s i x;

131 86 194
                                    

Issha An

Automatic sliding door di hadapan kami terbuka dengan perlahan bahkan dari jarak yang cukup jauh. Udara dingin yang dihasilkan oleh pendingin ruangan langsung menyapu wajahku begitu kami melewati pintu itu.

Aroma buku yang khas menyeruak memenuhi rongga hidungku. Aku menoleh ke arah 'partner baruku' dan memberikan kode untuk berpencar. Namun sepertinya ia tidak menangkap sinyalku. Hal itu sangat terlihat jelas dari ekspresi berikut pertanyaanya.

"Hah? Apa?"

Tatapannya yang kosong menatap secara vertikal dari bawah ke atas dengan mulut setengah terbuka. Mata coklat tua nya beralih melihat sekitar dengan ekspresi blank.

"Buku," jawabku malas.

Adegan planga-plongonya itu pun selesai. Ia menghadapkan tubuhnya padaku. Ekspresinya mulai berubah serius. Mata kecilnya itu seolah meminta jawaban.

"Aku ti.."

"Kau tahu, 'kan alasan kita ke sini apa?"

Ia tiba-tiba menyunggingkan senyum polos, "tidak. ehehe."

Tanpa menunggu izin sang empunya lengan, segera kutarik Rhi ke lorong bagian buku literatur. Aku mengambilkan beberapa buku yang berkaitan dengan karya tulis kami dan memberikannya kepada Rhi.

"Apa ini?"

Hampir saja kulayangkan buku setebal tujuh ratus halaman di tangan kananku ke kepalanya agar bisa bekerja dengan cepat. Aku menarik napas dalam dan menatapnya jengah.

Aku berusaha tersenyum meskipun terlihat memaksa, "itu buku. Buku literatur. Literatur apa? Silakan dibaca judulnya dari buku yang paling dekat dengan telapak tanganmu."

Ia mendengus sebal. Rhi yang sudah mulai lelah, menatapku memohon untuk istirahat. Aku yang melihat itu hanya menyikapinya dengan tak acuh dan menahan tawa.

Melihat tanggapanku, tiba-tiba ia meletakkan semua bukunya di lantai lalu ia duduk di sebelahnya dengan napas yang terengah-engah.

"Aku tidak menyuruhmu lari," ucapku tanpa menoleh dan masih mencari buku referensi.

"Hey, silakan kau menggan.."

"Tidak mau. Lagipula kau yang serba tidak tahu, jadi kau yang butuh membaca buku-buku itu."

Sontak ia langsung berdiri. Matanya menatapku dan buku-buku di lantai itu secara bergantian. Ia maju selangkah untuk mendekat padaku.

"Maksudmu?"

Aku tertawa puas mendapati ekspresi terkejut sekaligus kekhawatirannya yang terpancar jelas.

"Aku bercanda."

Ekspresinya berubah menjadi sangat menjengkelkan lalu kembali duduk di sebelah tumpukan buku itu.

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya berseragam seperti pegawai lainnya menghampiri kami dan menawarkan keranjang. Rhi dengan senang hati menerimanya.

"Terima kasih."

Aku menghampirinya dengan dua buah buku lain di tanganku. Kedua buku ini bukan buku literatur seperti keempat buku lainnya.

Keduanya merupakan buku referensi, namun satu diantaranya berupa novel berbahasa Jepang. Sedangkan buku satunya lagi berbahasa Inggris.

Ia menolehkan kepalanya ke arahku ketika mendapati kedua buku itu kumasukkan dalam keranjang. Raut wajahnya menjadi sangat sumringah seperti anak kecil yang dibelikan es krim.

"Kau akan membelikanku ini?" Tanyanya bersemangat.

Aku mengangguk, "memang hanya dua buku terakhir yang akan kita beli."

24/30 : The KeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang