1 (A)

116 37 31
                                    

I

Jesslyn menggerung. Dia paling tidak suka diganggu saat tidur. Dan suara keras itu tidak mau berhenti. Tiba-tiba, dia teringat tetangganya di apartemen, yang suka melakukan konser gitar dadakan di tengah malam. Tidak mungkin kan orang itu mengikutinya sampai sini?

Kepalanya masih berputar-putar. Perempuan itu menyelipkan kepalanya ke dalam bantal, menekan telinganya kuat-kuat. Tapi suara itu tetap menembus telinganya, menggetarkan tulang tengkoraknya. Masih diselimuti kantuk, Jesslyn menyipitkan mata. Kamarnya saat ini bermandikan cahaya merah darah. Jesslyn mengucek matanya. Merah?

Dia tersentak. Suara itu sama persis dengan suara yang diperdengarkan saat briefing keselamatan di hari pertama Thalassa angkat sauh.

Alarm bahaya telah berbunyi. Serta merta jantungnya berpacu, adrenalin mengaliri sekujur tubuhnya. Perlahan, tirai kantuk yang menyelimuti kepalanya terangkat. Sebuah tempat tergambar dengan jelas di kepalanya. Dek sekoci.

Perempuan itu melompat, membuka laci dan mengeluarkan pelampung oranye yang masih disegel plastik. Kedua tangannya dengan sigap merobek dan mengenakan pelampung itu. Jesslyn melompat, memutar kenop pintu, dan membantingnya terbuka.

Koridor itu dibanjiri cahaya merah, membuat kepalanya berdenyut lagi. Jemarinya gemetaran. Tidak pernah terbesit dalam benaknya bahwa kapal sebesar Thalassa ini akan tenggelam.

Dia dapat meresapi kepanikan yang menjalari kapal itu. Orang-orang berteriak, menangis, mengumpat. Dengan seluruh tekadnya, dia berusaha memblokir pendengarannya itu. Tapi tidak ada gunanya. Telinganya menangkap semakin banyak suara, semakin banyak kecemasan. Jesslyn berdiri mematung di koridor sempit itu, tidak mampu bergerak.

Brak!

Jesslyn memekik. Sesuatu menabraknya dari belakang. Tubuhnya terpelanting ke lantai, menabrak sebuah meja pajangan porselen Tiongkok yang terguling dan pecah berkeping-keping. Kecemasan itu berhenti memukuli gendang telinganya. Jesslyn memicingkan mata, melihat siapa yang menabraknya.

Seorang pria besar berkumis yang mengenakan piyama sutra menatapnya tajam. Laki-laki itu menggiring barisan anak-anak yang menangis. Dia menampar salah seorang dari mereka, meraung agar anak itu tidak memangis, tapi gadis itu menangis semakin menjadi-jadi. Laki-laki itu mendelik pada Jesslyn.

"Gembel ini, dari kemarin bikin masalah saja di sini!"

Laki-laki itu kemudian berlalu. Jesslyn tersenyum kecut. Dia ingin sekali berteriak, mengumpat pada pria kurang ajar itu, tapi sama sekali tidak ada gunanya. Dia harus mencapai dek sekoci. Tidak perlu menambah-nambah masalah yang sudah ada.

Lambung kapal bergoncang. Lorong itu oleng ke kiri dan ke kanan, menggulingkan lebih banyak pajangan-pajangan yang berjejer. Lukisan jatuh dan mematahkan bingkainya, vas-vas hancur menjadi serpihan, patung-patung terbelah jadi dua. Karpet kecokelatan yang menyelimuti lantai tampak sangat berantakan.

Jesslyn menunduk, memojokkan diri pada dinding kosong. Teriakan menggema pada koridor itu. Kekuatannya kembali menendang, menggedor-gedor kepalanya, membanjirinya dengan tambahan kepanikan yang sama sekali tidak perlu. Perempuan itu menggertakkan giginya, menahan lonjakan emosi yang tiba-tiba itu.

Dan matanya melihat kekosongan di ujung lorong. Jesslyn tersenyum senang. Jalan menuju ke dek sekoci tidak hanya satu. Jika dia menyusuri koridor itu sampai ujung, dia akan sampai ke sayap lain dari dek kapal. Dan dia dapat mencapai dek sekoci. Lebih baik, bukan, dibandingkan berjejalan bersama orang-orang itu?

Eight, and the Island (DISCONTINUED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang