CHAPTER VIII : Persiapan

698 55 20
                                    


        Bajak laut juga manusia biasa. Mereka punya hati, jiwa dan nasionalisme saat Negara terancam. Meraka paham betul, setelah pasukan Ilkhanat menguasai Jepang, pasukan Khan itu tidak akan berhenti sampai di situ. Pulau-pulau lain akan menjadi jarahan, termasuk pulau yang dikuasai bajak laut. Lebih baik berseteru dengan samurai yang punya darah sama daripada bertekuk lutut dibawah kekuasaan bangsa lain.

        Begitu tiba di pulau Iki, kami bersatu padu melakukan evakuasi penduduk. Jinbo mengerahkan semua kapalnya. Perahu yang dibuat penduduk tidak cukup. Tiga puluh kapal perang bajak laut bergiliran mengangkut anak-anak, wanita dan orang tua. Wajah-wajah sangar berubah lembut. Nafsu membunuh dan merompak berganti welas asih. Jalanan penuh dengan samurai, prajurit dan penduduk. Wanita menggendong anak-anak yang masih balita, berjalan terpuruk bergantian menunggu giliran naik kapal. Jerit kepanikan berpadu teriakan para samurai yang mengatur arus manusia. Orang tua menangis haru, berpelukan dengan anak laki-laki mereka yang siap menyabung nyawa. Ribuan manusia tumplek memadati jalan, pelabuhan, pantai. Waktu semakin mendekat. Butuh berminggu-minggu untuk mengangkut ribuan manusia dengan jumlah perahu yang tidak seberapa banyak. Hilir mudik kapal dan perahu bergiliran dari pulau Iki ke pulau Oshima tiap saat.

      Aku dan Megumi turut lebur dalam kesibukan itu. Gadis bangsawan yang biasa dilayani itu cekatan berbaur dengan masyarakat. Ikut membantu orang tua menaiki kapal, menggendong anak-anak di punggungnya tanpa lelah. Gadis yang biasa hidup mewah dan sejahtera itu berubah menjadi wanita kuat lagi baik hati. Sedikit pun tidak terlihat lelah dan canggung saat melayani penduduk yang biasa duduk bersimpuh saat keretanya lewat. Tidak ada sekat lagi antara kasta samurai dan masyarakat biasa.

       Pemandangan indah implikasi kasih sayang antar manusia terlihat tanpa batas. Hubungan bajak laut dan samurai yang biasa berperang tidak terlihat. Dua musuh bebuyutan itu bersatu-padu, bahu-membahu, saling melempar senda gurau layaknya dua saudara yang lama tidak bertemu. Pos-pos pantai penuh dengan prajurit yang siap siaga. Kuda hilir mudik mengeluarkan ringkikan. Latihan perang sudah usai. Saatnya persiapan menuju pertempuran sebenarnya.

        Di sela waktu senggang, aku mengajukan permintaan pada Jinbo. Sebagai penguasa lautan, aku memintanya mengajariku berenang seperti perenang yang pernah kulihat saat mereka menyerang kapal kami dulu. Dia bertanya maksud keinginanku. Aku menjelaskan apa adanya. Dia mengangguk mengerti, mengajariku sendiri. Saat pagi sebelum matahari terbit dan setelah matahari tenggelam, aku dan Jinbo berdiri di pantai Iki.

     Tidak sesederhana yang kukira, ada tiga puluh jenis gerakan dan cara berenang yang harus kukuasai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     Tidak sesederhana yang kukira, ada tiga puluh jenis gerakan dan cara berenang yang harus kukuasai. Hira oyogi, nukite, suiri, sokoiki, suteuki, kareki nagashi, inatobi, kakiwake, dan lain-lain. Waktu tidak mengijinkanku untuk menguasai semuanya. Jinbo mengajari teknik yang bisa kugunakan untuk rencanaku. Seminggu penuh, tiap hari, berjam-jam berlatih, aku sanggup menguasai ilmu yang diajarkan. Tubuhku bisa bergerak bebas, meluncur di dalam air layaknya anak panah lepas dari busurnya. Dari dalam air aku bisa melompat dengan memanfaatkan tekanan air dari dasar laut, melenting ke udara, menjejakan kaki di atas kapal.

SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang