t w o;

361 237 624
                                    

"Han, itu pengumumannya pasti salah 'kan?" tanyaku ketika telah berhasil menemukan keberadaannya.

Pelatih Han berbalik dan berhadapan denganku. Perbedaan raut wajahnya--matanya sayu dengan tatapan kosong, serta kedua ujung bibirnya sedikit tertarik ke bawah--terlihat jelas di sana. Aku masih berusaha percaya dengan secercah harapan yang kupunya hingga akhirnya..

"Sorry to say, Rhi, but this is real. There isn't your name here, Rhi."

Semuanya gagal.

Aku mencengkeram bahunya dan berteriak marah padanya, "bagaimana bisa perkiraan kalian salah? Katanya sudah dapat dipastikan benar, 'kan? Apa kalau sudah begini kalian akan bertanggung jawab, 'hah?!"

Ia menghempaskan tangan kananku dengan kasar, "Seperti ini sikapmu terhadap pelatihmu setelah dinyatakan tidak lolos?"

Aku masih menatapnya nanar meminta pertanggung jawaban atas semua yang tertulis di e-mail tempo hari itu. Napasku tidak teratur serta pikiranku mulai kalut.

Masih berhadapan, berselang beberapa detik, ia memperlihatkan secarik kertas tepat di hadapanku. Kertas putih bertintakan hitam disertai tanda tangan dan cap penyelenggara di sisi kanan bawah itu memperlihatkan skor babak penyisihan semua peserta olimpiade mata pelajaran komputer.

Ia menyentakkan kertas itu sehingga aku tidak dapat membacanya dengan baik untuk mencari namaku, "siswa dengan jumlah soal benar di bawah 10 sepertimu yang seharusnya lolos ke babak selanjutnya? Apa Kau tahu? Skormu minus, Rhi."

Mataku membulat sempurna dan beralih menatap pelatih Han, Bibirku yang setengah terbuka itu kelu, tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun.

Tubuhku bergeming di tempat. Langkah kakiku begitu berat, padahal aku ingin segera lenyap dan menganggap hal ini lelucon terpayah sepanjang masa.

"Kau memang bisa mengerjakan semua soal, Rhi. Tetapi lebih banyak jumlah soal yang salah! 'Kan sudah kubilang jika kau tidak yakin, lebih baik dikosongkan saja, bodoh!"

"Aku tak pernah bilang tidak yakin, Han!"

Masih dengan tatapan tak percaya, aku merebut kertas--yang ternyata berjumlah lebih dari satu lembar-- itu dari tangannya dan mencari namaku di setiap halaman.

"Tidak mungkin namamu ada di halaman pertama," sela Pelatih Han dengan muka masam serta kedua tangan terlipat di dada.

Halaman demi halaman kutelusuri hingga tiba di lembar terakhir--lembar kelima--terdapat namaku yang menduduki posisi ketiga sebelum terakhir dengan total skor -1.

Tanganku bergetar, penglihatanku kabur, napasku tersengal dan tak teratur, pikiranku kosong, kakiku lemas--rasanya tak mampu lagi untuk menopang diriku sendiri yang mau tidak mau harus menerima kenyataan ini dengan lapang dada.

Ia menepuk pundakku sembari membisikkan beberapa kata yang sangat tidak ingin kudengar sebelum akhirnya pergi, "aku percaya kamu sudah melakukan yang terbaik, Rhi."


🍂


Masih di hari yang sama namun rasanya seperti jungkir balik. Aku berbelok ke kanan dan berjalan sekitar dua ratus meter lagi sesuai instruksi dari GPS. Setelah berjalan sejauh lima ratus meter dari gedung biru itu, berdiri kokoh sebuah bangunan bertuliskan Toko Buku di hadapanku.

Di dalam bangunan empat lantai itu, terdapat puluhan rak buku berukuran besar pada umumnya yang masih mudah dijangkau. Ada juga beberapa area membaca anak maupun dewasa.

24/30 : The KeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang