AN11

22 5 2
                                    

Sejak dulu, aku selalu menyukai pelajaran sejarah. Tentang masa lalu, selalu menjadi topik menarik untuk di bahas. Seolah tidak pernah selesai. Selalu ada kisah menarik di baliknya. Pelajaran hidup dan bagaimana kita memaknai masa lalu itu sendiri.

Misalnya saja sejarah perjuangan di masa Pangeran Diponegoro, Buku-buku pelajaran kita hanya memabahas sebagian kecil dari kisah tersebut. Tapi tahukah kalian? Dibelakang kisah perjuangan Pangeran Diponegoro ada pahlawan-pahlawan tak dikenal lainnya. Tentang bagaimana trik mereka dalam perang geriliya, kondisi masyarakat, mitos jawa. Itu hanya akan di dapat jika kalian rajin membaca.

Tapi Pak Adi membuat kesukaanku itu rusak. Aku jadi sedikit membenci sejarah. Ah, lebih tepatnya tidak menyukai pelajaran sejarah dengan pria itu. Entahlah, sampai saat ini dia masih sensitif denganku. Entah terkait apapun ia selalu berusaha mencari-cari keselahan. Sejujurnya, aku tidak peduli, malas meladeni. Tapi puncaknya tentang makalah itu. Ia benar-benar memancing perkara. Mengundang amarah yang selama ini jarang aku keluarkan.

Dan hari ini, aku terpaksa harus menghadapi pria itu, lagi.

Papa mengantarku sekolah tepat waktu. Tanpa ada drama ataupun siklus itu. Bahkan tanpa pertanyaan, kemana aku pergi kemarin, seharian. Bahkan tidak ikut makan malam karena aku kelelahan. Meminta Bi Ratih mengantar menu ke kamarku. Papa tidak bertanya. Bahkan tidak protes sedikitpun.

Aku cukup jarang mengikuti upacara bendera. Entah sebab apa, pagi senin selalu membuatku sibuk. Dan terkadang, label anak pemilik sekolah cukup ampuh membuat guru ataupun petugas piket tidak protes jika aku lebih memilih membaca buku di kelas daripada upacara.

Tapi, hari ini aku cukup tertarik untuk upacara. Jangan tanya kenapa karena jujur, akupun tidak tau. Bisa karena cuaca cerah hari ini atau mungkin karena moodku baik sejak kemaren. Bisa jadi, dan aku tidak terlalu peduli. Aku berdiri di barisan paling depan. Membuat banyak orang kaget meliihat keberadaanku.

"Ssst, Anin," bisikan itu berhasil membuatku menoleh ke samping. Razy. Sejak kapan pemuda itu yang berbaris di sampingku? Bukannya tadi yang berbaris si ketua kelas?

"Tumben kamu upacara?" tanya Razy. Aku hanya mengendikkan bahu. Mengembalikkan eksistensi ke susunan upacara, selanjutnya amanat dari pembina upacara.

Tiba-tiba sebuah topi dipasangkan diikepalaku. Razy nyengir saat aku menatapnya heran. Aku melihat sekitar, baru teringat jika setiap kali upacara seharusnya siswa memakai topi. Hanya aku yang tidak. Bahkan tidak ditegur. Padahal siswa lain yang tidak memakai dibedakan barisannya.

"Biasanya amanat Pak Kepsek bakal panjang. Matahari udah mulai panas kan? Kamu kan gak kebiasa upacara, kalau gak pakai topi, bisa-bisa kamu pingsan. Trus satu sekolahan bisa heboh," bisik Razy yang tidak menyerupai bisikan. Bagaimana tidak? Suaranya bahkan berhasil membuat dua meter disekitar kami menoleh, lantas mengeluarkan suara batuk yang dibuat-buat.

"Alaaa, banyak gaya lo, Zy. Bilang aja, kek, aku tuh khawatir kamu kenapa-kenapa, sayang," laki-laki disamping Razy menyenggol bahu pemuda itu.

"Iya tuh. Sok-sok an bilang satu sekolah bakal heboh. Padahal kalau Anin pingsan, yang bakal heboh sendiri kan dia," perempuan yang baris dibelakangku menyahut.

"Iya, kan khawatir kesayangannya bakal kenapa-kenapa," satu orang lagi nimbrung.

"Apaan sih kalian? Bikin risih tau gak?" Razy melemparkan pandangan kesal, yang justru membuat teman-temannya semakin tergoda untuk menjahili pemuda itu. Terlihat jelas dari ekspresi mereka.

"Jadi lo gak bakal heboh sama khawatir gitu? Kalau Anin pingsan?" perempuan yang memakai hijab disampingku melempar pertanyaan.

"Ya gak sampai heboh juga lah. Paling yang heboh juga tuh kepala sekolah yang lagi ngasih amanat," Razy mengendikkan bahu.

Broken CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang