chapter seven

435 100 51
                                    

"Ka, lo bikin rencana apalagi sih? Nggak bisa ya, terima aja kenyataannya kalo Mama nggak akan perhatian sama kita?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ka, lo bikin rencana apalagi sih? Nggak bisa ya, terima aja kenyataannya kalo Mama nggak akan perhatian sama kita?"

Sudah dua minggu. Saka masih saja menghabiskan waktunya dengan menatap jendela. Rambut cowok itu sudah memanjang, tangan dan kakinya yang patah sudah hampir pulih. Rayhan hanya takut cowok itu sedang merencanakan sesuatu yang buruk, dan Rayhan takut terlambat mencegahnya. Cowok itu menyandarkan bahu ke daun pintu, masih menatap Saka.

"Ka, apapun yang ada di pikiran lo, mending singkirin. Buat apa lo bikin Mama perhatian, tapi lo nggak ngerasain hal itu?" Suara Rayhan terdengar putus asa, dan dia memang benar-benar merasakan hal itu.

"Just shut your f mouth."

Rayhan mengacak rambutnya frustrasi. Ia tidak tahu harus berbicara dengan gaya apa pada Saka supaya didengarkan.

"Sekali ini aja, Ka, jawab pertanyaan gua. Cuma satu," ucap Rayhan akhirnya.

Saka tidak menoleh, tapi juga tidak mengatakan apa-apa lagi. Membuat Rayhan kembali membuka mulutnya, "Kenapa sih, lo segini bencinya sama gua? Whether you like it or not, we're brothers, Aldebaran Ryaskha."

Hening beberapa saat sebelum akhirnya tawa serak keluar dari tenggorokan Saka. Rayhan tidak pernah tertawa bersama saudaranya itu. Mendengar tawanya terasa asing.

"Lo kangen nggak sih, Yan, sama Papa?"

Bahu Rayhan merosot ketika Saka memanggilnya dengan nama itu. Ayahnya dulu lebih suka memanggil Rayhan dengan sebutan Rayan, dan mendengar Saka pertama kalinya menyebutkan itu membuat Rayhan merasa kembali dekat dengan ayahnya.

"Gua kangen. Banget. Sampe rasanya, pengin ketemu cepet-cepet sama Papa." Jeda. Tawa serak itu keluar lagi. Pernah dengar Rayhan mengatakan kalau ia tidak mengenal Saka lagi sejak umur enam? Ya, mungkin segalanya telah berubah sejak ayahnya meninggal, dua belas tahun yang lalu. "Mungkin jiwa gua semuanya udah ikut mati sejak dua belas tahun yang lalu, Yan."

Rayhan masih menatap punggung itu. Mendadak, Rayhan merasa, Saka menanggung beban yang begitu berat di bahunya. Beban yang tidak tampak.

"Cuma Papa yang nerima gua segimana gua apa adanya, yang nggak pernah nuntut gua buat jadi seperti anak yang ada di bayangannya." Suara Saka tersendat. Membuat Rayhan merasakan sesuatu di pelupuknya.

Rayhan tahu, mereka berdua selalu dipaksa ibunya untuk belajar, mendapatkan peringkat terbaik, menjadi yang terbaik dari semuanya, dan tuntutan-tuntutan yang selama ini Rayhan kira, jika ia memenuhinya, maka ibunya akan luluh.

"Gua berusaha nerima Mama, tapi Mama nggak pernah berusaha nerima gua, Yan. Selama delapan belas tahun gua hidup, gua bisa nyimpulin satu hal. I wasn't the son she wanted, and you weren't either." Saka membuka jendela kamarnya, membiarkan angin sepoi-sepoi masuk. Cowok itu sekarang menyandarkan punggungnya ke kursi, meskipun tidak menatap Rayhan, Rayhan tahu, cowok itu sudah tidak kuat lagi.

"Ibu mana sih, yang sama sekali nggak jengukin anaknya yang opname? Ibu mana sih, yang nggak peduli, mau anaknya tawuran, menang kejuaraan basket, jadi juara satu, mau bunuh anak orang? You're the good one, and I'm the bad one. Kita sama-sama nggak pernah dapet hal yang selalu kita pingin, 'kan?"

Rayhan tidak tau kalau selama ini Saka tau kalau ibunya pun tidak pernah memberikan apresiasi apapun pada semua prestasi-prestasi Rayhan. Ia kira, Saka tidak pernah peduli, karena yang tampak memang seperti itu.

"Sampe, lo tau nggak, Yan? Gua sekarang ada di titik mau nyerah. Mama memang bukan alasan utama gua bertahan dulu, tapi gua selalu berusaha mencintai beliau dengan cara yang selalu Papa ajarin. Tapi cara itu nggak pernah berhasil, 'kan? Mama nggak pernah lihat gua sebagai Aldebaran Ryaskha.

"Jadi, sejak itu gua bertahan semata-mata karena mungkin, suatu saat nanti, ada orang yang melihat gua sebagai gua yang apa adanya, gua yang nggak bisa juara satu, gua yang nggak jago basket, gua yang bisanya cuma tawuran demi diperhatiin Mama. Tapi, mau segimananya lo bertahan, pasti rasanya capek 'kan, harus berpura-pura begitu lama. Sampe lo seketika sadar, lo udah nggak bisa bedain, lo lagi pura-pura, atau emang itulah diri lo yang sekarang."

Saka sejak umur dua tahun sampai lima tahun adalah Saka yang paling Rayhan rindukan seumur hidupnya. Rayhan sampai takut dia bermimpi pernah memiliki kakak yang dulunya memang berperan sebagai kakak.

"Berhubung gua udah mau nyerah sekarang, gua jujur aja ke lo soal gua benci sama lo karena apa.

"Gua nggak benci sama lo, Yan. Sedikitpun enggak. Gua nggak iri sama lo yang jauh lebih baik daripada gua. Serius. Cuma, gua sadar aja, kalo cepet atau lambat, semuanya bakal diambil dari gua," ujar Saka, sekarang menolehkan kepalanya, menatap sekilas Rayhan. Membuat Rayhan terkejut karena cowok itu benar-benar berantakan. Matanya memang tidak pernah bersinar ataupun memancarkan kehangatan, tapi tidak pernah seputus-asa ini.

"Kayak... semesta nggak akan pernah liat gua bahagia sedikitpun. Jadi, gua putusin buat benci sama lo. Tapi, seolah tau kalo dicurangi, semesta ngasih gua sesuatu yang bikin gua sadar, mungkin gua emang nggak pantes buat bahagia, Yan. Karena, satu-satunya orang yang selama ini gua kira bisa gua percaya, ternyata cuma manfaatin gua biar bisa dapetin lo. How pathetic am I?" Saka memainkan jari-jarinya di jendela kaca. "Lo tau, gua ngerasa bener-bener sendirian di dunia ini. Nggak ada yang bisa gua percaya, bahkan, nggak akan pernah ada bahu tempat gua bersandar."

Rayhan terdiam. Ia ingin mengatakan pada Saka bahwa ia ada. Rayhan bersumpah akan selalu ada. Tetapi, apa Saka akan menerimanya?

"Lo mungkin ngerasa menyedihkan karena nurut maunya Mama tapi nggak pernah dapet yang lo mau. Tapi, setidaknya, lo berkembang jadi orang yang lebih baik. Beda sama gua yang udah ngerusak diri sendiri buat nerima kenyataan kalo selamanya gua nggak akan pernah dapetin itu."

Rayhan memainkan jari-jarinya dengan perasaan yang campur aduk. Rayhan berharap, kali ini saja, semesta berpihak kepadanya dan Saka.

"Ka, sekali ini aja, percaya sama gua. Bertahan. Satu kali lagi. And lights will guide you home."

.

ₓ˚. ୭ ˚○◦˚.˚◦○˚ ୧ .˚ₓ

notes:

oke guys jd ini ntah part emosional mcam ap krna aku yg nulis juga berat bgt hahahaususis btw klo gk nyampe feelnya di klian ngmg deh biar ak bisa introspeksi gt huhu

fix youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang