CHAPTER X : Serangan Balik

805 57 34
                                    


    Kapal yang kami tumpangi menerabas gelombang dalam kecepatan tinggi. Lantainya bergoyang terhempas. Malam menggantung tanpa gejolak, menenggelamkan kerlip lampu kapal seolah kepik emas di tengah gurun pasir. Sedetik pun aku tak pernah meninggalkan Megumi. Setia menunggui, mengelap keringatnya, menatapnya lama. Gadis ini jatuh cinta padaku saat hatiku terluka. Pada waktu yang lain sebelum aku mengenal Tomoe Aya, akan sangat mudah mencintai gadis ini. Cantik, pemberani, lincah, jenaka. Berada di dekatnya serasa dunia berubah penuh pesona dan gelak tawa. Sayangnya, Megumi muncul menawarkan hatinya di saat yang tidak tepat.

    Gadis bangsawan klan Adachi itu membuka kelopak matanya. Ia mendelik menatap atap. Aku yakin saat ini racun digoxin tengah bekerja menghajar otaknya, mengganggu sistem proses berpikir dan persepsi Megumi. Kelopak mata gadis ini menutup, kemudian membuka lagi. Dia berusaha bangun, aku menahan tubuhnya agar tidak banyak bergerak, agar lukanya tidak terbuka lagi. Kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri, bibirnya kering mengeluarkan rintihan tak menentu. Air mata membanjir di sudut matanya, meleleh ke telinga, membasahi sebagian anak rambutnya.

    "Ibu ... aku ... rindu padamu, aku ... ikut ibu...."

    Lengan Megumi menjulur ke atas, berusaha memeluk udara kosong di depannya. Bayangan orang yang paling dikasihi muncul di dalam benaknya, mengajak kenangan manis yang tersimpan bertahun-tahun tersingkap. Sebentar kemudian sikap gadis ini mulai berubah drastis. Pandangan kesedihan berubah menjadi pandangan kegeraman. Kemarahan membesut kenangan pahit.

    "Aku tidak mencintai laki-laki itu! Kenapa kalian memaksaku menikah? Pergi! Minggat kalian dari hadapanku!"

   Matanya nyalang, kepalanya bergerak ke kanan ke kiri merusak bantal jerami, kakinya menendang-nendang ke atas. Megumi menjerit histeris. Aku menahan tangannya agar luka di bahu kanan dan luka di dada kirinya tidak terbuka. Usahaku sia-sia. Darah merembes dari luka membasahi kain perban.

    "Megumi! Sadarlah! Megumi!" panggilku berkali-kali.

    Megumi tidak menggubris. Dia meronta. Berusaha menarik tangannya dari tekananku. Trauma akibat dipaksa menikahi laki-laki yang tidak dicintainya membekas dalam. Itu pula alasan yang membuat dia lari meninggalkan rumah dengan segala kemewahannya. Cerita Sukemitsu tentang kesetian dan kepatuhan wanita Jepang menjunjung jalan Bushido tak kudapat dari gadis ini. Di antara sekian ribu wanita yang memilih Bushido, Megumi bukan salah satunya. Mataku mencari tali, aku menemukan obi kimono. Terpaksa kuikat kedua tangan Megumi dengan kain obi agar tidak meronta. Ketukan di pintu membuyarkan konsentrasiku.

   "Ada apa?" teriakku.

   Suara samurai pembawa obat-obatan terdengar khawatir. "Ada kapal kecil mendekat, Tuan."

   "Siapa? Musuh?!"

   "Belum tahu, Tuan. Dia hanya mengeluarkan lambang salah satu keluarga samurai pulau Kyushu."

   "Lapor memeriksanya."

   "Ya!" jawabku keras.

    Suara langkah di balik pintu menghilang. Megumi semakin tidak menentu. Dia duduk, menjatuhkan diri terlentang, duduk kembali, berkali-kali mengulang gerakan sambil berteriak meronta. Kadang dia tertawa, tak lama kemudian menangis histeris. Aku semakin kalut, tak mengerti bagaimana membuatnya tenang.

   "Bangsat! Aku tak sudi menikahi laki-laki itu! Ibu, tolong aku...."

   "Megumi! Sadar Megumi!!" teriakku ikut histeris.

    Rambutnya riap-riapan, wajahnya pucat pasi, gerahamnya mengkerat. Kalau saja dua tangannya bebas, dia akan mencakar wajahnya sendiri. Ketukan di pintu kembali terdengar, membuatku semakin geram. Suara samurai yang tadi melapor kembali terdengar.

SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang