PERCAKAPAN

21 1 0
                                    


ALUNAN piano berhenti terdengar.

Jemari Allexa mengambang beberapa senti di atas deretan tuts piano di hadapannya. Ia berhenti dalam permainan pianonya—lagi. Tatapannya masih tertuju pada deretan tuts berwarna hitam putih selama beberapa saat. Berikutnya perhatiannya terjatuh pada repertoir di hadapannya.

Sonata No. 14, 'Moonlight' Op. 27, No. 2— judul yang akrab selama setahun ini.

3rd Movement— dimainkan dalam tempo yang cepat.

Ludwig Van Beethoven— komposer terkenal dengan karya-karyanya yang melegenda.

Deretan notasi balok menghiasi repertoar ini. Garis para nada yang seakan saling berpasangan. Enam baris pertama sebagai deret notasi yang dimainkan tangan kanan— bagian rigth hand – memainkan nada dasar G. Enam baris kedua yang terletak di bawah deret garis paranada bagian rigth hand – bagian left hand— bagian nada yang dimainkan tangan kiri—

memainkan notasi balok dengan nada dasar F. Dua akord yang akan selalu dimainkan dari awal sampai akhir lagu Moonlight.

"Mis..."

Suara lirihnya memecah keheningan.

"Tidak apa-apa. Ayo lanjutkan. Jangan ragu-ragu."

Allexa menoleh. Melihat wajah Ibu gurunya tengah menatapnya penuh harap. Dalam benaknya ia bertanya-tanya mengapa wanita paruh baya ini masih saja bersi keras mengajarinya berlatih piano. Sementara sedari tadi ia tak berhasil menunjukkan kemajuan dalam latihannya.

"Asalakan tekun dan sabar, sesulit apapun lagunya pasti bisa. Kamu ikut kompetisi tahun ini kan?"

Seketika itu, mata Allexa benar-benar menatap mata ibu gurunya. Penuh harap dan keyakinan bahwa anak didiknya ini pasti bisa mengikuti semua keinginan sang guru. Apa hanya itu yang selalu beliau pikirkan. Jauh di lubuk hati, Allexa ia selalu memprotes agar beliau juga mau mendengar dan memahami bagaimana motivasi anak didiknya yang telah kehilangan kepercayaan diri hanya untuk berdiri di atas panggung kompetisi. Meski sudah setahun berlalu, tapi kenangan itu begitu menyayat rasa percaya diri dalam dirinya. Ia tidak selalu sependapat dengan kompetisi piano yang selalu menjadi kebanggaan ibu gurunya ini.

"Tidak bisa. Saya tidak bisa ikut kompetisi lagi. Selalu saja ada mis. Selalu ada kesalahan." Ungkap Allexa mencoba jujur pada kelemahannya.

"Kamu memang bukan pencipta lagu ini. Terjadi mis atau semacamnya itu wajar Allexa." Bu Risa tersenyum berusaha menghibur. "Siapapun pasti pernah melakukan kesalahan seperti itu. Nah, tugasmu adalah belajar dari kesalahanmu agar tidak terulang lagi. Mengerti?" ucap Bu Risa masih berusaha menasihati.

Bosan mendengar nasihat yang terlanjur sering didengarnya itu, Allexa mengalihkan perhatiannya pada grand piano hitam model S—baby grand piano di hadapannya. Benar. Sejak kecil Papa sudah mengenalkannya pada alat musik ini. Tapi kenapa dia masih melakukan kesalahan-kesalahan. Bahkan di bagian yang sama. Apa itu tidak keterlaluan namanya? Mendadak ia bangkit dari duduknya.

"Maaf, tapi tahun ini saya memutuskan tidak mengikuti kompetisi piano." ucapnya

Mulus. Bahkan telinganya tak percaya ia benar-benar mengatakan keputusan ini.

Hening tidak ada tanggapan dari sang guru. Mendadak suasana ruang kelas musik terasa begitu hening. Atmosfer kaku dan berat semakin menjalar di sini.

"Bulan Januari kau sudah melewatkan Famous Music Competition. Bulan Maret kau

juga melewatkan kompetisi piano Yamaha. Kau akan melewatkan kompetisi YMI meski ini

kesempatan terakhirmu?" desak Risa. Ia berharap anak didiknya akan berubah pikiran. Nyatanya tidak sama sekali. "Baiklah aku tidak bermaksud memaksamu untuk mengikuti kompetisi piano." Ucap Bu Risa seraya menepuk bahu Allexa. Ia menghela napas dalam. Beranjak menuju meja di seberang untuk mengambil beberapa buku panduan di sana. "Sampai di sini dulu latihan untuk hari ini." Ucapnya membuat Allexa menoleh padanya. Ia tersenyum ramah seperti biasa. "Keputusan ada di tanganmu Allexa. Dan jika kamu berubah

pikiran, temui Ibu di kantor, kita akan berlatih lagi, mengerti?" tambahnya lagi. Satu anggukan kecil yang ditunjukkan Allexa cukup membuatnya lega. Ia lekas meninggalkan ruang kelas seni. Namun sebelum ia benar-benar melewati pintu keluar, jari telunjuknya terangkat. Ia kembali menoleh pada anak didiknya yang masih mematung.

"Satu lagi," ia menurunkan jari telunjuknya. "Dari yang sudah-sudah, kau selalu mengikuti gaya bermain komposernya. Itu bagus tapi kau juga harus memiliki karakter permainanmu sendiri." Terangnya dengan nada memberitahu.

"Karakter?" ulang Allexa ingin memastikan.

Bu Risa tampak berfikir sejenak. Ia mencoba mencari kalimat yang tepat agar Allexa memahami perkataannya. "Dalam memainkan piano, kau pasti memiliki alasan dan tujuan. Misalnya memainkan piano membuatmu merasa senang, atau kau ingin agar semua orang bisa mendengarkan lagu yang kau mainkan. Itulah yang akan membentuk karakter pada permainan pianomu." Ucapnya seraya membetulkan kacamata tak berbingkainya.

Allexa mengangguk. "Baiklah. Saya mengerti." Jawab Allexa sekenanya.

Guru kelas musiknya benar-benar mengakhiri latihan hari ini. Beliau berbalik lalu melangkah keluar. Perhatiannya masih tertuju pada ambang pintu yang terbuka. Ia terududuk di kursinya. Waktu serasa berjalan amat lambat. Seperti biasanya, hanya ada dia dan piano. Perasaan gamang dan takut kembali merayapinya. Ketakutan akan melakukan mis, lupa notasi, sering membuat kesalahan, semakin membayang. Lebih baik menyerah saja dari pada dipermalukan di atas panggung. Toh untuk memenangkan sebuah kompetisi usaha keras saja tidak cukup. Bukan hanya motivasi, tapi juga butuh faktor "x", dan keajaiban dari langit. Ia meraih ponselnya. Menge-play ulang sebuah permainan piano seorang pianis yang di-download-nya dari sebuah situs internet. Menunjukkan sebuah permainan pianoo dari seorang pianis dengan kesan kuat dan akurat.

Valentina— sang pianis yang memberi kesan permainan piano yang hebat dan akurat. Apa ini yang disebut karakter? Bagaimana agar musikku berkarakter?

***

FLOW in YOU (Just Play the Song...!)Where stories live. Discover now