"Sudah kau saring pulp-nya?"
Remaja laki-laki di hadapanku itu mengangguk sembari mengunyah makanannya. Ia tampak sangat menikmati bekal yang ia bawa.
Aku melihat jarum jam pada smartwatch-ku. Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh lewat lima menit. Waktu istirahat kami tersisa lima belas menit lagi.
"Sudah kau tambahkan garam dan ditutup alumunium foil?"
Ia tampak sedikit terkejut yang dapat dilihat dari matanya. Kepalanya sedikit terangkat, matanya melihat ke arah lain, serta mulutnya yang penuh makanan itu berhenti mengunyah.
Mataku menatap tajam mata Rhi, "kau lupa?"
Ia beralih menatap wajahku. Matanya sudah tidak sebesar tadi. Ia kembali mengunyah meskipun perlahan.
Ia menjawab, "sudah."
Aku menghela napas lega.
"Sepertinya," sambungnya.
Mataku kembali menatapnya tajam. Napsu makanku hilang. Aku segera bangkit meninggalkan Rhi di kantin dan berlari kembali ke laboratoriun.
Rhi menyusulku dengan terburu-buru, "apa begitu penting peran garam dan aluminium foil?"
Aku berbalik dan menatapnya garang. Meskipun tinggi kami mendekati, aku tetap mengangkat wajahku.
"Kau gila? Kalau kau tidak menambahkan garam, itu bisa membuatnya busuk dan berjamur! Itu semua ada di teori yang kau tulis. Apa yang kau pelajari selama ini, hah?!"
Aku bergegas menuju laboratorium untuk memeriksa keadaannya.
Pernyataan Rhi tidak sepenuhnya salah ataupun benar. Bahan olahan kami dipisahkan menjadi tiga tempat. Kedua gelas kimianya sudah ditutupi aluminium foil, sedangkan sisanya belum.
Terdengar suara seseorang dari pintu masuk laboratorium, "maaf."
Aku menaburkan garam lalu meratakannya seperti pada kedua gelas kimia lainnya. Napasku yang semula memburu, kini kian mereda dikala mendengar derap langkah kaki mendekat.
Walaupun lamban dan langkahnya terdengar patah-patah--ragu dan takut--ia tetap menghampiriku.
Setelah menutup bagian atas gelas itu dengan aluminium foil, aku melepas sarung tangan karet dan meletakkannya di tempat semula.
"Maaf. Aku lupa melakukannya pada gelas yang terakhir, karena itu bertepatan dengan kau meneleponku."
Aku berbalik dan mendapati Rhi menunduk, tak berani melihatku. Aku menghela napas berat dan maju selangkah mendekat. Meskipun sempat dibuat panik dan kesal, aku mencoba memaklumi dan memaafkannya.
"Sudah, tak apa. Kau masih baru di bidang ini. Maaf aku terlalu keras padamu tadi," ujarku melembut.
Perlahan, Rhi mulai mengangkat kepalanya. Ia masih terlihat takut, namun berusaha untuk tersenyum.
"Terima kasih sudah memaklumiku. Aku tidak akan melakukannya lagi. Mohon bantuannya."
Kedua tanganku terangkat menuju pundaknya. Kutatap matanya persis di bola mata coklat gelap itu. Aku tersenyum hangat dan mengangguk.
"Kau mungkin masih shock dengan kejadian waktu itu, tapi kau bisa per.."
Dalam hitungan detik, Rhi melangkah maju dan langsung memelukku erat. Dagu hingga rahangnya yang tegas mendarat di bahuku.
Kedua tangannya mendekap punggungku. Beberapa saat kemudian, ia menangis sesenggukkan. Dekapannya pun semakin erat seiring tangisannya yang semakin menjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
24/30 : The Key
Fantasy[Fantasy | Romance] "They're not supossed to be together, i said." Siswa pintar yang depresi, merasa sangat terbantu dengan kehadiran orang yang mengaku berasal dari masa lalu. Namun, Bagaimana jika ternyata takdir menyatukan mereka sebagai bentuk k...