CHAPTER VI : Hidup Untuk Cinta

903 57 28
                                    


       Cinta adalah sakit jiwa yang membahayakan, kata Plato. Tetapi menurutku, cinta adalah penyembuh jiwa yang menderita. Sebelum aku bertemu Aya, jiwaku terpapar berbagai rasa yang menyakitkan. Hari-hariku dipenuhi kegalauan. Malam-malamku adalah malam penuh kemuakan dan ketidak-berdayaan menghadapi mimpi yang menakutkan. Jiwaku meranggas bak pohon cedar mengugurkan daunnya di musim semi, ironis, manakala di musim yang sama bunga sakura berkembang penuh. Cinta Aya yang membuat jiwaku bangkit dari keterpurukan.

       Masih menurut Plato, cinta terbagi dari banyak segi. Eros, Philia, agape. Cintaku pada Tomoe Aya adalah gabungan antara Eros, dan Agape. Eros-lah yang menggelitik emosiku, membuang jauh logika akal sehatku, sekaligus membekapku dalam cinta agape- cinta yang bersifat spiritual. Perbedaan dan sekat di antara aku dan kasihku tak lebih dari kumpulan tembok penghambat yang sanggup kusingkirkan. Logika kami mati saat eros mencapai titik kulminasi. Cinta kami terbelenggu dalam cinta tak bersyarat. Aku dan Aya akan terus mencintai tanpa peduli apakah suatu hari nanti raga kami terpisah. Di jantungnya ada hatiku, dan di lubuk hatiku tercipta ruang yang selalu terkunci. Di dalam ruang itu, cinta Aya bersemayam tak akan pernah bisa kulepas.

       Merenungi cinta kami membuat Hakata, pelabuhan paling sibuk di Jepang, perlahan mendekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

       Merenungi cinta kami membuat Hakata, pelabuhan paling sibuk di Jepang, perlahan mendekat. Langit cerah walau dingin mengigit. Megumi entah di mana. Gadis itu tak pernah muncul lagi sejak makan malam terakhir. Mungkin dia mengurung diri menangisi nasibnya. Kembali ke rumah mewahnya berarti kembali pada kehidupan yang menjemukan. Penuh aturan, perintah, larangan dan segala macam tetek bengek norma kehidupan gadis bangsawan. Rumah indah baginya adalah sangkar emas yang memuakkan. Hutan, pantai, alam bebas lebih membahagiakan. Petualangan adalah kehidupan sebenarnya. Dalam kelana itulah bisa ditemukan banyak macam manusia tanpa topeng, tanpa sekat, tanpa kasta.

      Aku dan Aya berdiri di geladak menatap pelabuhan Hakata yang terlihat riuh. Kapal-kapal berjejer membuang sauh, menunggu giliran bersandar. Kuli pelabuhan bermandi keringat bongkar muat barang. Kuda dan keledai bersaing mengangkut beban di atas pelana. Petugas keamanan yang didominasi samurai tua menatap nyalang para pendatang. Mata mereka bagai elang, mengawasi setiap gerakan yang mencurigakan. Hawa perang lebih dahulu datang sebelum pasukan sebenarnya menyerang.

       Aya mengenakan kimono tebal putih bercorak bunga sakura. Dia ingin membalik waktu dengan motif sakura di musim dingin. Rambut panjang hitam legamnya terburai kerasnya angin laut. Wajahnya putih pucat, namun tetap cantik walau tanpa riasan. Kami sedang berduka. Perpisahan sementara terbayang di depan mata. Jemari kami bertumpu di dinding kayu kapal, bertaut tak ingin lepas.

      Burung camar terbang rendah memekik keras. Sesekali kami saling memandang. Tak perlu kalimat untuk menjelaskan semua rasa. Kapal berbendera Klan Shoni yang berupa empat kubus hitam melaju tanpa menunggu giliran diperiksa. Kapten kapal membunyikan peluit mengusir kapal yang menghalangi. Manakala jangkar menghujam dasar pantai berpasir, tampar ditambatkan, jembatan penghubung dihamparkan, saat itulah jemari kami terpisah. Air mata Aya mengambang, kalau tak kukuatkan, air itu akan jatuh dan menimbulkan kecurigaan.

SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang