AN10

23 5 0
                                    

Pemberhentian kedua, toko buku.

Kali ini aku cukup antusias. Aku pergi ke toko buku baru beberapa kali, itupun ditemani Papa dan Kak Riri. Selebihnya isi perpustakaanku diisi dan diganti secara berkala oleh pegawai Papa atau jika ingin, aku beli secara online.

Razy menemaniku mengelilingi toko buku yang cukup besar itu. Ia merekomendasikan beberapa buku yang cukup menarik. Mulai dari buku fiksi hingga ilmiah. Pengetahuan pemuda itu cukup luas.

"Kamu bakal nerusin bisnis Papa kamu ya Anin?" itu pertanyaan Razy ketika kami sedang melihat buku-buku tentang bisnis. Aku tidak mengangguk ataupun menggeleng. Karena aku belum punya rencana untuk itu. Aku memang tertarik untuk berbisnis, tapi bisnis tembakau? Entahlah, aku lebih tertarik ke arah IT.

"Pasti lah, ya. Kamu kan anak satu-satunya. Siapa lagi yang bakal nerusin usaha Papa kamu? Gak mungkin sekretarisnya kan?" pemuda itu terkekeh, terus berjalan ke arah buku psikologi. Kalimatnya sedikit menyita pikiranku. Apa mungkin Kak Riri berniat mengambil alih usaha Papa bukan? Tidak, Kak Riri bukan orang seperti itu.

"Kalau aku sih lebih tertarik jadi dokter, lebih tepatnya ke arah psikologi," Ia menarik salah satu buku tentang kepribadian, membaca ulasan singkat di cover belakang. Yah, kalimat itu menjawab pertanyaanku beberapa waktu lalu, tentang mengapa dia bisa secepat itu menyimpulkan phobia ku.

"Tapi Ibu sama Kakak aku gak setuju. Mereka bilang otak encerku cocok di dunia bisnis, daripada ngurusin orang yang punya masalah pada kejiwaannya," Razy menarik buku satu lagi, ucapannya terdengar cukup sedih.

"Ibu paling gak setuju. Bahkan aku pernah dengar IBu bertengkar sama Kakak karena Kakak membelikan aku beberapa buku tentang kepribadian waktu kita baru masuk SMA," entah kenapa untuk pertama kalinya aku tertarik mendengar Razy berceloteh. Memperhatikannya yang sibuk memilah buku.

"Padahal Ibu gak tau. Orang yang memiliki masalah pada jiwanya belum berarti gila. Bahkan setiap kita pasti pernah bermasalah jiwanya. Entah itu berat ataupun ringan. Kesedihan berkepanjangan, mood berantakan, pun phobia. Orang yang takut terhadap kecoa bukan berarti gila bukan?" kalimat ringan Razy seolah mengguyur kepalaku dengan batu air dingin.

Sejak aku mengetahui masalah kejiwaanku beberapa waktu yang lalu, aku selalu mencap diriku sendiri gila. Phobia sentuhan, gangguan kecemasan, masalah kepribadian. Setiap kali aku meminum butir obat itu membuatku semakin insecure terhadap diriku sendiri. Padahal aku tidak gila.

"Ada lagi buku yang mau kamu beli, Anin?" tanya Razy. Aku menggeleng singkat, kami berjalan menuju kasir.

Aku membeli tiga buku, satu buku tentang bisnis, satu tentang sejarah dan satu lagi novel karya salah satu penulis yang cukup aku sukai. Sedangkan Razy membeli cukup banyak buku. Aku ditelpon oleh Bi Ratih yang menanyakan keberadaanku, jadi tidak terlalu memperhatikan apa saja yang pemuda itu beli sehingga kami membawa tiga kantung plastik dari toko buku itu. Satu kantong berukuran sedang milikku dan dua kantong besar miliknya.

Jam menunjukkan pukul dua saat kami berhenti di salah satu restoran. Razy benar-benar membawaku jauh dari pusat kota, bahkan menuju arah perkampungan. Bagaimana tidak? Restoran ini saja berada di pematangan sawah. Berbentuk pondok-pondok kecil yang dihubungkan dengan jembatan yang menancap kokoh di tanah lembab. Menghadirkan kesan asri dan nyaman.

Lagi-lagi pemuda itu memesan tanpa bertanya padaku. Tapi aku enggan untuk protes. Katanya ia sudah hafal dengan selera makanku karena menemaniku makan siang beberapa minggu ini. Jadi aku memutuskan untuk percaya saja.

Dan aku tidak menyesal untuk memutuskan mempercayainya. Apa yang dipilih pemuda ini lezat. Sangat lezat malah. Makanan ini sepertinya makanan tradisional khas Indonesia. Aku tidak tau apa nama makanan ini, bahkan saat aku bertanya, pemuda itu malah terkekeh. Berjanji akan mengatakan nama makanan ini asalkan aku pergi bersamanya lain kali.

Broken CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang