HDAA | 27

18 4 0
                                    

Happy reading all.


Lano turun dan jongkok di samping Maya. Memanggil Maya dengan tak henti dan tangannya yang masih diborgol.

"Maya!" wajah kekhawatiran mulai tampak dari wajah Lano.

Lano melirik ke atas, menatap Ben. "Ngapain lo diem aja? Cepet bawa Maya ke rumah sakit!"

Ben mengangguk dan segera mengangkat Maya dan menuju ke rumah sakit yang berada persis di samping kantor polisi ini. Sebuah keberuntungan. Ben segera berlari menuju rumah sakit diikuti Lano, namun belum sampai lima langkah, ia dicegat oleh polisi.

"Kamu belum boleh keluar!" ucap polisi itu.

Lano tidak tenang. "Tapi pak! Itu adek saya lagi sakit!" Kata Lano memelas.

Pak polisi tetap menggeleng. "Tidak bisa! Kita tunggu kedatangan orangtua kamu!"

Lano naik pitam, "GUE NGGAK PUNYA ORANGTUA!" ucapnya lalu memaksa keluar dan berhasil lolos. Ia mengejar Ben yang sedang membawa Maya.

Untungnya para polisi tidak mengejar, hanya saja ada satu polisi yang diminta untuk mengawasi dan mengikuti Lano.

"Eh, mas! Mas! Tolongin ini!" ucap Ben pada salah satu perawat laki-laki yang sedang lewat. Perawat itu segera memanggil perawat lainnya dan mengambil hospital bed. Maya dibaringkan di atasnya dan segera dibawa ke ruang UGD.

Lano yang baru sampai pun ngos-ngos-an. "Mana... Maya?" tanya Lano sambil mengatur napasnya.

Ben menunjuk ruang UGD, Lano kembali melangkah ke depan pintu yang sengaja dibuat tidak transparan. Lano menghela napasnya berat dan duduk di kursi tepat di samping pintu diikuti oleh Ben yang duduk di kursi sebelah kiri Lano.

"Salah lo." ucap Lano dengan pandangan yang tetap mengarah lurus ke depan.

Ben mengangkat satu alisnya. "Apanya?"

"Ini semua. Maya, gue, kantor polisi, rumah sakit. Ini semua. Salah lo." ucap Lano melontarkan apapun yang sedang ada di pikirannya. Meskipun itu terkesan tidak nyambung.

Ben menghela napas kasar. Berusaha menahan emosinya.
"Mau sampai kapan sih kita kayak gini, Lan?" ucap Ben pada Lano yang alisnya sama-sama tertaut.

Lano melirik sinis pada Ben lalu kembali menatap ke depan. "Sampai lo pergi dari hidup Maya."

Ben mengusap wajahnya. "Kenapa sih? Kenapa gue harus pergi? Gue salah apa sih sama lo?"

Lano menyipitkan matanya menatap Ben tajam. "Lo nggak ngaca ya? Lo sadar nggak sih lo ini apa? Maya itu lemah dan lo nggak bisa jagain dia karena--"

Ben memotong, "Karena gue banci? Iya? Karena gue yang pertama kali lo liat adalah banci yang menjijikan? Gitu?"

Lano memasang muka merendahkan. "Nah, itu lo tau."

Ben tersenyum paksa lalu membasahi bibirnya. "Lo bisa nggak sih buka mata lo?"

"Ngapain juga nutup mata?" kata Lano seperti berbisik pada diri sendiri.

Ben menggeleng heran. "Lo liat deh Lan, lo liat gue yang sekarang!" ucap Ben meninggikan nadanya, "gue emang banci seperti yang lo pikir waktu pertama kali lo liat deh gue. Gue nggak punya panutan untuk menjadi cowok dan gue nggak punya motivasi untuk mengubah diri gue, tapi itu dulu!" kata Ben mempercepat nadanya di tiga kata terakhir.

"Sampai gue ketemu Maya, adek lo. Gue ketemu dia dan hanya dia satu-satunya cewek yang berani memperlakukan gue seperti manusia biasa dan seperti laki-laki tulen! Gue..."

Lano menunggu perkataan Ben selanjutnya namun nihil. Lalu ia kembali menyahut, "Kenapa lo? Nggak tau kan lo mau ngomong apalagi? Emang, bacot doang lo bisanya."

Ben menunduk diam, membuat Lano tertawa kecil meledek ketidakjantanan Ben.

"Gue punya niat merubah diri gue, karena Maya."

Lano tertegun. Ia kinda menarik kata 'ketidakjantanan' yang ia sebut tadi.

"Gue tau gue harus lindungi Maya. Dan ini alasan kenapa gue nggak pernah ngelakuin ketika lo nyuruh gue jauhin Maya. Because i have crush on someone. And that someone is your sister, Lano."

Lano tetap diam. "Dan gue sebenarnya juga nggak banci-banci amat. Waktu SMP gue pernah latihan beladiri walau nggak sampai sabuk hitam."

Lano memberanikan diri bertanya, "Sabuk putih kan lo?"

Ben menggeleng, "No. Gue sabuk cokelat." Lano menelan salivanya. Ben, you are so wow.

"Ini serius? Lo nggak suka sama gue kan?" tanya Lano.

Ben menghela napas. Lagi. "Hufft, gue juga nggak tau kenapa sikap gue kayak cewek, tapi gue tetep suka sama cewek juga."

"Ya bagus dong! Lo seharusnya bersyukur."

Lano tertawa, Ben pun ikut tertawa.

"Lo kenapa make gituan sih? Apa lo nggak mikir bakal gimana Maya ngerespon nantinya?"

Ben menarik kedua ujung bibirnya datar. "Sebenernya gue nggak sengaja make itu."

Lano menoleh ke arah Ben, Ben juga. Lalu mereka tertawa singkat. "Hahaha, bisa nggak sengaja ya."

Lano tertawa lalu membuang napasnya. "Gue diajak Revan, temen lama, ke markas rahasianya. Dan gue tau yang mereka pake tuh obat. Dan bodohnya gue tuh make itu karena emang lagi kepikiran banget masalah Mama, Papa dan hubungan lo berdua yang notabenenya gue nggak suka."

"Sekarang udah suka kan?" canda Ben.

"Sedikit deh. Hahaha."

Ben menggeser kepalanya sehingga ia bisa melihat seorang polisi berada di samping Lano yang entah sejak kapan ia berada di sana.

"Pak, ini nggak boleh dilepas dulu borgolnya?" tanya Ben. Lano pun menoleh.

"Eh, Bapak." Ucap Lano sambil tersenyum manis layaknya seorang anak kecil meminta permen.

Pak polisi itu ikut tersenyum dan mengangguk. "Boleh sih..." ucapnya sambil menunjukkan kunci ke depan mata Lano, lalu kembali berkata, "Tapi tunggu udah di dalam penjara, ya." Pak polisi mengembalikan kunci dalam genggamannya.

Lano menyipitkan matanya. "Kalo gitu mah, bilang aja nggak bisa." Ben tertawa terbahak-bahak melihat Lano diphp-in.

Dokter yang sedari tadi berada di ruang UGD dan menangani Maya keluar dari ruang itu. Lano dan Ben segera berdiri.

"Gimana, Pak?" tanya Ben dengan harap-harap cemas.

"Jangan bilang buruk." kata Lano.

Dokter menghela napas.

"Ini parah." ucap dokter.


To be continue.
Jangan lupa vote yess.

Hujan di Atas AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang