malam, seharusnya ketukan pintuku hanya sekali diiringi kedatangan Bi Ratih dengan nampan berisi makanan.

"Kenapa Anin? Makanlah, Mama tadi memasak untukmu," Mama tersenyum dan aku terdiam. Mama memasak? Secara otomatis pandanganku menjelajahi meja makan. Ya, aku tau persis, memang Mama yang memasak seluruh makanan ini. Aku terlalu mengenal masakan beliau, meskipun sudah sembilan tahun berlalu sejak terakhir beliau memasak, aku tidak akan pernah lupa. Jenis masakan Mama, cita rasanya, dan tampilannya. Ah, sudahkah aku mengatakan kepada kalian bahwa dulunya Mama adalah seorang chef yang cukup terkenal, baik di kancah nasional maupun internasional?

Ragu, aku meraih satu-satunya mangkuk yang tidak jauh dari hadapanku. Mangkuk itu berisi Bouillabaisse. Makanan khas Perancis semacam sup ikan. Makanan favorite aku sejak kecil. Dan hanya buatan Mama yang cocok di lidahku. Sekian banyak restoran yang kudatangi, bahkan aku pernah memesannya ketika ke Perancis saat lomba olimpiade Internasional. Rasanya tidak sama. Jadi ketika lidahku menyentuh Bouillabaisse ini, mataku tanpa sadar berkaca.

Kami makan dalam diam. Aku sibuk memakan Bouillabaisse tanpa melirik makanan yang lain. Padahal ada Confit de Canard, resep andalan Mama, atau Foi Gras dan Beef Burguignon yang pernah menjadi menu terbaik Mama ketika beliau masih menjadi chef.

"Maafkan Mama," lirih suara Mama terdengar sayu. Aku menatap manik mata Mama, tidak terbaca.

"Lanjutkanlah, nanti kita bicara," ujar Mama. Ia turut kembali fokus terhadap makanannya, membuat aku menurut ucapan perempuan yang melahirkan aku itu. Setelah sekian lama, keheninganku dengan Mama tidak terasa canggung.

Tepat setelah aku meneguk sisa minuman, Mama berdiri. Memberiku kode untuk mengikutinya. Berjalan dua langkah di belakang Mama. Menatap punggung beliau yang entah sejak kapan mulai terasa jauh bagiku.

Kami sampai di taman samping, tepat di depan jendela kamar Mama. Dulu masa-masa awal sekolah, aku sering menghabiskan waktu di sini. untuk sekedar menangkap capung atau iseng memetik bunga yang tampak menarik. Bersama Mama dan Papa di sore hari sambil mereka minum teh.

"Kamu sudah tau, ya?" gumam Mama, sayup tak sampai. Tangannya di saku piyama tampak memegang sesuatu dengan erat.

Aku hanya diam, tidak mengalihkan pandangan dari taman yang masih terurus dengan baik. Gelapnya malam justru memperindah bunga-bunga yang mulai bermekaran. Di bawah sinar bulan dan lampu teras, aku merasa tenang. Rasanya menyenangkan.

"Selama ini, Mama begitu tersiksa," Mama berdiri di sampingku, ikut menatap keindahan malam ini.

"Tapi Mama gak bisa berenti Anin. Mama gak bisa pergi," ucapan Mama menarikku dalam kesimpulan alasan Mama tetap bertahan di samping Papa.

Broken CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang