f o u r;

228 170 351
                                    

"How do you know.."

Kami hening lagi. Nyaris saja kantung belanja yang kujinjing terlepas dari genggaman saking lemasnya.

"Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Maka, tepatilah janjimu."

Aku membasahi bibir. Bingung akan merespon apa. Karena sejujurnya aku juga masih terkejut.

Di tengah-tengah aku berpikir, gadis itu justru berbalik dan melanjutkan perjalanan menuju stasiun.

Aku berlari kecil untuk menyusul gadis itu. Aku berusaha menyamakan langkahku agar sejajar.

"Aku percaya."

Gadis itu menoleh ke arahku dan tersenyum simpul.

"Aku tidak menyangka kau memutuskan secepat itu."

"Tidak sepenuhnya. Lagipula aku hanya menepati janjiku," ujarku dengan pandangan lurus ke depan.

Kami terus berjalan hingga sampai di lobi stasiun.

"Kau tunggu disini, biar aku yang beli kartunya," ujar gadis itu lalu pergi ke loket.

Aku segera mencegatnya dan mengatakan, "kau beli satu saja, aku bawa uang elektronik."

Ia mengangguk lalu berbalik dan menuju loket dengan sedikit terburu-buru.

Selepas gadis itu kembali, kami naik eskalator menuju peron sesuai rute kereta tujuan.

Tiba-tiba ia menjulurkan tangan ke depan dadaku, "tolong pegang tas tanganku sebentar, Rhi."

Aku menerimanya lalu menyantolkannya ke bahuku.

Sembari ia membereskan kuncirannya, ia berkata, "jangan seperti itu lagi, Rhi. That makes me almost crazy."

Lalu ia mengambil tas tangannya lagi.

"Aren't you crazy?" ledekku.

Ia menoleh ke arahku dan menatapku jengkel.

"Gadis mana yang mengajak bicara orang asing tanpa tahu namanya."

"Aku tahu namamu. Bahkan kisah hidupmu, 'kan?" balasnya tanpa menoleh melihatku.

"Tidak adil. Aku tidak tahu kau siapa," ujarku mulai jengkel.

Hal itu bertepatan dengan kereta kami datang. Kami bergegas masuk agar mendapatkan tempat duduk.

Gadis itu menyentuh jemariku untuk memberikan sinyal bahwa ia akan bicara.

"Kalau kau sudah percaya, aku mau memberikan sebuah penawaran."

Kami hening lagi sebelum akhirnya ia menolehkan kepalanya ke arahku.

Ditatap seperti itu, aku mulai risih. Ditambah penumpang lain memperhatikan kami seolah remaja kasmaran.

"Kau mengundang tatapan mereka, Rhi."

Aku kembali menatapnya setelah mendengar kalimat yang ia lontarkan barusan.

"Sudah kukatakan, aku percaya."

Ia menghela napas lega. Beberapa saat kemudian ia berdiri, bersiap untuk turun.

"Aku butuh partner untuk mengikuti lomba invention. Kau mau ikut?"

Aku mengerjapkan mata dua kali, masih berusaha mencerna kalimatnya.

Tak lama, terdengar suara perempuan dari pengeras suara yang terdapat di dalam gerbong kereta. Pengumuman itu berupa pemberitahuan bahwa kereta akan tiba di stasiun berikutnya.

"Aku memberimu waktu dua hari hingga lusa. Temui aku di perpustakaan lantai dua setelah pulang sekolah. See you soon."

🍂


Hingar bingar dari luar kelas menandakan bahwa sudah banyak kelas yang dibubarkan. Para siswa di kelasku mulai melihat ke arah jendela untuk memberi kode bahwa jam pelajaran terakhir telah usai.

Guru fisikaku sangat memaklumi--karena masih muda--dan segera menutup pelajaran hari ini.

"Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. Saya sudahi pelajaran hari ini," ujarnya lalu pergi meninggalkan kelas.

Para siswa dari kelasku mulai berhamburan keluar kelas. Membaur dengan semua orang yang ada di luar.

Aku segera bergegas menuju ruangan yang sudah ditetapkan gadis itu.

"Rhi!" panggil seseorang dari belakangku.

Aku menoleh dan melihat gadis itu tengah berlari menyusulku. Ia melemparkan senyum lebarnya.

"Hai," balasku sembari tersenyum juga.

Kami berjalan bersama menuju perpustakaan di lantai dua. Kali ini ia sudah tidak begitu dingin, begitupun denganku.

"Kau kelas berapa?" tanyaku membuka obrolan.

"Kita seangkatan tahu. Aku juga studi MIPA," jawabnya tanpa menoleh.

Aku yang mendengar itu menjadi semakin penasaran, "ranking berapa?"

Pertanyaanku sukses membuat langkahnya terhenti. Aku pun terpaksa mengikutinya untuk berhenti. Ia menatap mataku seolah ragu untuk menjawab.

Namun ada hal janggal di hadapanku. Aku mengernyit, tak mempercayai apa yang kulihat. Mataku tertuju ke name tag yang ia gunakan di atas saku seragamnya bagian kiri.

"Satu."

Aku beralih menatap matanya terkejut.

"Sebentar, kau... Issha An? Shan?"

Ia mengangguk pelan, "ya memang kenapa?"

Kueratkan tas ranselku yang hanya terslampirkan di bahu kanan. Aku mulai menatapnya tajam, marah.

"Maaf aku tidak bisa percaya dengan pesaing terberatku."

Shan segera menahan lenganku agar tidak pergi.

"Jadi ini alasanmu tak mau membalas pesanku lagi? Ayolah, Rhi, waktu itu aku hanya penasaran dengan keadaan di asrama. Tidak ada maksud lebih."

"Itu juga alasanmu tidak mau memberitahuku namamu?" balasku sinis.

Ia melepaskan jemarinya dari lenganku. Kami kembali berhadapan, namun udara dingin menyelimuti kami lagi.

"Ternyata dugaanku benar.."

"Maaf, akan kupikirkan lagi, Shan."

-Why it must be you?






tbc

====================

Kejadian sebelum olim Shan sama Rhi itu ga ada part throwbacknya ya.
Click the star bottom and your comment are also needed
Thank you-
🥀

24/30 : The KeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang