Seorang putri, akan tetap kecil di mata ayahnya. Sedewasa apapun, semandiri apapun dia.
_⋆.ೃ࿔・.♛.•࿔.ೃ⋆_
Singkat, setelah selesai dengan semua keperluan pendaftaran kuliah dan membeli barang-barang yang di perlukan, mengingat Dyah datang hanya membawa beberapa baju dan barang saja. Jadi, dirinya perlu membeli alat tulis, maupun elektronik untuk dirinya pergunakan selama kuliah.
Jika berpikir Dyah hanyalah anak yang bisa menghabiskan uang orang tua, maka kamu salah besar. Dyah telah tercatat sebagai atlet panahan, meskipun sudah setahun ini dirinya memilih hiatus. Mungkin orang-orang bisa mengatakan, Dyah tengah kesusahan mencari jati dirinya.
Tidak ada yang salah dengan kemungkinan itu, karena sepertinya benar. Ada emosi yang memberontak dari diri Dyah atas kurangnya kehadiran dan perhatian Papanya. Membuat dirinya bertanya-tanya, sibuknya ini untuk apa? Emosi yang lama sekali Dyah pendam.
Dyah berada di dalam kamar sejak papanya itu datang menyusul. Malas untuk bertemu, karena pasti dirinya akan di seret pulang. Akan tetapi, panggilan dari Vena yang menyuruhnya untuk turun tidak bisa Dyah tolak.
"Temui dulu papa ya? Kasihan dia jauh-jauh kemari, untuk memastikan kamu baik-baik saja," pinta Vena.
Dyah melangkahkan kaki dengan malas, diikuti Vena dari belakang yang menggeleng karena tingkah laku anak dan ayah itu. Sampai di ruang tamu, Arthur tersenyum melihat putrinya itu baik-baik saja.
"Maaf papa baru bisa menyusul, ada kerjaan tambahan yang tidak bisa papa tinggalkan," ujar Arthur, pekerjaannya yang harusnya selesai selama 3 hari, nyatanya baru selesai 1 Minggu. Membuat dirinya baru bisa pergi melihat sang putri di hari ke 12.
"Sudah biasa!" sindir Dyah, membuat Vena mengelus pundak cucunya agar tidak terlalu terbawa emosi.
Arthur hanya tersenyum tak enak pada mertuanya. Ah, tapi semuanya memang salah, komunikasinya dengan sang putri benar-benar buruk. Padahal dia tidak kurang-kurang memberi fasilitas untuk Dyah, Arthur sedikit kecewa gadis itu memilih kabur.
"Dyah, ayo kita pulang, jangan seperti in-"
"Seperti apa?!" Potong Dyah, membuat Arthur menghela napasnya.
"Baik, papa minta maaf jika perlakuan papa ada yang salah, tapi tidak dengan cara kabur dari rumah Dy. Beruntung kamu baik-baik saja, jika ada yang jahatin kamu gimana?" Dyah menggigit bibir bawahnya, menekan emosi yang rasanya ingin keluar meluapkan diri.
Ruangan seluas itu dengan terpaan angin pagi harusnya membuat oksigen terasa sejuk, tapi kenapa dadanya justru terasa sesak seolah terhimpit dan tertekan. Setiap Dyah ingin mengeluarkan jawaban, bibirnya terasa bergetar.
"Nak, biarkan Dyah di sini beberapa waktu. Kuliahnya sudah jalan, atau mungkin sampai dia lulus saja," ujar Vena. Harus ada yang menjadi penengah di antara keduanya yang sama-sama keras kepala.
Vena peka dengan apa yang di mau Arthur dan mengerti apa yang dirasakan sang cucu, melihat tatapan kosong Dyah dan matanya yang berkaca-kaca. Bisa Vena rasakan, berbicara sedikit saja, air mata itu akan jatuh.
"Kamu kuliah? Harusnya kamu bilang jika ingin berkuliah di sini, jang-"
"Bilang bagaimana, pa?" potong Dyah lagi. Kali ini gadis itu melihat ke arah papanya. Sorot matanya terlihat terluka, membuat Arthur terdiam.
"Aku selalu bilang apa mauku, tapi berakhir dengan mau papa yang harus menjadi pilihan?" Suara Dyah bergetar, tapi dirinya berusaha berbicara dengan jelas.
"Papa minta kamu untuk masuk kedokteran agar hidup kamu terjamin, Dy," jelas Arthur.
Dyah mengangguk, seulas senyum tipis terpatri di bibirnya. Lalu kembali menatap Arthur yang sama-sama menatap dirinya. Tatapan yang sama ketika Arthur ingin di dengar, tajam dan terlihat sekali keras kepalanya.
Tatapan Dyah melunak, "papa tau jika aku ketakutan?" ujarnya. "Aku takut dengan darah, aku takut ditinggalkan, aku takut dengan semua kesibukanku, seolah-olah aku hidup sendirian! Aku takut dengan jarum suntik, aku takut setiap masuk ke dalam rumah sakit! Bayangan mama, melekat di kepala, bukan papa saja yang takut," runtuh pertahanan air mata Dyah.
Ditatapnya Arthur dalam-dalam, "yang terluka bukan cuman papa." Setelah itu Dyah beranjak dari sana, mengabaikan panggilan dari Vena.
Vena menghela napas, "Arthur, ibu tau kamu takut hal yang sama terjadi pada Dyah, tapi kamu juga harus percaya padanya. Selain materi, seorang anak juga butuh kepercayaan."
"Istirahat dulu, kamu mungkin lelah setelah perjalanan jauh. Setelah itu kamu bisa bicara lagi dengan Dyah," sambung Vena yang di balas anggukan oleh sang menantu.
Dyah duduk di meja belajarnya, mencoba fokus dengan tugas kuliahnya meskipun rasanya percuma. Seonggok daun lontar dengan tulisan kuno semakin membuat kepala Dyah pening.
"Dasar Pak Kuno, ada aja tugasnya!" Jujur, nilainya di Epigrafi bisa dikatakan kurang atau mungkin sangat kurang. Jadinya, Dyah sering kali mendapatkan tugas tambahan untuk penunjang nilainya.
Dosennya itu baik sih, tapi nyebelinnya minta ampun! Setiap ada pertanyaan pasti Dyah yang di suruh menjawab. Ketika semua kampus membicarakan pesona Dosennya itu, Dyah malah menggerutu.
Dyah akui ketampanan dosennya, tapi mengingat caranya di kelas, Dyah lebih baik ganti dosen saja.
Kembali dengan sesi melamunnya, Dyah menjadi kepikiran tentang ucapannya pada Arthur tadi. Apakah perkataannya begitu jahat? Apakah papanya itu akan semakin marah?
Dyah tidak bermaksud melimpahkan semua kekesalannya pada Arthur, karena dirinya tau jika salah telah kabur dari rumah. Namun, tentang ketakutannya itu memang benar. Setiap berada atau membayangkan dirinya akan pergi ke rumah sakit, tubuhnya bergetar hebat.
Ingatan saat mamanya dulu dilarikan ke rumah sakit menjadi mimpi buruk yang sampai saat ini membayangi Dyah. Oleh sebab itu, jika dirinya sakit, Dyah lebih memilih memanggil dokter ke rumah atau pasrah dengan obat yang dibawa oleh Arthur.
Suara notifikasi dari ponsel membuyarkan lamunan Dyah. Nama Arthur tertera di sana dengan sebaris kalimat yang mengatakan, jika besok Arthur akan mengantarkan dirinya kuliah.
"Selalu tidak ada kata maaf, hanya ada perintah...." Lirihnya, jika dirinya tidak takut dengan rumah sakit sudah pasti Dyah akan pergi ke psikolog.
Emosinya yang tidak stabil dan sering kali kebingungan, membuat aktivitasnya sering terganggu. Dyah seolah-olah tidak mengerti dengan dirinya sendiri, karena terlalu memendam semua emosinya.
Seperti halnya saat ini, gadis itu memilih untuk berbaring ketimbang membalas pesan papanya. Perasaan lelah mendera seluruh tubuhnya, tapi selama apapun Dyah tidur, rasa lelah itu seakan tak hilang.
Di saat mata Dyah benar-benar terpejam, kalung yang dipakainya kembali memancarkan sinar berwarna merah. Tidak lama, hanya sekejap sebelum Vena masuk ke dalam kamar untuk mengecek apakah cucunya itu sudah tertidur atau mengerjakan tugas.
"Persis sekali dengan Chelsea," gumam Vena.
Malam Minggu ke mana, guys?
KAMU SEDANG MEMBACA
Vilvatikta
Ficción históricaDyah, gadis pemilik paras ayu yang memilih kabur dari rumah, karena menghindari paksaan papanya untuk masuk jurusan kedokteran yang sama sekali tidak dirinya minati. Diabaikan oleh sang papa membuat Dyah semakin membulatkan tekad untuk pulang ke neg...