CHAPTER IX : Battle of Iki

907 62 17
                                    


    Tubuhku berderak di atas pelana kuda. Di sampingku, Sukemitsu, Eiki, Takeda, dan Megumi ikut menemani. Kami menyusuri pantai paling utara. Di kejauhan, ratusan kapal Ilkhanat membuang sauh. Dua hari lalu mereka berdiam diri di sana, mengeluarkan tetabuhan dan teriakan tantangan. Seluruh pos penjagaan di aktifkan, memantau pergerakan pasukan Ilkhanat. Namun, penyerbuan tidak juga dilakukan.

     "Apa yang mereka tunggu?" tanya Sukemitsu.

      Mataku memandang laut lepas. Asap mengepul dari geladak puluhan kapal. Mereka sedang melakukan pesta daging bakar di tengah terik hari awal musim gugur.

       "Mereka menunggu mental kita jatuh," jawabku mencari alasan.

       Aku tahu, Jendral Robert Eracles sedang memberi kami waktu. Menurut kabar yang kami terima, kemarin pagi pasukan Jendral Kuddun menapakkan kakinya di pantai pulau Hirado. Mereka membagi formasi penyerangan menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok menyerbu Hirado, Taka, Nokono. Jendral Kuddun ingin cepat sampai di Hakata setelah membereskan samurai Klan Sashi.

       "Menurutmu kapan mereka akan menyerang?" Eiki masih penasaran. Dia memimpin pasukan pemanah yang terdiri dari dua ratus prajurit samurai handal.

     "Mungkin besok pagi paling lambat. Logistik mereka masih terisi penuh setelah menaklukkan Tsuhima. Tidak kekurangan makanan, air bersih, minuman keras. Mereka ingin bersantai sejenak. Mereka akan membunyikan genderang dan terompet sebagai pembuka. Masih ada sedikit waktu untuk konsolidasi, Tetapi tetap harus waspada."

     "Bagaimana persiapan anda, Nona Adachi?" tanyaku.

      Di depan banyak orang aku harus menunduk dan berhormat pada gadis bangsawan ini. Darah biru yang mengalir dari nenek moyangnya membuat kami harus menjaga diri. Samurai sebagai kasta tertinggi mengharuskan kasta dibawahnya tunduk dan hormat. Kastaku masih ambigu.

    "Jangan khawatir, Genta. Benteng sudah terjaga rapat. Bila ada pasukan yang berhasil menembus hingga benteng, pasukanku sudah siap menghadapi."

      Aku membisiki Taira no Kagetaka untuk menempatkan posisi gadis bangsawan itu di belakang garis pertahanan terakhir. Dengan alasan dia terlahir di benteng ibu kota Kamakura yang dijaga ribuan prajurit, pengetahuannya tentang cara menangani benteng sebagai pertahanan terakhir sangat dibutuhkan. Megumi semula keberatan. Dia ingin terjun langsung di garis depan sebagai wakil komandan pasukan pejalan kaki sisi kiri. Aku tahu dia tak ingin jauh dariku, ingin bertempur di sebelahku. Gadis itu semakin tak sungkan menunjukkan perasaanya padaku.

    "Takeda-san, bagaimana persiapan prajurit pejalan kaki sisi kanan?"

     "Sudah siap Tuan Genta. Kami menunggu aba-aba dari anda untuk bergerak bersama," jawab kepala pasukan pejalan kaki sisi kanan.

      Kaki kuda menapak pasir putih. Gelombang kecil menerpa pantai, matahari semakin meninggi. Dari kejauhan seorang samurai memacu kudanya mendekat. Dia terlihat membawa berita yang sangat penting, tergopoh turun dari kuda. Samurai muda pembawa berita itu mengatur napasnya sejenak. Dia terlihat panik.

     "Tuan, pulau Hirado ... telah ... jatuh kemarin malam" Samurai itu mengatur napasnya sejenak. Setelah detak jantungnya kemabli normal, dia melanjutkan, "Sampai siang ini, pulau Taka dan pulau Nokono masih bertahan walau sangat terdesak. Menurut berita terakhir, dua pulau ini akan menyusul Hirado petang nanti."

      "Bagaimana Tuan Sashi Fusashi?" tanya Sukemitsu.

      "Tuan Sashi Fusashi terbunuh berikut tiga ratus samurai pengikutnya. Sisanya melarikan diri. Pasukan Ilkhanat tidak memberi ampun, mereka mengejar sisa pasukan dan menghabisi mereka di hutan-hutan. Mereka sangat kejam. Tidak memberi ampun seorang pun walau sudah menyerah."

SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang