Bab 1: Rencana Kabur

21.1K 2.1K 38
                                    

Ada perubahan nama karakter!
.
.

Anak panah melesat kencang, menancap tepat sasaran di bantalan target. Gadis itu melakukannya beberapa kali, kali ini dia meraih kain penutup mata. Tubuhnya tegap, tangannya mengangkat busur dengan tegas, menfokuskan konsentrasinya, bahkan angin yang menggoyangkan anak rambutnya bisa terdengar.

Merasa targetnya sudah terkunci, jemarinya melepaskan anak panah yang dengan kencang melesat. Terdengar suara patahan, membuatnya membuka penutup mata. Di sana, terlihat anak panahnya membelah anak panah lainnya.

Senyumnya terbit, cukup puas dengan latihannya hari ini. Sampai suara tepuk tangan membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Sosok laki-laki dengan stelan jas hitam dan celana kain hitam, tengah berdiri di ambang pintu. Menatap kagum kemampuan sang putri dalam memanah.

"Sejak kapan papa berdiri di situ?" tanyanya, sembari membereskan alat-alat panahnya.

"Sejak kamu mulai menutup mata dengan kain itu," tunjuk Arthur pada kain yang ada di tangan Dyah.

Dyah menanggapi ucapan papanya dengan tawa kecil. Tawa yang sama persis dengan mendingan istrinya. Ah, Arthur jadi rindu dengan sosok cantik itu. Satu tahun setelah keduanya menikah, mereka dikaruniai putri cantik-Dyah Chesalia Dinandra. Keberuntungannya Dyah mewarisi sebagian besar rupa ibunya.

Termasuk pandai memanah, memasak dan rasa ingin taunya yang tinggi. Sayangnya saat putrinya menginjak umur 12 tahun, sang istri lebih dahulu pergi karena peristiwa yang membuat keduanya terpukul.

Keduanya memilih menyembuhkan diri dengan kesibukan masing-masing Arthur yang menyibukkan diri di rumah sakit tempatnya bekerja dan Dyah yang sibuk dengan perlombaan memanah.

"Kamu tidak ingin melanjutkan sekolah?" tanya Arthur. Tahun ini sudah waktunya Dyah melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Pembicaraan ini sebenarnya sudah pernah Arthur bahas, tapi putrinya itu terlihat enggan.

"Aku masih belum tau," ujar Dyah yang menutup ruang latihannya.

"Bagaimana Heidelberg atau LMU?" Dyah berbalik menatap papanya, menatap mata Arthur dengan serius.

"Aku tidak ingin menjadi Dokter!" tolaknya, Dyah tau jika papanya akan merekomendasikan dirinya untuk masuk kedokteran, sepertinya.

"Kenapa? Hidupnya terjamin sayang, bukannya kamu ingin berjalan-jalan ke Heidelberg." Arthur mengikuti langkah sang putri yang menuju meja makan, keduanya duduk bersebelahan.

"Pa, aku takut jarum suntik maupun darah! Menjadi Dokter tidak terlintas sama sekali dibenakku!" dengusnya, Dyah memutar bahu dengan dingin. Melipat kedua tangannya, enggan menatap Arthur.

Satu hal yang Arthur baru sadari hari ini, Dyah tumbuh dengan keras kepala yang tinggi.

"Kedokteran tidak semenyeramkan itu, nanti kamu akan terbiasa dengan jarum suntik maupun darah. Papa hanya ingin hidupmu terjamin, sayang," tukas Arthur yang membuat Dyah mendengus.

VilvatiktaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang