14

21.2K 1K 25
                                    

🌸🌸🌸

Papa memelukku dengan sangat erat. Ah, rasanya sudah lama sekali aku tidak di peluk beliau. Sejak kapan? Mungkin sejak hari pernikahanku dengan si bajingan sialan itu.

"Maafkan Papa, Sayang...Papa terlalu sibuk hingga tidak bisa menjagamu," ujar pria paruh baya yang sangat aku cintai itu.

Aku tersenyum. Aku sudah melupakan semuanya. Bagiku sekarang, Andre tidak ada artinya. Tidak layak untuk di kenang. Biarkan saja dia dengan dunianya dan aku tinggal menunggu apa yang akan menimpa pria itu nantinya. Bukankah setiap perbuatan akan mendapat balasan dari Tuhan? Begitupun dengan Andre. Aku yakin!

"Aku baik-baik saja kok, Pa...aku kan wanita kuat!" Kataku.

Papa tersenyum dan mengacak-acak rambutku. Mengajakku duduk di sofa. Hmm...sudah lama juga aku tidak datang ke rumah ini. Rumah di mana aku di besarkan. Tapi, sejak kepergian Mama, rumah ini terasa sepi. Papa menyibukkan diri dengan sejuta pekerjaan sebagai obat agar dia segera move on dari kesedihan. Meninggalkanku yang kala itu masih sekolah TK.

Mama adalah wanita satu-satunya bagi Papa. Itulah sebabnya aku sangat mencintai Papa. Bagiku, beliau adalah panutan! Kesetiannya sudah teruji! Sampai saat ini papa tidak menikah atau dekat dengan wanita manapun.

Ah...betapa beruntungnya Mama...aku iri... Tapi apalah daya, pria yang aku harapkan akan menghabiskan hari-harinya bersamaku justru berkhianat.

"Sekarang apa kamu mau ikut Papa, nak? Memulai semuanya dari awal?" Tanya Papa dengan mimik muka serius.

Selama ini Papa lebih banyak menghabiskan waktunya di luar negeri.

"Pa...aku..."

Sebenarnya aku tidak siap.

Papa mendesah, mengusap rambutku dengan sayang, "kamu tahu, kebahagiaanmu adalah segalanya bagi Papa, sayang..."

Aku mengangguk, "aku tahu dan aku sangat bersyukur memiliki Papa sebaik Papa," kataku tulus.

Papa tersenyum, "oleh karena itu, maukah kamu ikut dengan Papa, nak? Melupakan semua ini dan memulai semuanya juga dari awal."

Aku terdiam. Di satu sisi, aku tidak mau pergi. Tapi di sisi lain, aku juga sangat ingin tinggal bersama papa... Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

Papa mengangguk paham, "Papa tidak memaksa. Jika kamu ingin tinggal, tentu kamu tahu Papa tidak akan memaksakan kamu ikut. Kamu yang terpenting, Anggi."

Aku memeluknya erat, "terimakasih, Pa...sepertinya untuk saat ini aku masih tidak bisa ikut dengan Papa...maaf..." Lirihku.

Papa terkekeh, "hmm...bagi Papa kamu masih tetap bocah manja kesayangan Papa."

Aku tersenyum dan semakin erat memeluknya.

"Kalau ada apa-apa, segera hubungi Papa, paham?"

"Siap, kapten!"

🌸🌸🌸

Nadia masuk begitu saja ke ruang kerjaku, meletakkan kotak makan dan duduk di seberang meja dengan wajah kesal, "iya deh yang sibuk dan gak bisa di ajak hang out lagi," katanya.

Aku tersenyum, menutup berkas yang tengah aku pelajari, "terimakasih untuk makan siangnya!" Seruku mulai membuka bekal makanan yang di bawakan sahabatku itu.

Mulai makan.

Nadia mendesah dramatis, "sejak kamu sibuk jadi Presdir, rasanya duniaku hampa."

Aku menatapnya, "yang benar saja, Nadia! Kamu punya suami dan dua anak!" Gelakku.

Nadia cemberut, "sekarang anak-anakku lebih betah tinggal dengan neneknya, coba! Suamiku juga akhir-akhir ini sibuk dengan semua pasiennya," keluhnya.

Aku menghela nafas, "setidaknya mereka ada."

Nadia memutar matanya, "aku kangen jalan bareng sahabatku ini."

Aku tersenyum, "sabar ya, doain moga semua pekerjaanku ini segera selesai dan kita bisa have fun!"

Nadia mendengus.

"Omong-omong, capcaynya enak, Nad. Belajar dari mana masak ini?" Tanyaku mengubah topik.

"Aku tidak masak, Nggi."

Aku mengerjap, "lalu ini?" Tanyaku menunjuk semua makanan di meja dengan menu empat sehat lima sempurna itu.

Nadia terkekeh, "seseorang menitipkannya padaku. Untukmu," katanya.

Aku merengut, mendorong makanan itu menjauh dan menatap Nadia lekat-lekat.

"Siapa yang kamu maksud? Hati-hati, bisa saja ini di racun!" Desisku.

Nadia tergelak, "ya gak mungkin dia racun kamu, Nggi! Aneh-aneh aja kamu itu!"

Aku berdecak tak sabar, "jadi siapa orang yang kita bicarakan ini, Nadia?" Aku geram sebenarnya.

Nadia tersenyum geli, "aku kebetulan bertemu Ryan tadi. Sepertinya dia berniat datang ke sini tapi malu."

Aku mengerjap.

Ryan? Kesini? Apa-apaan ini?! Dan apa? Makanan ini dari pria itu?! Astaga!

Nadia mencondongkan tubuhnya. Menatapku dengan mimik serius, "dia benar-benar menyukaimu dan berharap padamu, Nggi. Saranku, terima saja dia dan mulai hidup baru!"

Nafsu makanku lenyap seketika.

"Kamu tentu masih ingat apa yang dia lakukan di masalalu, Nadia," kataku datar.

Nadia mencebik, "semua orang bisa berubah, kan? Percaya padaku, dia bukan Ryan yang dulu, Nggi!"

Aku menggeleng, "sudahlah. Jangan bahas pria itu!" Tukasku mulai membereskan makanan di atas meja.

Jengah sekali jika harus mengungkit masa lalu dengan sosok bernama Ryan Hidayat itu.

Dia tidak jauh lebih baik dari Andre, mantan suamiku itu. Oh Tuhan, apakah di dunia ini cuma papaku pria baiknya?!!!

Aku tidak bisa mempercayai siapapun! Bahkan sekarang Nadia!

"Kamu belum bertemu dengannya, Nggi. Cobalah kamu mul--"

"Aku sibuk, banyak pekerjaan. Lebih baik kamu pulang, Nad. Kapan-kapan kita bisa bertemu lagi," selaku jengkel.

Nadia menatapku tak percaya. Memang aku tidak pernah bersikap seperti ini padanya. Tapi mau bagaimana lagi? Aku muak dengan topik yang dia sodorkan.

Maafkan aku, Nadia.

Nadia pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Aku menghela nafas panjang dan kembali berkutat dengan semua pekerjaan.

🌸🌸🌸

TBC

14052020

Coming (Back To You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang