AB | 01

48.1K 2.8K 32
                                    

Selamat Membaca!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca!


Manhattan, NYC, 10.00 PM

Setelah menempuh waktu sekitar 23 jam dengan 4 jam transit, akhirnya Ara sampai juga di kota tujuannya. Tempat yang akan menjadi awal mula kehidupannya yang baru.

Di dalam taksi, dia tak berhenti menatap pemandangan yang dilewatinya. Dia sedikit merenung setelah meninggalkan Indonesia. Bisa dikatakan, ini pertama kalinya juga Ara berjauhan dengan sang ibu. Tidak mudah mendapatkan izin dari ibunya untuk pergi dari Jakarta. Namun, ini masuk ke salah satu kesepakatan mereka sebelum ibunya menikah.

Iya. Akhirnya Ara mengizinkan ibunya menikah dengan lelaki yang dicintainya. Lelaki yang menjadi sahabat ibunya sejak dulu sekaligus tempat bersandar. Siapa yang menyangka, kenyamanan mereka berujung pada pernikahan.

Meski hubungan Ara dan ibunya kurang dekat, dia tahu ibunya merasa kesepian dan butuh sosok pelindung. Apalagi tatapan ibunya pada sang suami yang penuh cinta membuat Ara harus berlapang dada. Dia tidak ingin egois.

Ara merestui pernikahan mereka. Dia sadar ibunya juga berhak bahagia. Selama ini kehidupan mereka sudah cukup rumit. Ara menganggap pernikahan ibunya adalah hadiah kecil, titik balik hidup sang ibu untuk bahagia. Mereka tidak bisa terus menerus hidup sendiri sampai akhir hayat.

Sebagai konsekuensinya, Ara meminta izin untuk tinggal bersama sang ayah di negara ini, NYC tepatnya di Manhattan. Sebuah kota di mana ayahnya tinggal selama ini. Dan sekarang, Ara pun akan tinggal di sini dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Dia hanya ingin lebih akrab dengan ayahnya setelah puluhan tahun tak bertemu.

Ara melirik kertas yang berisi alamat sang ayah. Diremasnya kertas tersebut. Perasaan gugup tiba-tiba saja menyerang hatinya. Ada banyak perasaan resah yang menumpuk, apalagi membayangkan tanggapan keluarga besar ayahnya saat melihat Ara di sana.

Terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Ara sampai lupa menghubungi sang ayah sejak tiba di kota ini. Dia memutuskan menggunakan jasa taksi yang kebetulan pula mudah menanggapi bahasa asingnya yang masih berantakan. Ara meringis pelan. Dia memang tidak berbakat dalam bahasa asing.

Dua puluh menit, taksi berhenti di depan gerbang tinggi dan menjulang. Ara segera turun dan mengambil koper yang dikeluarkan oleh sopir taksinya.

"Thanks, Sir."

"You're welcome."

Setelah taksi tersebut pergi, Ara menggeret kopernya pelan. Tatapannya seakan lapar melihat kemegahan bangunan di depannya

"Ternyata mereka kaya sekali," gumamnya pelan.

Ara berdecak kagum. Dia tidak sadar bahwa ayahnya sangat kaya di sini, beda jauh dengan kehidupannya di Indonesia. Lagi, Ara tersenyum miris. Mereka keluarga, tapi entah kenapa sangat berbeda.

Mengabaikan kekagumannya sesaat, Ara segera melangkah perlahan mendekati mansion tersebut. Jarak dari gerbang utama ke halaman rumah lumayan jauh dan terlalu panjang. Kali ini dia benar-benar mengutuk kakinya yang pendek dan membuatnya cepat lelah. Belum dia sampai di lantai rumah tersebut, deru motor berhasil menghentikan langkah kecilnya.

Ara berbalik dan melihat ke belakang. Seseorang yang baru saja turun dari motor besar. Lelaki yang juga menatapnya tajam dari dalam helm full face-nya. Ara mengernyit. Awalnya dia bingung siapa orang tersebut, tapi saat helm full face-nya terbuka, mulutnya malah membulat sempurna. Campuran kaget dan terpesona.

Lelaki itu sangat tampan. Dengan mata biru safir yang sangat mempesona. Lupakan tatapan tajamnya, nyatanya aura lelaki itu benar-benar membuat Ara mati kutu.

"Who are you?" tanyanya dengan suara serak. Lelaki itu sudah turun dari motor dan kini posisinya berhadapan dengan Ara. Tatapannya memindai Ara dari atas ke bawah, menilai dengan teliti hingga membuat Ara risih.

Saat Ara akan membuka mulut, suara pintu terbuka di belakang mereka membuat perhatian keduanya teralih. Di sanalah berdiri sosok lelaki paruh baya yang dirindukan Ara. Mengabaikan lelaki tampan di depannya, Ara segera berlari mendekati lelaki paruh baya tersebut.

"Dad?" serunya dan segera menghambur ke dalam pelukan sang ayah. Dipeluknya lelaki paruh baya itu dengan sangat erat, meluapkan rasa rindu yang sudah lama membelenggu hatinya.

Adam Delvis Petrov menyambut pelukan putrinya dengan pelukan tak kalah erat. Binar kerinduan jelas tercetak di raut wajahnya yang sudah tua, tapi masih menampakkan gurat tampan.

Perpisahannya dengan sang putri yang terlalu lama jelas menyiksanya dengan perlahan. Apalagi selama ini dia dilarang menemui Ara karena sebuah perjanjian dengan ibu anaknya. Beruntung sekarang dia mendapatkan kesempatan untuk bersama sang putri dan menikmati perkembangannya ke depan. Adam jelas tidak akan menyiakan kesempatan di depan matanya.

"Ekhem."

Deheman dari lelaki lain di sana membuat Ara melepas pelukannya. Dia menatap lelaki tadi dengan kerutan di keningnya.

"Dad?" Lelaki itu membuka suara dan mengarahkan tatapannya pada Ara. Seakan bertanya maksud panggilan yang Ara lontarkan tadi.

Adam yang tahu kebingungan pemuda itu hanya memasang senyum tipis. Dia segera merangkul Ara dengan erat dan menyuruh mereka segera masuk.

"Kita bicarakan setelah makan malam nanti."

Baik Ara dan lelaki itu hanya mengangguk pasrah. Ada waktunya semua akan dibahas dan Ara pun tidak terlalu buru-buru menagih penjelasan.

"Kamar kamu di lantai dua. Di sana sudah ada kamar yang Dad siapkan buat kamu."

Ara menoleh ke atas, melihat keadaan rumah yang terdapat empat lantai. Ada sebuah lift di pojok ruangan, meski tangga rumah juga sudah disediakan.

Ara mengangguk. "Dad, Ara boleh istirahat dulu? Ara capek banget habis delay."

"Jelas boleh. Kamu istirahat saja dulu. Nanti makan malam Dad bangunkan sekalian kamu kenalan sama anggota keluarga yang lain," jelas Adam dengan senyum yang tak pernah luntur.

Ara mengangguk. Dia segera menaiki tangga satu persatu dengan hati-hati. Sesekali dia berdecak kagum dengan kemewahan yang berada di depannya. Tiba di sebuah kamar dengan pintu yang sudah tertulis namanya. Kamarnya diampit oleh dua kamar yang entah milik siapa. Mungkin nanti dia akan tahu siapa pemiliknya.

Fokusnya sekarang adalah masuk ke dalam dan segera merebahkan tubuhnya di atas kasur Queen size-nya. Kasur yang sangat empuk dan lembut di kulit. Keadaan kamar yang sangat jauh berbeda dengan rumah, kamar yang lebih mewah dan luas. Bahkan ada beberapa ruangan lagi yang ditebaknya adalah ruang ganti dan kamar mandi.

Untuk saat ini cukup acara mengaguminya. Ara membutuhkan istirahat untuk memulihkan stamina.

Sebelum dia terlelap, bayangan sang ibu yang melepasnya pergi teringat kembali. Ara menghela napas panjang. Kepalanya terasa berat dengan bayangan-bayangan itu. Terlalu banyak hal yang tidak diketahuinya selama ini. Dan itu membuatnya pusing sendiri.


Bersambung



Adorable Brother (PINDAH KE DREAME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang