CHAPTER IV : Samurai pesolek

906 65 23
                                    

         "Berapa?"

         "Dua keping emas."

         "Mahal sekali."

         "Terlalu berbahaya. Selain ombak yang tinggi, bajak laut juga masalah utama."

           Aku merogoh saku. Kantong kecil dari kain tempat koin tidak berisi terlalu banyak. Hanya ada satu keping emas, sepuluh keping perak, lima keping perunggu. Hanya itu uang yang kuterima dari Goro sebelum berpisah sekian bulan yang lalu. Itu pun awalnya kutolak. Dia memaksa. "Melanglang buana tanpa uang sama dengan mencari susah," katanya saat itu.

          "Hanya ini yang kupunya." Aku menyerahkan semua uangku pada pemilik kapal. Dia menerima buntalan kain itu, membuka dan mengeluarkan semua koin ke telapak tangan kirinya.

             Dia memasukkan semua uang kembali ke kantong, menyerahkan balik padaku. "Tidak cukup. Silahkan cari kapal lain," bentaknya jengkel.

             "Tolonglah. Tidak ada kapal lain yang akan berangkat dalam minggu ini. Aku harus menunggu satu minggu lagi," rengekku meminta belas kasihan pada pemilik kapal.

               Pemilik kapal berwajah kasar. Kulitnya gelap terbakar matahari. Hidungnya pesek, matanya sipit dengan alis tipis tak beraturan. Tubuhnya pendek dempal dengan otot tangan menyembul. Dia tidak melihatku langsung saat berbicara, hanya melirik. Dan lirikan itu sangat merendahkan. "Bukan urusanku. Cepat minggir! Penumpang berikutnya siap membayar lebih."

                Sinar matahari terik mencengkeram di ujung musim gugur. Angin laut yang kering dan dingin membuat mataku mendelik jengkel. Baju yang kupakai adalah baju peninggalan Bokku Shigen, baju pendeta zen yang kekecilan. Tidak ada baju lagi yang bisa kupakai kecuali sisa baju pendeta. Celana hakama dan baju haori yang kudapat dari Goro sudah tak berbentuk. Caping lebar menutupi sebagian kepalaku, menyembunyikan wajahku yang sedikit asing bagi bangsa Jepang. Buntalan tas hitam berisi baju ninja dan segala peralatan pembunuh menggantung di pungung. Pedang pemberian Moroshige tersimpan rapi di balik jubah pendeta.

               "Tolonglah Tuan, kasihani saya. Saudara-saudara saya menunggu di sana." Aku berbohong menunjuk arah pulau Kyushu.

               Sambil membentak keras dia mendorong tubuhku "Pendeta miskin, telingamu pekak kah?! Sudah kubilang, aku tidak peduli dengan urusanmu. Bila tidak ada uang, berarti tidak ada tempat di kapal ini!"

                Tingginya hanya sebatas dadaku. Tenaganya cukup kuat untuk ukuran manusia biasa, tapi tidak cukup kuat untuk mendorong sebuah karang yang kokoh. Bukannya melawan, aku membiarkan tubuhku terjerembab. Tidak ada gunanya membuat keributan dengan masyarakat biasa. Wajahku akan segera ketahuan bila caping terbuka. Siapa tahu dia pernah menyaksikan hukuman penggal kepalaku yang tak terselesaikan.

               "Biarkan pendeta itu naik kapal. Aku yang akan membayar," teriak suara halus dari belakang.

                 Seorang pemuda berpakaian sastrawan. Di tangan kanannya tergenggam kipas. Walaupun hawa sudah terasa dingin, pemuda itu mengibaskan kipasnya seolah mengusir hawa panas dermaga. Latihan yang kuterima dari Masashige dan Moroshige bukan melulu tentang olah kanuragan. Selain bagaimana cara membunuh target dengan efektif, aku juga mendapat pelatihan intelejen, kontra intelejen, penyusupan, penyamaran, dan penelitian sebelum rencana pembunuhan dilaksanakan. Mataku mulai terlatih mengenal dengan teliti, menghapal, mencerna, serta menganalisa ketidakberaturan sebuah masalah. Semenjak keluar dari hutan tiga hari yang lalu, insting dan pelajaran yang kudapat kuterapkan. Mengenali lapis masyarakat, memilah kekayaan samurai berdasarkan baju yang dipakai, bentuk pedang dan penampilan mereka.

SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang