5 (B)

75 15 24
                                    

III

Will benci betapa manusia gemar mempersulit diri sendiri.

Matanya menelaah label-label putih yang melekat pada botol-botol obat, plastik berisi pil dan kapsul aneka warna. Citalopram, losartan, oxycodone. Rangkaian kata tanpa makna. Will bolak-balik membaca huruf-huruf yang tercetak pada penanda, tetapi kepalanya kosong. Dia tidak tahu apa guna obat itu.

Kondisi Jesslyn sepertinya semakin parah. Will tidak mengerti mengapa, tetapi bahkan dari jarak satu kaki, pria itu dapat merasakan panas tubuh Jesslyn, menusuk kulitnya. Tangan Will mengobrak-abrik tas medis yang dibawa oleh wanita itu, tapi tidak dapat menemukan apapun yang dia dapat pahami.

Jika Alex ada di sini, mungkin laki-laki itu akan tahu apa yang harus dilakukan. Tapi sayangnya, saat ini dia sendirian.

Will berjengit. Suhu udara naik secara signifikan, dan dia tidak punya penjelasan. Rasanya seperti berdiri di dekat api unggun yang disiram bensin, tetapi tidak mungkin kan manusia suhu tubuhnya naik setajam itu?

Perempuan itu seharusnya sudah mati.

Akhirnya, Will menjatuhkan tas dan mendesah. Dia tidak dapat melakukan apa-apa. Pria itu khawatir dengan keadaan Jesslyn, tetapi kedua tangannya terikat. Will gemetar tidak karuan.

Persis seperti kejadian sebelas tahun lalu. Gubuk bambu itu seakan mewujud kembali di hadapannya, bersembunyi di sela-sela rumput untuk keluar dan mencaploknya, mempertemukan Will dengan pasangan iblis yang tidak pernah meninggalkan tempat itu.

Kakek dan neneknya.

Will menarik napas panjang, menghentikan aritmia yang menjalari paru-parunya. Dia harus bertahan.

Laki-laki itu berusaha mendekati Jesslyn, tetapi kulitnya seperti ditempelkan pada besi panas. Tabir tak terlihat membakar epidermis lengannya, menakuti Will yang ingin menerobos. Dia tidak mau terbakar spontan di siang bolong, tetapi Will harus melakukan sesuatu.

Kau tahu kau bisa melakukannya.

Pria besar itu berjengit. Will menampar wajahnya sendiri. Itu tidak mungkin terjadi. Benar, Will tidak boleh membiarkan ketakutan menguasai dirinya sendiri. Dia adalah Will Alfonso, garda terdepan Dewan yang tidak kenal takut.

Tidak perlu melarikan diri lagi, Will. Kami selalu mengikuti setiap langkahmu.

Bulu kuduknya meremang. Suara parau wanita, menusuk di antara gemerisik angin yang kasar. Will menggigit bibirnya sengaja. Ini cuma halusinasinya, nenek penyihir itu tidak mungkin datang. Dia seharusnya sudah mati di desa terbelakang itu, jauh sebelum Will meniti karir di kota.

Oh, tidak Will, kami tidak mati. Kau pasti penasaran kan, apa yang terjadi setelah kau meninggalkan kami?

Geraman rendah dari suara pria tua yang paru-parunya rusak setelah bertahun-tahun menghirup kemenyan di bilik kecilnya, tempat pria itu menyimpan keris pusaka yang tidak pernah dia perlihatkan pada Will hingga hari itu.

Temanmu sekarat. Lima tahun aku menurunkan kesaktianku padamu, tidak mungkin semuanya sia-sia belaka, bukan? Raih ke dalam kepalamu, Nak. Gali dan gali, buka kenangan yang kau kunci rapat-rapat.

Mungkin nektar yang kemarin dia minum mengandung zat halusinogen. Mungkin kelelahan menganggu kerja otaknya. Entah apa yang terjadi padanya, tetapi dia yakin, selama satu detik penuh yang mengerikan, dia melihat sosok bungkuk kakek dan neneknya menatap dari balik jalinan pohon purba, lengkap dengan bola mata kosong yang diselimuti katarak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eight, and the Island (DISCONTINUED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang