Jendral Kuddun menatap langsung mataku, kemudian mengalihkan pandangannya ke meja di depan kami. Pelayan setia Khan itu memicingkan mata. Kulit dahinya melipat. Dia berpikir keras memahami peta dan data yang kusajikan di atas meja. Lembar demi lembar dibaliknya data-data itu dengan konsentrasi tinggi. Lelaki yang separuh kehidupannya diisi dengan peperangan dan penaklukan itu memastikan informasi yang sudah kuperoleh empat tahun belakangan ini tidak ada yang salah."Kita harus membagi pasukan setelah menguasai pulau Tsushima. Menempatkan perbekalan untuk menunjang serangan berikutnya, kemudian bergerak menguasai pulau Iki, Hirado, Taka dan Nokono," kataku menyela perhatiannya.
Telunjukku mengarah ke pulau-pulau yang kumaksud. Aku melanjutkan, "Cukup dengan separuh kekuatan pasukan, kita bisa menghacurkan kota Hakata. Kita kuasai dulu pulau-pulau ini sambil menunggu pasukan berikutnya. Setelah dua pasukan bergabung, kita akan terus melaju. Kita hajar Shogun sombong itu di bentengnya."
"Bagaimana dengan perlawanan mereka?"
"Jangan khawatir, Jendral. Mereka adalah pasukan barbar yang tidak punya pengalaman berperang dengan pasukan asing. Persenjataan mereka tidak sebanding dengan persenjataan kita. Aku yakin, kita akan menang mudah."
Sejurus kemudian bibir Jendral Kuddun mengembang penuh. Dagu lebar tertarik ke samping, cambang lebat menutup semua area wajahnya. Menyisakan matanya yang sipit.
"Kau memang jenius. Tidak salah kiranya Khan sendiri memerintahkanku untuk mengambilmu sebagai bawahan."
Hidungku mengembang penuh. Bayang kenaikan pangkat melintas. "Terima kasih, Jendral. Apa yang telah hamba lakukan selama ini juga atas bimbingan Jendral."
Lelaki haus darah itu tergelak, berulang kali menepuk bahuku. Dia meraih guci besar di sampingnya, mengisi gelasnya sendiri, kemudian mengisi gelasku hingga penuh. Minuman anggur terlezat persembahan dari keluarga Frank di Perancis memantulkan warna jingga. Dia mengangkat gelasnya ke arahku. Aku membalasnya. Tidak ada yang hadir di ruang kerja Jendral Kuddun selain kami. Denting dua gelas beradu mengisi kekosongan.
"Untuk kesehatan Khan Yang Agung!"
"Untuk kejayaan Kekaisaran Ilkhanat!" balasku.
Aku menenggak habis mimuman itu dalam sekali tarikan nafas. Pahit, manis, menyatu jadi satu menggelontor tenggorokanku, membuat isi perutku diliputi hawa hangat, mengusir sisa udara musim dingin yang menerebos dinding kapal.
Tubuhku hanya terbalut selembar pakaian tipis dan celana panjang. Tidak seperti hari-hari penaklukan, di mana senjata lengkap dan baju zirah selalu melekat di tubuh, malam terakhir di perairan wilayah Jepang sebelum kapal menarik sauh ini adalah malam yang tepat untuk dinikmati dengan santai ditemani wine terlezat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMURAI
Historical Fiction* Wattys 2020 winner. Historical fiction category* Kesatria Templar telah berubah wujud. Tapi, sama seperti yang dulu, Robert Eracles Jr masih terperangkap dalam status yang tidak jelas. Bukan sebagai samurai, juga bukan sepenuhnya ninja. Pun, bukan...