1.0 Tired

1.3K 106 32
                                    

Nabila duduk termenung di lantai kamarnya yang beralaskan karpet bulu yang membuatnya hangat. Nabila tidak bisa menjalani hubungan yang selalu membuatnya mengeluarkan air mata kesedihan. Dari awal pertemuan mereka memanglah sebuah kesalahan yang tak terduga.

Nabila hanya menatap ponselnya yang terus bergetar karena ulah Elang. Saat Nabila keluar dari mobil Elang, gadis itu memang pulang sendiri sampai ke rumahnya. Elang yang datang ke rumahnya pun tak dia pedulikan, yang terpaksa membuat Elang pulang dengan bahu turun sambil mengacak rambutnya frustasi.

Tok Tok Tok

“Bil, Bunda masuk, ya?” tanya bunda sambil membuka pintu kamar Nabila yang awalnya tertutup rapat.

“Kenapa, Bun?”

“Di bawah ada Elang, katanya mau ketemu kamu.”
Nabila memutar bola matanya malas, apa Elang tidak bosan datang ke rumahnya? Tadi sore saja Elang sudah datang ke rumahnya, meskipun memang si pemilik rumah tidak menemuinya.

“Males ah, Bun. Suruh pulang aja deh, bilang aja kalo Bila udah tidur.”

Bunda tersenyum dan duduk di samping Nabila lalu berkata, “Gak boleh gitu, kasian Elang nya ‘kan udah jauh-jauh ke sini?”

“Tapi ‘kan Bila gak nyuruh dia buat ke sini.”

“Bil, Bunda gak pernah loh ngajarin kamu buat gak sopan kaya gini. Kalaupun ada masalah, harusnya kalian selesein baik-baik. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, kalau kamu kaya gini terus malah masalahnya gak akan pernah selesai. Kalian stuck di satu tempat tanpa tujuan, dan itu sama aja kalian buang-buang waktu.”

“Tapi, Bun. Kak Elang itu egois, Bila udah males.”

“Kalo ada sikap Elang yang gak kamu suka, harusnya kamu bilang sama Elang biar dia bisa berubah sedikit demi sedikit.”

Yang ada malah Bila yang diomelin – Nabila.

“Bunda ‘kan gak tahu sikap Kak Elang kaya gimana."

“Bunda emang gak tahu, tapi yang Bunda tahu kamu gak bakal pacaran sama orang yang gak baik. Kamu pacaran sama Elang, otomatis dia orang yang baik, ‘kan? Bunda percaya sama pilihan kamu,” ucap bunda sambil mengelus rambut Nabila dengan sayang dengan senyuman yang terpatri di wajahnya.

Mungkin Nabila emang salah, Bun. Pilihan Nabila bisa aja salah – Nabila.

“Udah sana, temuin Elang. Kamu harus hargain Elang yang rela jauh-jauh dateng ke sini.”

“Tapi, Bunda temenin Bila.”

“Kamu harus belajar ngadepin masalah sendiri, Bunda mau ke kamar, ada kerjaan yang harus Bunda beresin,” tutur bunda sebelum mencium kening Nabila dan keluar dari kamarnya.

Nabila menghembuskan napasnya berat lalu mengangguk. Perkataan bundanya memang benar, dia tidak mungkin terus menghindar dari Elang, apalagi satu sekolah, dan satu kelas dengan sepupunya Elang.

Nabila turun dari tangga sambil berharap pembicaraan mereka kali ini dapat berjalan baik, dan tentu saja Nabila berharap Elang peduli dengan perasaannya. Elang terlalu egois untuk gadis sepolos Nabila.

Nabila duduk berseberangan dengan Elang, mereka terhalang oleh meja. Posisi mereka memang terlihat canggung, jauh, seperti bukan sepasang muda-mudi yang harusnya memang menikmati masanya dalam mengenal cinta.

“Kenapa kamu baru mau nemuin Kakak?” tanya Elang saat tidak ada yang memulai pembicaraan.

“Bila butuh waktu sendiri.”

“Tapi, kamu gak bisa acuhin Kakak gitu aja. Kamu harusnya ngerti kalo Kakak gak bisa jauh dari kamu.”

Nabila menatap Elang tepat di bola mata tajam yang dimiliki lelaki itu lalu berkata, “Apa harus Bila yang selalu ngerti perasaan Kakak? Terus perasaan Bila gimana? Kak Elang terlalu terpaku sama perasaan Kakak, sampe Kakak lupa kalau Bila juga punya perasaan-“

My Possessive Boyfriend (Part Of Possessive)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang