"Kuhitung sampai tiga, jika kau tidak keluar aku akan menghajar kalian semua," Sasuke duduk di ranjangnya, menatap nyalang ke arah segerombolan orang yang berdiri di dalam kamarnya, mengelilingi tempat tidurnya seperti personil koor gereja yang sedang kunjungan rumah sakit.
"Dengan kondisi seperti itu, berdiri untuk pipis saja kau sudah syukur," Sai mendengus ke arahnya.
"Aku bisa menyakiti kalian tanpa harus bergerak."
Shikamaru menghela nafas, "kau benar-benar tidak tahu diuntung, eh. Kami sangat baik mengantarmu, mengarang cerita untukmu, bahkan harus membohongi Uchiha Fugaku untuk kebaikanmu dan sekarang kau masih berlagak. Anak ini benar-benar tidak tahu diri."
"Bayangkan kami membohongi pengacara selevel Uchiha Fugaku, ayahmu, supaya kau tidak berakhir di asrama katolik gara-gara tingkahmu," Naruro turut menimpali, "kami berhak mendengar ucapan terima kasih."
"Astaga, di mana standar teman tanpa pamrih," Sasuke mengerang dan merotasikan matanya. Ini malam yang panjang, kakinya terkilir dan rasanya seperti patah tulang, ayahnya hampir tahu balap liar yang ia ikuti, dia tidak mendapat sisa lasagna karena Noctis si bajingan kecil menghabiskan hingga ke remah terakhir, dan sekarang gerombolan sahabat idiotnya memenuhi kabar hingga sesak. Dia hanya mau istirahat.
"Sudah-sudah, jangan kasar pada Sasu, kakinya terkilir dan dia jadi jalang pemarah, jangan sudutkan dia," Yahiko mengejeknya dengan nada bicara paling menyebalkan yang bisa diterima telinganya, "aku tetap menolak untuk percaya pria yang mengalahkan Redbull ini jatuh dari mobil hanya karena melihat si merah muda."
"Oh, kau belum cerita soal itu," Neji menyeringai, "Haruno Sakura, tetanggamu itu kan?"
Sasuke melotot melihat Neji duduk di karpet dan disusul yang lainnya. Yahiko mendudukkan diri di kursi putarnya, pertanda mereka akan berada di tempat ini lebih lama dari seharusnya.
"Ada yang bisa jelaskan kisah cinta Sasuke?" Sai menatap Shikamaru dan Yahiko, yang selalu bersama Sasuke di sekolah.
"Oh dia gadis muda yang menantang," Yahiko membuka mulut jahanamnya. Sasuke bersumpah dia bisa mendengar alarm tanda bahaya. Jika mereka melanjutkan cerita memalukan tentang dirinya, kisah itu akan bertahan lama hingga... paling parah selamanya. Dia tidak punya pilihan lain selain mengeluarkan senjata andalannya.
"MOOOOOM!" Sasuke berteriak dengan suara keras, "BAWA MEREKA KELUAR DARI KAMARKU! MOOM!"
Terdengar suara langkah kaki cepat dan disusul pintu terbuka. Mikoto pucat pasi, dia melihat kondisi kamar putranya di mana wajah-wajah yang ia kenal menatapnya dari posisi lesehan mereka, sementara Sasuke di tempat tidur, menuntutnya dengan wajah kesal. Dia menghela nafas, dia kira keadaan kaki Sasuke yang sudah membengkak itu semakin parah.
"Baiklah anak-anak, kurasa Sasuke benar-benar harus istirahat," naluri sebagai dokter dan sebagai ibu sedang bergejolak. Dia menunggu teman-teman Sasuke untuk berdiri, "kunjungi dia besok. Mungkin dia tidak bisa sekolah, kakinya sampai bengkak dan merah seperti itu. Ayo, semua, keluar."
"Serius, Sasuke?" Yahiko menatapnya tidak percaya. Dia menutup mulutnya sendiri menahan tawa, tidak percaya apa yang baru ia lihat, "memanggil mama sekarang?"
Naruto tertawa terbahak hingga matanya berair. Dia menatap Sasuke dengan mata menyipit, "cengeng pengadu—"
Pin bowling yang awalnya hiasan di nakas melayang mengincar kepala Naruto. Si pirang itu beruntung sempat menghindar sebelum jidatnya membengkak, menyusul kondisi kaki Sasuke.
"Memanggil ibuku hanya bala bantuan. Aku bisa membuat kalian babak belur bahkan dari posisi ini," Sasuke bersidekap dan mendelik, dia sedang menyelamatkan egonya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Upside of Falling
ФанфикMenyukai seseorang benar-benar bukan menjadi pilihan Sasuke. Dia seharusnya sudah merasa 'baik-baik saja' dengan kehidupan SMA yang ia jalani. Tapi dia juga tidak bisa menyangkal betapa aneh rasanya saat ia selalu menjatuhkan pandangan pada gadis Ha...